
ADA satu pertanyaan lain yang cukup menggelitik dari Rais ‘Aam Hidayatullah KH Abdurrahman Muhammad, saat memberikan taujih pada Pekan Orientasi Pengurus Tingkat Pusat Hidayatullah Periode 2025–2030 di Bogor, Jawa Barat, Senin, 26 Jumadil Awal 1447 (17/11/2025): “Mengapa saat ini keilmuan Islam inferior di hadapan peradaban Barat?”.
Sesungguhnya ilmu Islam memiliki fondasi epistemologis yang sangat kuat karena bersumber dari wahyu Allah sebagai kebenaran absolut yang tidak tunduk pada relativitas rasionalitas manusia.
Selama berabad-abad, epistemologi ini melahirkan tradisi keilmuan yang integral, kokoh, dan produktif. Ia membangun peradaban unggul pada banyak ranah: teologi, filsafat, sains, kedokteran, matematika, astronomi, teknologi, hingga tata sosial dan politik.
Pada masa itu, ‘aql (akal) dan naql (wahyu) tidak diposisikan sebagai dua kutub yang saling menegasikan, melainkan harmoni metodologis: wahyu menjadi orientasi nilai, akal menjadi instrumen penjelajahan semesta.
Keseimbangan epistemologis tersebut tidak berhenti pada konsep teoretis, tetapi berkembang menjadi kebijakan peradaban. Pada era Abbasiyah, Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad berdiri sebagai pusat riset multidisipliner terbesar di dunia.
Karya-karya Yunani, Persia, India, dan Mesir bukan hanya diterjemahkan, tetapi dikritisi, disintesiskan, dan dikembangkan dalam bingkai tauhid. Di Andalusia, Universitas Córdoba dan Toledo menjadi pusat pengetahuan internasional, dengan perpustakaan yang memuat ratusan ribu manuskrip saat Eropa masih berada dalam gelapnya dunia intelektual.
Pada abad ke-10, ilmuwan Muslim menghasilkan terobosan monumental. Al-Khawarizmi menemukan aljabar dan sistem algoritma; Ibn al-Haytham merumuskan metode ilmiah berbasis eksperimen; Ibn Sina menyusun The Canon of Medicine; Al-Biruni mengukur radius bumi dengan tingkat akurasi yang baru dapat dikejar oleh teknologi modern.
Keunggulan peradaban Islam pada masa itu tidak lahir dari kekuasaan politik, tetapi dari bangunan ilmu yang berporos pada wahyu. Penelitian, observasi, dan eksperimentasi dipandang sebagai ibadah sekaligus tadabbur terhadap ayat-ayat Allah dalam semesta.
Epistemologi wahyu kemudian melahirkan etika ilmu, dan akal menghasilkan peradaban ilmu. Rumah sakit modern, universitas, optik, navigasi astronomi, matematisasi sains, teori musik, administrasi publik, hingga tata kelola negara berakar dari paradigma ini.
Namun, dalam perjalanan sejarah, keilmuan Islam mengalami marginalisasi. Dominasi epistemologi Barat modern—yang menjadikan rasionalisme, empirisme, dan sekularisme sebagai satu-satunya paradigma kebenaran—secara perlahan mendorong epistemologi wahyu ke ranah privat dan spiritual. Akibatnya, umat Islam kehilangan keunggulan dalam produksi ilmu dan teknologi, serta kehilangan kepercayaan epistemik pada tradisi intelektualnya sendiri.
Inferioritas ilmu Islam hari ini bukan disebabkan oleh lemahnya substansi epistemologi Islam, tetapi karena melemahnya imajinasi epistemik umat Islam. Banyak umat tidak lagi meyakini bahwa Islam adalah sumber ilmu, melainkan hanya sumber moral dan ritual.
Barat kemudian dipandang sebagai otoritas tunggal dalam ranah sains, sementara wahyu dikurung pada fungsi etis dan spiritual. Maka problem epistemologis keilmuan Islam pada era ini bukan pada wahyu yang tetap kuat dan visioner, tetapi pada absennya rekonstruksi paradigma ilmu Islam agar operasional dalam konteks keilmuan kontemporer.
Dalam sejarah, generasi awal Islam telah membuktikan bahwa integrasi wahyu dan akal mampu melahirkan ledakan peradaban. Rasulullah ﷺ memberikan cetak biru bagi kebangkitan ilmu: fase Makkah adalah fase penanaman akidah, penyucian paradigma, dan pembentukan epistemologi tauhid; fase Madinah adalah fase institusionalisasi nilai, produksi ilmu, dan ekspansi sosial-politik.
Kejayaan Madinah bukan hasil kekuatan militer, melainkan buah kejernihan epistemologi selama 13 tahun di Makkah: pembebasan akal dari sekularisme, politeisme, dan mitos, serta penguatan fungsi wahyu sebagai pusat orientasi intelektual.
Model peradaban kenabian tersebut menawarkan peta jalan strategis untuk rekonstruksi keilmuan Islam modern. Pertama, rekonstruksi akidah sebagai rekonstruksi epistemologi. Akidah bukan hanya pernyataan keimanan, tetapi kerangka berpikir.
Wahyu harus diposisikan sebagai sumber kebenaran, fondasi teori, dan kompas nilai bagi semua disiplin ilmu. Ini adalah fase Makkah dalam konteks keilmuan: penyatuan visi tauhid dengan orientasi penelitian dan inovasi.
Kedua, institusionalisasi ilmu berbasis wahyu. Sebagaimana Rasulullah ﷺ membangun Masjid dan Suffah sebagai pusat pendidikan, dunia Islam modern memerlukan lembaga riset dan komunitas ilmiah untuk memproduksi teori, mengintegrasikan ulumuddin dengan sains dan teknologi, serta membangun ekosistem intelektual yang melahirkan ilmuwan berorientasi wahyu sekaligus kompeten metodologis.
Ketiga, ekspansi peradaban melalui produksi ilmu dan teknologi. Madinah dibangun melalui tata kelembagaan, ekonomi, diplomasi, pertahanan, dan administrasi publik yang berbasis nilai.
Kebangkitan Islam masa kini harus bergerak dari konsumsi teknologi menuju produksi ilmu dan inovasi yang berorientasi kemaslahatan universal, keadilan, keberlanjutan, dan martabat manusia.
Rekonstruksi keilmuan Islam bukan nostalgia kejayaan masa lalu, tetapi program peradaban yang bersifat metodologis dan historis. Kebangkitan Islam menuntut reorientasi besar: dari mentalitas konsumtif menjadi produsen ilmu; dari paradigma Barat-sentris menuju paradigma tauhid; dari mempelajari Islam sebagai doktrin menuju memproduksi peradaban berbasis wahyu.
Pelajaran besar dari 13 tahun Makkah dan 10 tahun Madinah menunjukkan bahwa perubahan peradaban selalu berawal dari perubahan epistemologi.
*) Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis Ketua Bidang Perkaderan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah






