Refleksi, Kontemplasi, dan Visi Futuristik
Surah Al-Alaq, khususnya ayat pertama yang berbunyi Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan), membuka babak baru dalam sejarah manusia. Ini bukan sekadar perintah untuk membaca, melainkan seruan untuk memahami dan menggali ilmu baik dari ayat-ayat qauliyah (wahyu tertulis) maupun ayat-ayat kauniyah (alam semesta dan realitas). Dalam konteks epistemologi, wahyu ini menunjukkan bahwa Iqra’ mencakup literasi yang lengkap dan menyeluruh: memahami teks, mengamati alam, serta menjadikan ilmu sebagai landasan pengambilan keputusan. Namun, semua ini harus selalu berpijak pada prinsip dasar, yaitu sesuai dengan kehendak Allah, Sang Pencipta.
Ketika kita memahami Iqra’ dalam pengertian yang luas ini, kita diingatkan pada satu prinsip penting: literasi yang benar adalah literasi yang berbasis data, tetapi tetap terikat pada kerangka nilai-nilai ilahiah. Dalam konteks ini, Iqra’ bukan sekadar membaca teks atau buku, melainkan memahami realitas secara komprehensif dengan metodologi ilmiah, tanpa pernah menyimpang dari ajaran Allah. Tantangan besar bagi organisasi Islam modern adalah apakah mereka masih setia pada prinsip Iqra’ sebagai basis epistemologi dan pengambilan keputusan?
Iqra Sebagai Basis Epistemologi: Membaca dengan Nama Allah
Epistemologi Islam, yang mengakar dalam wahyu ini, menempatkan Iqra sebagai titik awal dari seluruh proses pembelajaran dan pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, Iqra tidak hanya berarti membaca, tetapi juga memahami dan menafsirkan realitas berdasarkan data yang akurat dan metode ilmiah yang sahih. Namun, yang lebih penting dari itu semua, maka seluruh proses membaca dan memahami harus berpijak pada nama Rabb yang menciptakan, artinya setiap pemahaman dan pengambilan keputusan harus sejalan dengan kehendak dan perintah Allah SWT.
Ketika kita berbicara tentang Iqra, maka kita berbicara tentang dua jenis ayat: ayat qauliyah (firman Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an) dan ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta). Membaca ayat kauliyah menuntut pemahaman terhadap teks wahyu, sedangkan membaca ayat kauniyah menuntut pemahaman terhadap alam semesta melalui data, informasi yang diperoleh melalui jalan observasi, riset, dan berbagai jenis algoritma dan ilmu pengetahuan.
Masa keemasan peradaban Islam adalah contoh nyata dari bagaimana umat Islam berhasil mengimplementasikan perintah Iqra ini dalam bentuk literasi yang komprehensif. Para ilmuwan Muslim seperti Ibn Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Ibnu Sina, AL Jazari, Al Biruni dan lain sebagainya adalah pelopor dalam menggabungkan literatur Yunani, Persia, juga India kemudian mengoreksi, menyempurnakannya, dan menghasilkan karya-karya yang menjadi fondasi teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Dengan kata lain, mereka tidak hanya membaca teks, dan menerima ilmu asing begitu saja, namun tetapi juga membaca alam semesta, melakukan riset, dan menyusun data untuk menemukan kebenaran yang sejati, dan kemudian di-islamisasi sehingga tidak menjadi mitologi ataupun seklurasisasi ilmu pengentahuan.
Masa Kejayaan: Implementasi Iqra yang Tepat
Pada abad pertengahan, ketika Barat masih berada dalam masa dark ages, peradaban Islam justru berada di puncak kejayaannya. Keberhasilan ini terjadi karena umat Islam mampu menerapkan Iqra sebagai dasar epistemologi dengan benar. Mereka tidak hanya menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani, Persia dan India, tetapi juga mengembangkan ilmu pengetahuan dengan pendekatan yang berbasis data dan eksperimen, tetap berpijak pada nilai-nilai Islam. Inilah yang menyebabkan munculnya para polymath Muslim yang menjadi pionir dalam berbagai bidang ilmu, dari astronomi, biologi, kimia, robotika, matematika, sosiologi, ekonomi, kedokteran, hingga filsafat.
Keunggulan peradaban Islam pada masa itu disebabkan oleh kemampuan mereka untuk membaca dan memahami ayat kauniyah, yaitu alam semesta, dengan benar. Mereka melakukan riset ilmiah, mengumpulkan data, dan membangun sistem pengetahuan yang berdasar pada observasi dan penelitian. Namun, yang lebih penting, semua proses ini dilakukan dengan tetap berpijak pada nama Allah, sesuai dengan perintah dalam wahyu pertama.
Realitas Kekinian: Ketertinggalan karena Menyelisihi Iqra
Ironisnya, di era modern ini, banyak organisasi Islam justru jauh tertinggal dalam aspek riset dan data. Jika pada masa kejayaan Islam, Iqra diimplementasikan dengan metode ilmiah dan observasi yang ketat, saat ini banyak organisasi Islam yang masih mengabaikan pentingnya riset dan data dalam pengambilan keputusan. Keputusan-keputusan yang diambil sering kali tidak didasarkan pada fakta yang akurat, melainkan lebih banyak pada tradisi, intuisi, atau kepentingan kelompok tertentu.
Ketika organisasi Islam tidak lagi menjadikan data dan riset sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, mereka sebenarnya sedang menyelisihi perintah Iqra itu sendiri. Mereka gagal membaca ayat kauniyah dengan benar, dan pada akhirnya, keputusan-keputusan yang diambil tidak lagi relevan dengan kondisi zaman. Ini menyebabkan organisasi-organisasi Islam kehilangan relevansi dan daya saing, baik di kancah lokal maupun global karena tidak memiliki basis epistemology dalam pengambilan keputusan.
Epistemologi Iqra dan Masa Depan Pengambilan Keputusan
Jika organisasi-organisasi Islam ingin kembali menjadi pilar peradaban yang unggul, maka mereka harus mengembalikan Iqra sebagai dasar epistemologi dalam setiap pengambilan keputusan. Ini berarti setiap keputusan harus berbasis data, riset, dan observasi yang akurat. Namun, data dan riset tersebut harus tetap berpijak pada nilai-nilai Islam, agar tidak menyimpang dari kehendak Allah SWT.
Sebagai contoh, ketika organisasi Islam merumuskan kebijakan sosial atau ekonomi, mereka harus melibatkan penelitian yang mendalam tentang kondisi masyarakat, menggunakan data empiris untuk menganalisis masalah, dan mencari solusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam. Mereka harus membaca realitas sosial (ayat kauniyah) dengan benar, sebagaimana para ilmuwan Muslim masa lalu membaca alam semesta dan menghasilkan penemuan-penemuan luar biasa.
Mencegah Ketertinggalan: Memadukan Iqra dengan Teknologi Modern
Untuk memastikan organisasi Islam tidak tertinggal di era digital ini, mereka harus mengintegrasikan teknologi sebagai alat untuk membaca dan memahami realitas. Data besar (big data), kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan analisis prediktif adalah alat-alat modern yang bisa digunakan untuk menjalankan perintah Iqra dalam konteks zaman ini. Dengan teknologi, organisasi Islam dapat mengumpulkan informasi yang lebih luas dan lebih akurat, sehingga keputusan-keputusan yang diambil lebih relevan dan efektif.
Namun, penggunaan teknologi ini harus tetap diiringi dengan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu jalan untuk mengenal Allah SWT lebih dekat. Penggunaan data dan riset tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip moral dan etika Islam. Dengan demikian, organisasi Islam tidak hanya menjadi organisasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana secara spiritual.
Futuristik: Mengembalikan Iqra’ sebagai Basis Epistemologi dalam Organisasi Islam
Untuk mencegah agar organisasi Islam tidak tersesat jauh dari prinsip Iqra’, ada beberapa langkah futuristik yang dapat diambil agar mereka tetap relevan dan berfungsi dengan baik di tengah perubahan zaman.
Pertama, Membangun Kultur Data-Driven dalam Pengambilan Keputusan : Organisasi Islam harus membangun budaya di mana setiap keputusan diambil berdasarkan data dan analisis yang valid. Ini berarti bahwa sebelum mengambil kebijakan, harus ada penelitian dan pengumpulan data yang memadai. Ini sesuai dengan prinsip Iqra’ yang mengajarkan kita untuk membaca dan memahami dengan cara yang tepat, baik dalam memahami wahyu Allah maupun realitas dunia.
Kedua, Mengintegrasikan Ilmu Pengetahuan Modern dengan Prinsip-Prinsip Islam : Pada masa kejayaan peradaban Islam, para ilmuwan Muslim tidak takut untuk mempelajari ilmu dari peradaban lain selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Organisasi Islam harus mengambil pendekatan yang sama: mereka harus terbuka terhadap ilmu pengetahuan modern, termasuk teknologi dan inovasi, tetapi tetap menjaga agar ilmu tersebut selaras dengan prinsip-prinsip Islam.
Ketiga, Penguatan Literasi Ilmiah dan Spiritual : Salah satu kunci keberhasilan Islam di masa lalu adalah kemampuan mereka untuk menyatukan literasi ilmiah dengan literasi spiritual. Dalam konteks organisasi Islam modern, hal ini berarti para pemimpin dan anggotanya harus memiliki pengetahuan yang kuat baik dalam ilmu pengetahuan modern maupun ajaran Islam. Dengan demikian, mereka dapat membuat keputusan yang didasarkan pada pemahaman yang lengkap, tidak hanya mengenai ilmu pengetahuan tetapi juga mengenai etika dan moralitas yang sesuai dengan ajaran Islam.
Keempat, Menciptakan Lingkungan Riset yang Mendukung : Salah satu langkah penting yang harus diambil oleh organisasi Islam adalah menciptakan lingkungan yang mendukung riset dan inovasi. Dalam konteks ini, mereka harus mendirikan lembaga penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat, baik dalam bidang sains, teknologi, maupun ilmu sosial. Lembaga ini harus dikelola dengan prinsip-prinsip ilmiah yang ketat, tetapi tetap berpijak pada nilai-nilai Islam.
Kelima, Pendidikan Berbasis Pemahaman Iqra’ yang Benar : Pendidikan dalam organisasi Islam harus mengajarkan bahwa Iqra’ adalah sebuah proses intelektual yang kompleks dan menyeluruh. Pendidikan harus menekankan pentingnya literasi yang berbasis data serta penghayatan terhadap nilai-nilai wahyu. Dengan cara ini, generasi baru yang terdidik dalam organisasi Islam akan memiliki pemahaman yang kuat tentang pentingnya menggabungkan ilmu pengetahuan dengan iman.
Penutup: Kembali kepada Esensi Iqra
Al-Alaq mengingatkan kita bahwa literasi yang sejati tidak hanya terkait dengan kemampuan membaca teks, tetapi juga kemampuan membaca alam semesta dan memahami realitas yang diciptakan oleh Allah SWT. Ketika organisasi Islam tidak menjadikan riset dan data sebagai basis pengambilan keputusan, mereka telah menyelisihi perintah Iqra yang sejati. Namun, jika mereka mampu mengembalikan Iqra sebagai basis epistemologi, mereka tidak hanya akan menemukan kembali relevansi mereka, tetapi juga berpotensi memimpin peradaban manusia di masa depan.
Jika kita kembali ke prinsip Iqra’ yang benar, yang mencakup pemahaman ilmiah yang berbasis data dan tetap terikat pada prinsip-prinsip ilahiah, maka organisasi Islam akan mampu menemukan kembali kejayaannya. Sebaliknya, jika kita mengabaikan esensi dari Iqra’, kita sebenarnya sedang mengabaikan potensi besar yang bisa menjadikan kita pionir dalam peradaban modern. Literasi ilmiah dan spiritual adalah dua sayap yang harus digunakan bersama-sama untuk terbang menuju masa depan yang lebih cerah bagi organisasi Islam dan umat manusia. Wallahu a’lam
*) ASIH SUBAGYO, penulis peneliti senior Hidayatullah Institute (HI)