DALAM tulisan berjudul Mengapa Organisasi Gagal? Refleksi Futuristik dalam Perspektif Organisasi Islam tanggal 10 September 2024, Asih Subagyo menyebutkan sejumlah solusi sebagai antisipasi kegagalan organisasi. Salah satunya mekanisme syura yang aktif dan berbasis data.
Sementara itu, pada tulisan berjudul Transformasi Digital: Sebuah Keniscayaan Menuju Era Baru Organisasi Islam tanggal 20 Mei 2024, Asih Subagyo mengemukakan model-model digitalisasi yang bisa dipilih organisasi di masa depan. Salah satunya model data-driven.
Perhatian Asih Subagyo terhadap data dan pendataan mesti disambut baik. Paling tidak pernyataan “data is new oil” sudah sedemikian menggema. Indikasinya sejumlah bootcamp tentang data science dapat ditemui dengan mudah. Sejumlah perguruan tinggi juga membuka juruan data science.
Akan tetapi, bagi seorang muslim, pendataan tidak sekedar urusan modernisasi pengelolaan. Lebih jauh, pendataan salah satu implementasi ketakwaan. Hal ini didasarkan pada outline yang dibuat oleh Zulfikar Amir, salah seorang guru besar di Nanyang Technological University.
Dari outline tersebut dipahami bahwa pendataan wujud sikap adil. Sementara itu dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 8, adil lebih dekat dengan takwa. “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
Jika takwa itu dibedah dalam suatu taksonomi, dua derivasi dapat ditemukan, takwa dalam konteks individu dan komunitas. Dalam konteks individu, seseorang perlu melaksanakan segala perintah Allah dan di saat bersamaan menjauhi larangan-Nya. Sejumlah perilaku menjadi indikatornya semisal berinfak dalam kondisi senang atau susah.
Sementara dalam konteks komunitas, sekelompok orang semisal organisasi perlu mewujudkan keadilan, baik di internal maupun eksternal organisasi. Keadilan sendiri dapat diderivasi menjadi dua klasifikasi besar: Rata dan proporsional.
Keadilan merata berarti setiap orang mendapat hak yang sama, sementara proporsional berarti sesuai kebutuhan. Bijaksana salah satunya diindikasikan dengan ketepatan memilih antara dua opsi keadilan tersebut. Bisa jadi dalam satu aspek keorganisasian, keadilan merata dipilih. Dalam aspek lain, keadilan proporsional dipilih.
Terpenting organisasi menetapkan pilihan berdasarkan pendataan. Tentu saja tidak sekedar pendataan. Akan tetapi ada orientasi sekaligus validitas.
Orientasi akan memberikan muatan-muatan pada pendataan. Kajian syariah, visi organisasi, dan isu-isu mutakhir universal menjadi framework pendataan. Sehingga kerja pendataan tidak serampangan. Ada rute yang harus dilalui.
Sementara validitas memberikan gambaran hasil yang akurat, terang-benderang atas hasil kerja pendataan. Tidak ada yang ditutupi. Validitas memenuhi harapan orientasi. Sehingga orientasi memiliki konteks yang semakin nyata.
Persoalannya tidak semua organisasi memiliki orientasi dan validitas terhadap pendataan. Ketidakbiasaan dan ketidakbisaan dua faktor penyebab utamanya. Terlebih jika kurun waktu yang dilalui sudah sangat lama.
Padahal seiring berkembangnya organisasi yang ditandai bertambahnya jumlah orang dan aset, deduktivitas diperlukan. Sementara deduktivitas dibangun di atas kerangka berpikir sistematis. Pendataan salah satunya.
Deduktivitas mengantarkan personel organisasi memahami alur berpikir organisasi, dari awal titik berangkat hingga tujuan yang akan dicapai. Sehingga ketaatan personel atas ketetapan organisasi bukanlah ketaatan buta. Tapi ketaatan intelek. Model ketaatan ini memungkinkan personel berimprovisasi secara terukur di lapangan.
Tanpa deduktivitas, personel dapat terbelah pada dua sisi ekstrem. Satu sisi personel organisasi taat buta. Sisi lainnya improvisasi liar terjadi. Kedua sisi sama-sama buruk.
Deduktivitas juga memudahkan pewarisan pemikiran organisasi ke generasi setelahnya. Sehingga gerakan organisasi senantiasa on the track. Improvisasi bersifat memperkaya bukan deviatif.
Tentang membangun kapasitas pendataan, organisasi bisa memulai dengan pendataan yang bersifat deskriptif. Data-data kasat mata dikumpulkan. Lalu analisis dilakukan untuk menemukan hubungan antardata.
Misalkan ada data perkembangan kader. Lalu ada data perkembangan amal usaha. Dua data ini dianalisis. Satu hubungan antardata kemungkinan besar ditemukan, bisa jadi positif, bisa juga sebaliknya.
Pada tahap berikutnya analisis sebab akibat dapat dilakukan. Misalkan ada dua data tersebut. Maka diamati dengan seksama, apakah perkembangan kader mendorong perkembangan amal usaha. Ataukah sebaliknya.
Tahap berikutnya tidak kalah penting, visualisasi data. Di tahap ini, organisasi dapat menggunakan tools yang terserak. Level sederhana dapat dipilih sebagai awalan. Terpenting visualisasi data dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Praktik yang terus-menerus dilakukan semoga melahirkan kebiasaan dan kebisaan organisasi dalam pendataan. Sehingga ketakwaan mewujud dalam keadilan, keadilan mewujud dalam pendataan.
Selanjutnya pendataan membentuk deduktivitas yang kokoh. Sehingga perjalanan organisasi semakin lincah ke depan.
Para perintisnya semakin sering didoakan oleh para yunior dengan doa yang telah diajarkan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 10:
“Wahai Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.”. Wallah a’lam.
*) Fu’ad Fahrudin, penulis adalah alumni Hidayatullah Institute DPD Hidayatullah Batch 10.