MAMASA (Hidayatullah.or.id) — Di sebuah daerah dengan suhu sejuk, berkisar antara 14 hingga 27 derajat Celsius, terdapat sebuah kabupaten yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang. Namun, di balik keheningan pegunungan Mamasa, ada sebuah misi yang mulia yang kini sedang menyala.
Setelah melalui proses panjang, dua pemuda dari lulusan Sekolah Dai Hidayatullah (SDH) Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sultanbatara) di Parepare, Sapri dan Al Farabi, ditugaskan saat bertepatan dengan wisuda SDH Sultanbatara angkatan ke-V dilaksanakan di Gedung Dakwah Hidayatullah Sulsel, Parepare, Kamis, 26 Muharam 1446 (1/8/2024).
Keduanya ditugaskan untuk membawa cahaya Islam ke tempat yang masih kekurangan bimbingan rohani, tepatnya di Desa Panetean, Kecamatan Aralle, Kabupaten Mamasa.
Dengan hanya 28.509 jiwa Muslim dari total 170.354 penduduk pada tahun 2023, Kabupaten Mamasa bisa dibilang merupakan sebuah lahan subur bagi misi dakwah. Semangat yang mereka bawa begitu kuat, berlandaskan pengabdian tanpa syarat.
Tugas yang diberikan kepada mereka setelah menyelesaikan pendidikan dai adalah amanah yang diterima dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan. Bukan sekadar bekerja untuk menunaikan tugas, tetapi mereka datang dengan misi yang lebih besar—membangkitkan jiwa-jiwa yang haus akan bimbingan rohani dan pendidikan agama.
Hidupkan Dakwah di Atas Tanah Wakaf
Perjalanan dakwah di Mamasa tidak dimulai dengan mudah. Pencarian tanah wakaf untuk mendirikan pusat kegiatan agama sudah berlangsung sejak tahun 2015. Tahun demi tahun, harapan dan usaha untuk mendapatkan sebidang tanah tidak pernah surut.
Hingga akhirnya, kabar baik datang dari Kepala Desa Panetean Fikal S.sos. Sebuah sebidang tanah seluas satu hektar di desa tersebut dihibahkan oleh kepala desa atas nama keluarganya. Ini bukan sekadar sebidang tanah biasa, tapi sebuah anugerah besar yang disambut dengan rasa syukur dan keyakinan bahwa Allah telah memberikan jalan untuk memperjuangkan dakwah di daerah terpencil ini.
Tanah wakaf tersebut kini menjadi titik awal dari perubahan besar yang akan terjadi di Panetean. Dalam sebuah perjalanan yang memakan waktu hingga dua jam dari pusat Kabupaten Mamasa, Sapri dan Al Farabi melangkah mantap menuju desa yang akan menjadi ladang dakwah mereka. Berbekal keikhlasan dan tekad yang kuat, mereka memulai misi mereka di sana.
Hadirkan Rumah Qur’an
Sesampainya di Desa Panetean, keduanya langsung menempati salah satu rumah warga yang telah lama kosong. Namun, mereka tidak menunggu lama untuk mulai bergerak. Dalam hitungan hari, Rumah Qur’an Ar Royah diaktifkan. Lokasinya berada di Dusun Ba’bapane, desa kecil yang berada di kaki gunung. Kehadiran mereka disambut hangat oleh warga setempat, terutama oleh anak-anak yang antusias untuk belajar mengaji.
Setiap hari, rutinitas di rumah Qur’an ini menjadi sebuah oase baru bagi penduduk. Sapri dan Al Farabi dengan penuh dedikasi mengajari anak-anak setempat membaca Al-Qur’an. Kegiatan ini menjadi pusat perhatian desa karena sebelumnya tidak ada aktivitas keagamaan serutin ini.
Rumah Qur’an Ar Royah menjadi simbol semangat baru, di mana anak-anak kecil di dusun tersebut mulai mengenal Islam lebih dalam. Tidak hanya anak-anak, para orang tua pun merasakan keberkahan dari kehadiran dua dai muda ini.
Keaktifan Sapri dan Al Farabi di masjid setempat juga menjadi daya tarik tersendiri bagi warga. Tidak lazim di desa tersebut ada anak muda yang rajin bolak-balik ke masjid lima kali sehari. Keduanya tak hanya hadir untuk melaksanakan shalat, tetapi juga mengambil peran dalam membersihkan masjid, mengumandangkan adzan, dan memimpin jamaah dalam shalat. Aktivitas mereka memancarkan aura kepemimpinan yang kuat, menginspirasi generasi muda setempat untuk lebih dekat dengan agama.
Tak heran jika dalam hitungan minggu, nama mereka mulai dikenal di seluruh penjuru desa. Setiap Jumat, keduanya selalu tampil sebagai khatib dalam khutbah Jumat. Hal ini semakin memperkuat peran mereka di masyarakat, sebagai tokoh muda yang menjadi penggerak dakwah di tengah keterbatasan sarana dan prasarana di desa tersebut.
Tantangan Mengajar dan Bangun Pondok
Satu tantangan unik yang dihadapi oleh Sapri dan Al Farabi datang dari para ibu-ibu setempat. Keinginan para ibu-ibu untuk belajar tahsin Al-Qur’an akhirnya mencuat. Ini menjadi pengalaman baru bagi keduanya, karena selama di pondok, mereka belum pernah mengajari ibu-ibu.
Awalnya, ada rasa grogi dan malu, tetapi keinginan untuk menyebarkan ilmu tahsin lebih besar. Mereka pun menerapkan metode pembelajaran Al-Qur’an Grand-MBA dengan sukses.
Dikutip dari laman Posdai.or.id, kelas tahsin ini tidak hanya menjadi tempat belajar bagi para ibu, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi yang mempererat hubungan antarwarga. Perlahan, kebiasaan baik ini menyebar ke desa-desa tetangga. Berkat tekad dan pengabdian mereka, dakwah Islam di daerah tersebut semakin berkembang pesat.
Keberadaan Sapri dan Al Farabi di Desa Panetean tak hanya membawa manfaat jangka pendek. Bapak Fikal selaku Kepala Desa Panetean, berharap agar Hidayatullah dapat menempatkan dai permanen di desa tersebut. Fikal melihat dampak positif dari kehadiran dua dai muda ini. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, semuanya semangat untuk belajar mengaji dan memperdalam agama.
Bahkan, warga dari desa tetangga seperti Aralle Utara dan Bumal juga mulai meminta agar kegiatan serupa dilakukan di desa mereka. Hal ini menunjukkan bahwa semangat dakwah yang dibawa oleh Sapri dan Al Farabi tidak hanya terbatas di Panetean, tetapi juga menyebar ke seluruh pelosok Kabupaten Mamasa.
Fikal juga berharap pembangunan pondok pesantren di atas tanah wakaf segera terwujud. Ia yakin, dengan adanya pondok, pembinaan umat Islam di daerah tersebut bisa lebih terstruktur dan berkesinambungan.
Menjalani Dakwah dengan Kesederhanaan
Meski tantangan dan jarak menjadi bagian dari keseharian mereka, Sapri dan Al Farabi tidak pernah mengeluh. Setiap hari, mereka berjalan kaki dari rumah ke masjid dan majelis taklim. Terkadang, tetangga menawarkan sepeda motor untuk mereka pinjam, tetapi keduanya merasa enggan untuk terlalu sering meminjam. Kemandirian dan keteguhan mereka dalam menjalankan misi dakwah benar-benar mencerminkan spirit pengabdian yang luar biasa.
Dengan ketulusan, kesabaran, dan keberanian, Sapri dan Al Farabi telah menjadi simbol pahlawan dakwah di pelosok Mamasa, membuktikan bahwa di balik keterbatasan, selalu ada jalan untuk menyebarkan kebaikan dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam semangar keberanian, pengorbanan, dan keyakinan. (ybh/hidayatullah.or.id)