Oleh Zachary J. Foster*
PADA tanggal 19 Juni 1967, hanya seminggu setelah ‘Israel’ menaklukkan Gaza dan Tepi Barat dalam Perang 1967, kabinet ‘Israel’ memutuskan untuk mencaplok Lembah Yordan. Perbatasan timur ‘Israel’ sekarang menjadi Sungai Yordan, sedangkan Lembah Yordan yang berdekatan akan tetap berada di bawah kendali ‘Israel’.
Bagi penjajah Zionis ‘Israel’, Lembah Yordan adalah sebuah anugerah: Wilayahnya luas, lokasinya strategis, dan populasi Palestinanya sedikit. Lembah ini memberikan “keamanan dan wilayah maksimum bagi ‘Israel’ dengan jumlah orang Arab yang minimum.” Sebuah bagian dari Palestina kuno (Historic Palestine) tanpa [terlalu banyak] orang Palestina di dalamnya! Sebuah kombinasi yang sempurna!
Saat ini, Lembah Yordan adalah pusat dari apartheid ‘Israel’. Warga Palestina merupakan 80% dari total populasi, tetapi hanya diperbolehkan untuk tinggal di daerah kantong yang mencakup hanya 5% dari luas wilayahnya. Pemukim ilegal Yahudi ‘Israel’ merupakan 20% dari populasi, tetapi menguasai 95% tanah.
Sebagian besar warga Palestina di Lembah Yordan tinggal di Jericho dan kamp-kamp pengungsi di dekatnya; sisanya tersebar di puluhan desa serta komunitas-komunitas penggembala dan Badui kecil.
Sebagian besar dari mereka tidak terhubung dengan jaringan air bersih dan harus membayar 8 kali lipat lebih mahal untuk mendapatkan air dibandingkan dengan warga Palestina lainnya di Tepi Barat. Sementara itu, pemukim ilegal Yahudi ‘Israel’ di Lembah Yordan menerima setidaknya 18 kali lebih banyak air dibandingkan dengan warga Palestina.
Warga Palestina di Lembah Yordan 100 kali lebih mungkin mendapatkan perintah pembongkaran rumah mereka daripada mendapatkan izin untuk membangun rumah. Tidak mengherankan jika mereka merupakan 70% dari seluruh warga Palestina yang secara etnis dibersihkan dari Tepi Barat dalam beberapa tahun terakhir, dan 18 kali lebih mungkin dibandingkan dengan warga Palestina di Tepi Barat lainnya yang rumahnya dihancurkan oleh ‘Israel’.
Jadi, bagaimana kita bisa sampai di sini?
Pada tanggal 1 Agustus 1967, kurang dari dua bulan setelah perang berakhir, aneksasi ‘Israel’ atas Lembah Yordan sudah berlangsung. Sembilan bidang tanah yang luas di Lembah Yordan dan sebidang tanah yang membentang di sepanjang bagian timurnya dinyatakan sebagai “zona militer tertutup”.
Kemudian muncul pertanyaan, apa yang harus dilakukan dengan orang-orang Palestina yang tinggal di sana?
Peringatan pemicu (trigger warning): Serdadu ‘Israel’ memasang pengeras suara di mobil-mobil yang mengumumkan seruan untuk meninggalkan tempat tersebut. Helikopter-helikopter ‘Israel’ terbang di atas kepala dan menggantungkan mayat-mayat warga Palestina sebagai taktik menakut-nakuti.
Serdadu ‘Israel’ meledakkan rumah-rumah warga Palestina untuk mendorong mereka mengungsi. Serdadu ‘Israel’ menyerang para pengungsi Palestina yang mencoba untuk kembali. Serdadu ‘Israel’ kemudian menyediakan bus dan truk untuk penduduk setempat guna mengangkut mereka ke perbatasan dengan Yordania.
Pada akhir tahun itu, pembersihan etnis di Lembah Yordan sebagian besar telah selesai. ‘Israel’ telah mengusir sekitar 65.000 dari 93.000 warga Palestina di Lembah Yordan hanya dalam waktu beberapa bulan.
Menurut beberapa perkiraan, sebanyak 88% dari penduduk Lembah Yordan dikosongkan, sebagian besar dari mereka adalah pengungsi, terutama dari daerah Jericho, al-‘Ajajra, al-Jiftlik, Aqabat Jaber, dan Ein as-Sultan.
Pada tahun 1976, Yigal Allon, arsitek kebijakan pendudukan ‘Israel’ pada saat itu, menjelaskan bahwa tujuannya adalah:
“Kontrol mutlak ‘Israel’ atas zona strategis di sebelah timur dari populasi Arab yang padat, yang terkonsentrasi di puncak perbukitan dan ke arah barat. Saya mengacu pada zona gersang yang terletak di antara Sungai Yordan di sebelah timur, dan rangkaian timur pegunungan Samaria dan Yudea di sebelah barat—dari Gunung Gilboa di sebelah utara melalui gurun Yudea, sampai bergabung dengan gurun Negev. Luas zona gurun ini hanya sekitar 700 mil persegi dan hampir tidak berpenduduk.”
Pada tahun 1976, ‘Israel’ mengatakan kepada dunia bahwa mereka akan mempertahankan Lembah Yordan selamanya. Memang, hanya ada begitu sedikit orang Arab yang tinggal di sana, bagaimana mungkin mereka bisa diharapkan untuk tidak mencaploknya?
Dominasi ‘Israel’ atas Lembah Yordan terus berlanjut selama Tahun-tahun Oslo. Seluruh wilayah itu berada di bawah Area C, di mana ‘Israel’ mempertahankan kendali penuh atas urusan sipil dan keamanan.
Dalam sebuah rekaman yang bocor, Bibi Netanyahu mengakui bahwa, sebagai Perdana Menteri pada tahun 1997, ia mengancam akan menyabotase seluruh Proses Oslo demi mempertahankan dominasi penuh ‘Israel’ di Lembah Yordan. Videonya sangat mengejutkan. Netayahu berkata:
“Tidak ada yang mengatakan apa yang dimaksud dengan zona militer yang ditetapkan (defined military zone). Zona militer yang ditetapkan adalah zona keamanan; sejauh yang saya ketahui, seluruh Lembah Yordan adalah zona militer yang ditetapkan.”
Netanyahu kemudian menolak untuk menandatangani Perjanjian Hebron 1997 kecuali jika rekan-rekannya, Yasser Arafat, dan Amerika Serikat, keduanya setuju “‘Israel’ & ‘Israel’ sendiri yang mendefinisikan apa itu fasilitas militer.”
Hal ini menjadi lebih jelas dalam Perjanjian Camp David tahun 2000, ketika tim negosiasi ‘Israel’ bersikeras untuk mempertahankan kendali atas sebagian besar Lembah Yordan dan Garis Pantai Sungai Yordan. Seperti yang dikatakan oleh Diplomat Amerika Serikat (AS) dan pendukung ‘Israel’, Dennis Ross, “Lembah Yordan adalah wilayah yang menurut ‘Israel’ tidak bisa mereka serahkan atau hanya bisa mereka serahkan sebagian saja.”
Sejak berakhirnya Proses Oslo, pemerintahan apartheid ‘Israel’ di Lembah Yordan semakin intensif. Pada bulan Mei 2005, ‘Israel’ mulai menolak hak warga Palestina untuk pindah ke sana, seperti warga Palestina dari Al-Khalil, Bayt Lahm, atau Nablus yang mencari pekerjaan atau menikah dengan warga Palestina di Lembah Yordan. Bahkan, siapa pun yang tinggal di Lembah Yordan pada malam Mei 2005 yang alamat resminya bukan di Lembah Yordan [ingat, ‘Israel’ mengontrol registrasi penduduk Tepi Barat] kehilangan hak mereka untuk terus tinggal di sana.
Pengakuan resmi AS atas pemerintahan apartheid ‘Israel’ di Lembah Yordan datang bersamaan dengan Rencana “Peace to Prosperity (Perdamaian Menuju Kemakmuran)” yang dicanangkan oleh Presiden Trump pada tahun 2019–2020, yang menyatakan secara langsung: “Lembah Yordan, yang sangat penting bagi keamanan nasional ‘Israel’, akan berada di bawah kedaulatan ‘Israel’.”
Pada bulan Maret 2024, ‘Israel’ mengumumkan lagi penyitaan 8.000 dunam tanah di Lembah Yordan sebagai tanah negara, penyitaan tanah terbesar dalam tiga dekade terakhir.
Serdadu ‘Israel’ di Lembah Yordan bahkan tidak menutup-nutupi tujuan pendudukan militer ‘Israel’ di wilayah tersebut. “Mereka [orang Palestina] seharusnya tidak berada di sini. Mengapa mereka tidak pergi ke Yordania?” kata seorang serdadu ‘Israel’.
Serdadu ‘Israel’ dibantu dan bersekongkol dengan para pemukim ilegal Yahudi di Lembah Yordan, yang banyak dari mereka secara sukarela melakukan “pekerjaan sehari-hari” untuk melecehkan, merundung, dan meneror warga Palestina.
‘Israel’ tampaknya tidak akan pernah melepaskan kekuasaannya di Lembah Yordan. Wilayahnya luas, strategis, dan jarang dihuni oleh warga Palestina. Hal ini membuat wilayah tersebut menjadi rumah bagi beberapa ketidaksetaraan yang paling mengerikan antara pemukim ilegal Yahudi dan warga Palestina, serta beberapa manifestasi terburuk dari rezim apartheid ‘Israel’ yang kejam.
*) Zachary J. Foster, penulis adalah sejarawan yang penelitiannya mengeksplorasi gagasan tentang Palestina serta asal usul identitas Palestina pada abad ke-19. Artikel ini dimuat di laman palestine.beehiiv.com dan diterjemahkan oleh Sahabat Al Aqsha