“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok ; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Hasyr: 18)
Faidah yang terkandung dalam ayat ini;
Pentingnya Taqwa
Allah ta’ala setiap kali memerintahkan suatu perintah kemudian perintah itu diulang kembali seperti dalam ayat ini, menunjukkan akan pentingnya perintah tersebut. Anda bisa saja main-main dalam urusan lain, tapi anda jangan main-main soal TAQWA, sebagaimana Allah firman-Nya;
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam” (Ali imron: 102)
Maka tidak heran Rasulullah menjadikan pesan taqwa ini hampir di setiap pembukaan khutbahnya yang dikenal dengan ‘khutbatul hajah’. Karena ucapan yang paling benar dari seluruh perkataan adalah firman Allah, petunjuk terbaik di dunia ini adalah petunjuk Rasulullah, perkara terburuk adalah rekayasa yang dibuat-buat dalam agama, dan setiap yang dibuat-buat itu disebut bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka. (Riwayat Abu Dawud 1/331, Nasa’i 1/208, al-Hakim 2/182)
Diulangnya perintah taqwa yaitu menghendaki agar orang-orang beriman benar-benar bertaqwa dalam segala kondisinya, dalam semua situasi, sepi sendiri maupun ramai, dimana saja dan kapan saja. Supaya seorang mukmin benar-benar menghadapi perintah Allah dengan penuh ketaatan, larangan Allah benar-benar dijauhkan, nikmat Allah betul-betul disyukuri, asma Allah benar-benar berusaha diingati, tidak ada: main-main!!
Perintah memperhatikan (Nadhor) amal
Di antara dua perintah Taqwa, diapitlah perintah: “hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya….” Allah menginginkan setiap orang beriman benar-benar memperhatikan amalnya. Sebab hanya amal sholih lah yang akan berguna dan senantiasa menyertai si mayit hingga hari kiyamat. Harta, kedudukan, sanak keluarga semua tidak menyertainya. Maka amal perlu diperhatikan baik secara kuantitas (jumlah) maupun kualitas (mutu).
“……dan berbekallah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang berakal”. (Al-Baqoroh: 197)
Ketika suku Bani Mudhor mendatangi Rasulullah di siang gurun yang panas, dalam keadaan bertelanjang dada dan tidak bersandal, Rasulullah iba melihat kemiskinan mereka. Kemudian Rasulullah membaca ayat ini. Maka berdatanganlah para sahabat dengan membawa sedekah-sedekah mereka berupa dinar, dirham, pakaian, kurma, gandum dan sebagainya. Dari yang membawa sebutir kurma hingga seseeorang yang terhuyung-huyung membawa berat dan banyaknya sedekah. (Tafsir Ibnu Katsir 3/477).
Demikianlah di antara semangat mereka dalam beramal ketika mendengar ayat ini, maka dimanakah kedudukan kita jika dibandingkan para pendahulu ini?
Dalam ayat ini Allah tidak mengatakan Faltaro (ro-a, yaro-ru’yah) hendaknya melihat sekilas. Tanpa perhatian dan tanpa kepedulian ekstra. Allah juga tidak mengatakan Falta’mal, maka hendaknya beramal. Karena bukan asal beramal. Asal-asalan mengerjakan ‘ibadah’. Hendaknya diperhatikan secara seksama; apakah amal tersebut ada landasan dalilnya yang shohih, ikhlas tidak, jangan-jangan riya’, sesuai petunjuk Rasulullah atau tidak, jangan-jangan bid’ah dan seterusnya.
Namun Allah mengatakan; Faltandhur, hendaknya memperhatikan dengan seksama (Lisanul ‘Arob VI). Sebagaimana melihat uang dengan lebih seksama; dilihat, ditrawang, diraba. Sebagaimana pula istilah ‘Nadhor’ yang digunakan untuk melihat gadis calon istrinya.
Sebagaimana sabda Rasulullah: “Bila seorang di antara kalian melamar wanita, jika mampu untuk melihat (Nadhor) apa yang membuatnya tertarik untuk menikahi, maka lakukan”. (Riwayat Ahmad)
Nadhor dengan cara memperhatikan nasabnya, tabiatnya, menanyakan kepribadiannya, mencari kabar dari teman karibnya dan sebagainya. Padahal gadis calon istri itu hanya menyertainya beberapa tahun saja, maka bagaimanakah seharusnya perlakuan seseorang terhadap amalnya yang akan terus menyertainya hingga hari kiyamat?
Maka bagaimana pula seseorang pergi menuju negeri akhirat dengan tanpa bekal amal? Bagaimana pula nasib seseorang pergi ke akhirat kelak dengan bekal amal yang buruk? Betapa bahayanya seseorang yang melakukan perjalanan dengan perbekalan yang kurang. Bahkan bisa-bisa tidak sampai ke tempat tujuan, tapi sampainya justru di penjara gara-gara berbekal uang palsu.
Perintah Muhasabah
Ayat ini berisi perintah untuk muhasabah. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: ‘Hendaknya seseorang senantiasa muhasabah dengan apa yang diperbuat oleh 6 anggota badannya; mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan dan kakinya. Sebab mereka menjadi sarana manusia mencapai tujuan-tujuannya. Selamatlah, berbahagialah orang yang senantiasa menjaganya dan menggunakannya dalam kebaikan. Dan celakalah orang yang menyia-nyiakannya dalam kemaksiyatan. (Ighotsatul Lahfan, I/160)
Amirul Mukminin Umar bin Khottob berkata: ‘Hasibu anfusakum qobla an-tuhaasabu, hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbang-timbanglah sebelum amal perbuatan kalian ditimbang. Sungguh, lebih mudah bagi kalian menghisab amal di hari ini daripada dihisabnya kelak di hari kiyamat yang tiada sesuatupun tersembunyi kecuali akan ditampakkan’. (Ighotsatul Lahfan, I/157)
Faltandhur, hendaklah seorang mukmin ber-muhasabah, intropeksi, mawas diri tentang amalnya. Apakah amal perbuatannya sudah baik atau belum. Apakah selama ini masih banyak kekeliruan maka cepat-cepat bertaubat. Jika sekiranya merasa kadar ketaatanya dalam menjalankan perintah Allah masih minimize, maka hendaklah lebih ber-mujahadah.
Jika selama ini ngantukan dan malas-malasan berkhitmad untuk agama, maka hendaklah berbenah diri. Jika selama ini terlibat riba dan dosa maka secepatnya sadarkan diri. Apakah amal yang diperbuatnya akan memberi manfaat atau justru menimbulkan mudhorrot (kerugian) bagi dirinya kelak di akhirat. Maka hendaklah diperhatikan.
Kinayah dekatnya akhirat
Lalu, apa yang hendak diperhatikan dalam perintah penting ini? Yaitu hari esok. Apakah hari esok yang dimaksud adalah hari-hari ke depan? bulan depan? hari tua? hari pasca pensiun? Yaitu hari hari qiyamat. Yaitu bermula pada kematian. Sebagaimana Rasulullah bersabda; jika seorang hamba mati maka terjadilah pada dirinya qiyamat. Yaitu kiyamat sughro (kecil).
Semantara kiyamat kubro adalah hancurnya planet dunia ini, jatuhnya bintang-bintang, padamnya matahari, dan sebagaimana yang Allah ceritakan dalam banyak ayat-Nya. Juga termasuk hari esok yang harus diperhatikan! Hanya orang yang kurang akal saja yang menyikapi perintah penting ini dengan sikap abai.
Sebab, jika seseorang menjadikan focus perhatiannya, kiblat cita-citanya (himmah), orientasinya demi akhirat maka pastilah ia akan bersungguh-sungguh, bersusah payah dan berpeluh-peluh dalam beramal. Sebaliknya, manakala yang ada di otaknya hanya dunia, yang di hatinya melulu dunia, cita-citanya hanya apa yang bisa masuk ke dalam perutnya maka dia nilainya seperti yang keluar dari perutnya.
Allah menggambarkan betapa dekatnya jarak akhirat dengan manusia yang seakan-akan besok (ghod) terjadinya. Dan memang 100% benar. Bahwa pintu awal akhirat adalah kematian. Dan bukankah kematian tiap-tiap manusia itu begitu dekat? Dalam hitungan waktu berlalu, Al-maut itu begitu cepat menyambar nyawa tanpa manusia sadari.
Perintah menuntut ilmu
Dimanakah letak perintah menuntut ilmu pada ayat ini? Barangkali tidak terbayang oleh seseorang dalam ayat yang agung ini ternyata terdapat kandungan perintah untuk menuntut ilmu. Karena memang masih banyak amal yang perlu kita perbaiki. Masih banyak ilmu yang harus kita pelajari. Karena sebabnya pula bagaimana benar-benar bisa beramal secara benar tanpa mempelajarinya?
Perintah memperhatikan amal, secara otomatis juga perintah mengetahui ilmunya. Sebagaimana kaidah Al-‘ilmu qoblal Qouli wal ‘Amal, wajib berilmu terlebih dahulu sebelum beramal. Bagaimana beramal dengan benar tanpa didasari ilmu yang benar?
Keutamaan Muroqobah
“…….sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Bahwa seluruh amal perbuatan dan segala keadaan manusia di manapun dan kapanpun senantiasa diawasi Allah ta’ala. Tiada sedikitpun seseuatu baik yang kecil maupun yang tersembunyi melainkan semuanya berada di bawah pengawasan Allah ta’ala.
Oleh karena itu, mengherankan dan betapa anehnya manusia dengan tanpa risih dan malu berbuat durjana padahal dilihat Allah ta’ala. Dengan tanpa rasa malu manusia bermaksiyat sedangkan Allah melihatnya. Tidakkah manusia itu berfikir, dimanakah akalnya? Wallohu a’lam bis-showab.
Ust Mardiansyah (Pendidik di Pondok Pesantren Hidayatullah Bontang)