MANUSIA bisa mencintai apa saja dalam hidupnya, dan diatas apa yang dicintainya itulah kemudian hidupnya berporos.
Ada yang mencintai hal-hal berguna sehingga hidupnya berputar diatas keberkahan dan manfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Tetapi, ada juga yang gandrung kepada hal-hal buruk sehingga hidupnya bergulir diatas kekacauan dan kebinasaan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Di zaman ini, banyak orang yang sangat mencintai selebritis tertentu. Tanpa malu-malu mereka berteriak histeris atau menulis poster: “Marry me, please!” (Tolong, kawini aku!).
Ketika Justin Bieber meng-upload kartun yang menggambarkan dirinya sedang memeluk seorang cewek dalam pose vulgar, ribuan komentar gila pun berterbangan di Twitter.
Banyak fans wanita yang mengirim kicauan, dan diantaranya secara terang-terangan berharap jika gadis yang tidur bersama Justin itu adalah dirinya!
Masih banyak kegilaan lain yang menjangkiti manusia modern, yang bermula dari kecintaan mereka kepada sesuatu. Mereka kemudian mengerahkan segenap sumberdaya yang dimilikinya untuk sesuatu yang sebetulnya remeh dan sia-sia.
Misalnya, seorang pria Amerika mengoleksi ribuan pernak-pernik Pokemon, dan berkali-kali terbang ke Jepang hanya untuk memburu merchandise yang belum dimilikinya.
Ada seseorang yang bangga menyimpan baju artis Mariah Carey yang baru dipakai dalam sebuah konser. Harga baju ini sangat mahal bukan karena desain atau bahannya, tetapi karena belum dicuci dan masih ada bau keringat asli pemakainya!
Ada lagi yang mengumpulkan mobil-mobilan ala Transformer, mainan robot khas Gundam, aneka seri boneka Barbie, dsb. Festival Manga (komik/kartun Jepang) dan Star Wars pun sangat sering diberitakan oleh media massa, dimana komunitas penggemarnya secara rutin berkumpul dan berparade dengan pakaian mirip komik maupun film aslinya.
Sungguh, semua ini merupakan kesia-siaan yang pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah di akhirat nanti; apalagi jika pelakunya adalah seorang muslim. Sebab, tujuan penciptaan manusia adalah agar mengabdi kepada-Nya, bukan bermain-main dan memperturutkan bisikan hawa nafsu (Qs. Adz-Dzariyat: 56).
Pertanyaannya sekarang, di atas apakah kehidupan seorang muslim seharusnya dibangun? Menurut Al-Qur’an, mestinya seorang muslim hidup diatas cintanya kepada Allah, berkebalikan dengan orang-orang kafir yang begitu tergila-gila kepada selain-Nya.
Dalam surah al-Baqarah: 165 ditegaskan: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, maka sangat hebat cintanya kepada Allah….”
Akan tetapi, apakah yang dimaksud dengan “mencintai Allah Ta’ala” itu? Bagaimana cara mengenali tanda-tandanya? Seperti apa cinta Allah yang sejati, dan apa bedanya dengan cinta palsu?
Bahasa Arab menyebut “cinta” dengan al-hubb. Dikatakan dalam kitab Madarijus Salikin (III/11-12) bahwa al-hubb memiliki lima pengertian dasar, yaitu: putih dan bersih, tinggi dan tampak, teguh dan komit, lubuk hati yang terdalam, serta menjaga dan menahan.
Bila digabungkan, maka kelima makna ini dengan jelas akan menggambarkan unsur-unsur dan sifat-sifat cinta yang sebenarnya.
Maka, ketika seseorang mengaku mencintai Allah namun dalam dirinya tidak terlihat unsur-unsur dan sifat-sifat di atas, berarti ia bohong. Misalnya, mustahil ada pecinta Allah yang sekaligus ahli maksiat, sebab hal itu bertentangan dengan salah satu makna cinta, yaitu komitmen – dalam hal ini – kepada syariat Allah.
Orang yang telah mencintai Allah dengan semua sifat dan unsur di atas, kehidupannya pasti akan berputar di sekitar imannya, tidak hanya memperturutkan selera dan nafsu. Iman telah menjadi poros hidupnya.
Semua hal akan ditimbang berdasar nilai-nilai yang diyakininya. Iman akan memandu hidupnya ketika tidur dan terjaga, beribadah dan bermuamalah, sendirian dan bersama-sama orang lain, dst.
Sungguh sungguh
Mencintai Allah adalah bagian dari iman. Ia harus diupayakan dan diperjuangkan sungguh-sungguh. Ia tidak bisa muncul begitu saja, dan tidak ada seorang pun yang terlahir dalam keadaan telah membawanya.
Oleh karenanya, Ahmad bin Abil Hawari az-zahid (w. 246 H) berkata, “Tanda mencintai Allah adalah mencintai ketaatan kepada Allah – dalam riwayat lain: mencintai dzikrullah (mengingat Allah). Jika Allah telah mencintai seorang hamba, Dia akan membuat hamba itu mencintai-Nya. Seorang hamba tidak akan mampu mencintai Allah sebelum permulaan cinta itu datang dari Allah, yakni dengan kecintaan Allah kepadanya. Dan, hal itu terjadi ketika Allah mengetahui kesungguhannya dalam meraih keridhaan-Nya.” (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Jadi, satu-satunya cara agar manusia bisa mencintai Allah adalah dengan bersungguh-sungguh menaati-Nya. Siapa saja yang tidak serius menaati Allah, berarti tidak serius mengharapkan karunia-Nya.
Syah al-Karmani (w. 270-an H) berkata, “Pertanda benarnya pengharapan kepada Allah adalah baiknya ketaatan (kepada-Nya).”
Ketika Allah telah melihat keseriusan seseorang dalam meraih ridha-Nya, maka Allah pun akan mencintainya. Dan, bila Allah telah mencintainya maka akan ditumbuhkan-Nya rasa cinta kepada-Nya di dalam hati orang itu. Inilah awal mahabbatullah (cinta Allah).
Atas dasar ini, seorang ahli hikmah berkata, “Yang menjadi urusanmu bukanlah agar engkau mencintai (Allah), akan tetapi bagaimana agar engkau dicintai (oleh Allah).” (lihat: Tafsir Ibnu Katsir, QS Ali ‘Imran: 31-32).
Jadi, cinta Allah adalah karunia. Ia merupakan hadiah atas usaha dan kerja keras seseorang dalam meraih ridha-Nya.
Maka, taatilah Allah secara sungguh-sungguh, agar kecintaan kepada-Nya tumbuh di dalam hati. Sebab, di atas rasa cinta itulah kehidupan Anda akan berputar. Wallahu a’lam.
*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis pengasuh Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Malang