PADA acara Coffe Morning Peradaban (CMP) pekanan yang digelar Institute For Islamic Studies and Civilization (INISIASI)-Hidayatullah pada Sabtu, (07/04/2012) lalu, Direktur Inisiasi, Suharsono, mengungkapkan dalam pengantar diskusi bahwa dalam setiap generasi dalam kehidupan manusia selalu ada fase pemikiran karena keberlangsungan pemikiran senantiasa mendominasi perilaku hidup manusia.
Maka, tegas Suharsono, jika seseorang hidup tanpa dilandasi pemikiran yang kokoh bagaikan tong kosong yang berbunyi nyaring dan begitu ringan dan mudah diombang ambingkan.
“Umat Islam semestinya tampil dengan superioritasnya dan tidak perlu takut menghadapi berbagai macam fase pemikiran karena ada Al-Qur’an yang berisi petunjuk dan wahyu Allah selalu relevan,” kata Suharsono.
Sesungguhnya peradaban kini hari ini telah dikuasai fase pemikiran sosialis, materialis, kapitalis, sekularis, liberalis dan lain-lain. Maka jika pemikiran liberal dan lain-lainnya itu adalah virus, tegas Suharsono, umat Islam sesungguhnya telah memiliki anti-virus tersebut yakni jalan kebenaran yang tertuang di dalam surah Al-Qur’an.
Suharsono menilai, sangat berbahaya jika seorang muslim hidup tanpa membiasakan diri berpikir dan menurutnya inilah penyakit global saat ini karena minimnya karya dari hasil pikir yang dihasilkan.
Lebih lanjut Suharsono menguraikan, ibadah yang dilakukan setiap individu Muslim semestinya berasal dari kesadaran dan bukan suatu rutinitas yang dilakukan tanpa tujuan. Karena beribadah, terang dia, adalah berangkat dari kesadaran diri dan merupakan hasil pemikiran yang telah dipahami.
Tapi melihat kondisi bangsa dan pemangku amanah negeri termasuk menjangkiti akademisi dewasa ini, Suharsono melihat ada gejala yang tidak baik menimpa mentalitas akademisi bangsa Indonesia yang tergolong plagiator alias tidak gemar berfikir.
Sehingga suharsono berpendapat pikiran-pikiran besar tidak musti selalu lahir dari mimbar-mimbar mulia altar kampus bergengsi tapi bisa mencuat dari tempat sederhana seperti dakwah nabi yang digalakkan melalui halaqoh-halaqoh.
“Bahkan beberapa ulama dan pemikir Islam terkenal dalam sejarahnya menuangkan gagasan besar mereka di penjara,” katanya.
Benturan Dua Ideologi
Peserta dikusi lainnya Ustaz Wahyu Rahman yang juga Ketua Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, Jawa Barat ini mengungkapkan bahwa sesungguhnya sebab utama pertentangan yang terjadi di masyarakat saat ini karena adanya benturan mendasar antara ideologi langit (theologis) dan ideologi bumi (materialis).
Ia menjelaskan, konsep keilmuan yang lahir dari falsafah bumi akar-akarnya adalah materi, sementara orang-orang berilmu yang mendasarkan pada falsafah langit memiliki standar syahadat yg kuat.
“Untuk membangung syadahat yang mengakar SNW-lah kuncinya. Tahapan-tahapan dalam SNW sangat menekankan manusia berilmu dengan berlandaskan wahyu yang merupakan cahaya Allah,” ujarnya.
Pernyataan Wahyu Rahman mendapat tanggapan dari Gatot Supriadi dari Pesantren Hidayatulah karawang. Pada intinya Gatot hanya menambahkan apa yang sudah dijabarkan oleh Wahyu Rahman tentang benturan dua ideologi dengan realitanya di masa kini.
Menurut Gatot, realitanya memang banyak umat Islam yang terjangkiti virus liberal di bangku kuliah sebagai kaum intelektual, bahkan kini sudah mulai merangsek masuk ke pendidikan menengah atas.
Gatot berkesimpulan, jika umat Islam mampu konsisten memegang nilai nilai Tauhid yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-‘Alaq maka fase pemikiran liberal tidak akan berarti apa-apa dan mentok.
“Banyak saudara-saidara kita seiman yang gagap terhadap konsep-konsep keilmuan dengan falsafah bumi ini,” kata Gatot memungkasi.
Pendapatat Wahyu Rahman diiyakan juga Ustaz Abu A’la Abdullah. Sebab pada dasarnya, kata Abu ‘Ala, setiap manusia memang terlahir dengan konsep berpikir yang berbeda-beda, tapi seyogyanya kata dia tidak perlu saling memojokkan yang dalam Alquran disebut jangan saling mengolok.
Menurut Abu, tidak ada manusia yang suci di dunia ini sehingga menurutnya banyak orang yang katanya anti liberal tapi perilaku kesehariannya tak ubahnya sebagai provokator yang suka marah, tidak sopan, gemar adu domba, dan jauh dari jamaah.
“Berpikirlah bahwa sebenarnya ada dan menghasilkan karya. Jika arus berpikir manusia hanya berperang dalam wacana maka kita akan kelelahan tanpa hasil,” tukasnya.
Tradisi berfikir ini justru lebih berkembang di Barat di mana mereka senantiasa melakukan eksplorasi dalam penelitian. Ini artinya, menurut Abu, pemikiran harus melalui tahapan dan aksi yang sistematis dan tidak berhenti pada sebuah konsep semata.
Pria asal Klaten ini juga sempat mempersoalkan pengajaran Ushuluddin di perguruang tinggi yang, menurutnya, justru tak memberi andil besar dalam transformasi aqidah Islam. Malah ada mahasiswa yang belajar ilmu Ushuluddin (filsafat/ perbandingan agama) dari guru yang salah dapat menjadikannya mengikuti filsafat sesat yang mempertanyakan eksisteni Allah, dzat yang tidak terbatas.
Maka, simpul Abu, hanya wahyu Qur’an yang dapat menuntun umat manusia untuk menemukan jadidirinya dalam fitrah kemanusiaan manusia sebab definisi peradaban Islam sendiri adalah manifestasi wahyu.
“Hidayatullah harus tetap bergerak pada patronnya sendiri karena dengan itu kita dapat eksis diantara perdebatan banyak kelompok yang berseteru,” kata Abu menandaskan.
Fastabiqul Khairat dan Identitas Islam
Diskusi yang berlangsung dalam acara CMP pekanan ini begitu menarik. Peserta cukup antusias memberikan pendapat dan tanggapan.
Suyudi As’ad dari SMP Al Qalam Depok, misalnya, memberikan pencerahan bahwa jika Allah berkehendak maka manusia akan diciptakan sejenis dan semua mendapat petunjuk. Namun, nyatanya, kita diciptakan dalam perbedaan karena tugas manusia adalah senantiasa fastabihul khoirot.
Fastabiqul khairat itu, dicontohkan Suyudi, seperti gerakan Hidayatullah dalam membangun peradaban dengan cara mengembalikan konsep nubuwah, membangun kampus peradaban, dan membangun budaya berjamaah.
Menanggapi fenomena gagasan liberalisme Islam di kampus-kampus, Iwan Ruswanda, menilai hal itu memang tak bisa dipungkiri.
Pengajar Matematika di SMP Al Qalam Depok ini menilai masa mahasiswa adalah masa di mana usia pubertas pemikiran sedang centil-centilnya. Inilah perideo yang menurut Iwan di mana mahasiswa sangat rawan terjebak dalam merespon konsep konsep pemikiran liberal.
“Banyak orang sombong karena merasa ilmu filsafatnya telah tinggi tanpa sadar dari mana filsafat itu dipelajarinya. Maka kesadaran wahyu-lah yang dapat mengantarkan umat Islam mengcounter pemikiran liberal yang berkembang saat ini,” ujar Iwan, lulusan IAIN Bandung ini.
Senada dengan itu, Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Hidayatullah Depok Ustaz Lalu Mabrur, memandang wahyu Allah tidak semestinya menjadi diskursus yang selalu diperdebatan seperti yang rajin dilakukan banyak sarjana sesat dan orientalis Barat.
Dalam pada itu, menurut Lalu, pemikiran liberal adalah hasil berpikir bebas yang berasal dari barat karena tidak puas atas kebijakan gereja yang tidak kooperatif kala itu.
Sehingga, lanjut Lalu, tak mengherankan jika kemudian hari ini banyak dari kalangan generasi-generasi muda memilih pemikiran yang bebas yang terlepas dari landasan aqidah sebagai bentuk eksplorasi kemampuan diri mereka.
“Orang-orang yang mengemukakan pemikiran liberal hanyalah orang-orang sombong dan tidak memahami ilmu aqidah. Sebab pemikiran yang benar harus berada dalam bingkai menjaga agama, menjaga akal, mengendalikan nafsu, dan menjaga keluarga,” cetus Lalu Mabrul.
Perang Pemikiran dan FilsafatÂ
Musliadi Raja yang merupakan jebolan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sempat terhipnotis dengan pemikiran liberal, tak menampik adanya gejala kecentilan mahasiswa terhadap aliran pemikiran bebas nilai ini.
Namun, Musliadi menegaskan, orang yang memiliki akar aqidah yang kuat pasti bisa bertahan karena dengan itulah Allah akan mengangkat derajat orang-orang berilmu.
Musliadi menambahkan bahwa perlu ada semacam pisau analisa dalam memahami kehidupan manusia sekitar kita yang akan mengantarkan hidup menuju kemandirian umat bukan kesesatan berfikir dan dalam bertindak.
Secara lebih tegas mantan aktivis Forum Ciputat yang kerap mengkampanyekan liberalisme ini, mengatakan bahwa sebenarnya hari ini Barat yang berpaham liberal-sekuler sedang menggali kuburannya sendiri.
Sehingga menurut Musliadi tidak perlu terlalu sibuk menanggapi pemikiran liberal di negeri ini yang diantaranya dibawa oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) sebab funding mereka pun sudah keok.
“Yang penting saat ini adalah bagaimana kita terus berupaya merekonstruksi pola pikir generasi umat ini agar tercerahkan oleh cahaya wahyu,” tukasnya.
Sepenarian dengan itu, Sekjen Inisiaisi, Imam Nawawi, memandang bahwa sistem pendidikan nasional kita saat ini mulai dari tingkat dasar telah terjangkiti liberalisme yang menjurus pada perpaduan pola liberalisme sebagaimana dianut Barat yang kental nilai-nilai kekristenan dan Yahudismenya.
Padahal, menurut Imam, dalam perjalan sejarahnya sendiri Kristen dan Yahudi jelas tidak pernah akur karena Tuhan Kristen dibunuh kaum Yahudi, dan kitab-kitab Yahudi diacak-acak kaum Kristen.
“Itulah mengapa kemudian peradaban barat kerap diidentikkan sebagai peradaban ateistik karena berisi peradaban dua ideologi yang saling berlomba meninggalkan Tuhannya,” kata Imam.
Untuk itu, lanjut Imam, untuk mengetahui kekuatan antivirus seseorang terhadap pemikiran liberal maka dilihat saja sejauh mana interaksinya dengan Al-Qur’an. Al Qur’an sesungguhnya memiliki kandungan-kandungan yang penuh hikmah dan filosfis.
Pandangan Imam agak sedikit berbeda dengan pendapat penanggap sebelumnya yang cenderung menegasikan peran filsafat. Justru, menurut Imam Nawawi, pendidikan filsafat sangat penting sejak dini karena telah tercantum dalam Qur’an surah Al-Alaq.
“Fisafat ada dalam Al Qur’an, karena itu pendidikan filsafat sangat penting dikenalkan sejak dini,” kata Imam menandaskan.
Tandang ke Gelanggang
Sebagai closing statement dalam acara diskusi lepas Shubuh ini, pengurus PP Hidayatullah, Abdul Muhaimin, menegaskan bahwa tak bisa dinafikkan pemikiran liberal adalah sesuatu yang fundamental untuk diperhatikan saat ini.
“Kita harus mempelajari semua fase pemikiran. Kita pelajari pemikiran yang baik (wahyu) untuk bekal kita membangun peradaban mulia, sedangkan memperhatikan pemikiran yang buruk (liberal dan turunannya) agar kita tahu bagaimana kebathilan itu untuk menguatkan pertahanan diri dan umat,” katanya.
Memamg tak bisa dipungkiri, kata Muhaimin, Barat merusak peradaban umat manusia saat ini dengan merusak perekonomian melalui model, nilai, fashion dan olahraga.
Pun demikian penjajahan adab di bidang ekonomi, ekonomi syariah tak bisa dikatakan syariah karena masih dalam prinsipnya yang mengekang dan merusak aspek muamalah dalam Islam.
Abdul Muhaimin menuturkan, yang dibutuhkan umat hari ini adalah ulama yang benar-benar ulama. Menurutnya, ulama yang sesungguhnya adalah orang-orang yang siap gerak, berjihad terjun ke gelanggang dan tidak sekedar berceramah.
Logikanya, terang Muhaimin, ajaran Islam telah mendidik manusia dengan sholat untuk senantiasa bergerak, maka dari situlah termaktub substansi pesan kepada penganut Islam untuk selalu dinamis, selalu bergerak sesuai kaidah-kaidah dalam Islam. Karena sholat yang sempurna harus sesuai dengan rukun gerakannya
“Saat ini umat Islam sedang digeser untuk mencintai bola (olahraga) demi menjauhkan Qiyamul lail. Mindset umat Islam sudah dirusak dengan merubah pola pikir dasar generasinya,” pungkasnya.*/Ainuddin