Nyaris sepekan lamanya, saya bersama dua kepala departemen Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah melakukan silaturahmi daerah dengan dua agenda. Pertama, silaturahmi itu sendiri. Kedua, menghadiri helatan Musyawarah Wilayah Pemuda Hidayatullah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah Bagian Selatan, yang menetapkan Bang Fazwa Auliya sebagai nahkodanya.
Entah mengapa, tak begitu kusadari bahwa dalam momentum perjalanan itu umat ini akan masuk detik-detik pergantian tahun, dari 1441 H menuju 1442 H. Hijrah seperti kita ketahui adalah tonggak perubahan, starting point tegaknya peradaban Islam. Pada saat yang sama, hijrah juga kehidupan yang kaya akan energi besar yang mampu menjadi generator perubahan zaman.
Secara historis jamak dipahami hijrah dalam konteks sosial dipicu oleh kebencian dan kebiadaban kaum kafir Quraisy yang terus melancarkan siksaan dan intimidasi terhadap umat Islam. Dalam kata yang lain, hijrah adalah jalan penyelamatan jiwa dan raga umat Islam, lebih jauh juga mengarah pada kebebasan umat Islam untuk memanivestasikan nilai-nilai keyakinannya dalam segenap aspek kehidupan.
Jadi, secara gamblang dapat kita temukan hikmah besar bahwa hijrah dari Mekah ke Madinah adalah untuk menumbuhkan semangat juang dalam menghadapi tekanan kaum kafir yang membabi buta dan biadab.
Sisi lain, hijrah juga momentum pembuktian iman yang sesungguhnya, sebab tidak lama setelah hijrah, Nabi dan para sahabatnya harus berulang kali terjun ke medan perang.
Oleh karena itu, derajat tertinggi seorang hamba di hadapan Allah adalah yang beriman, yang berjihad dan berhijrah dan tidak sedikit pun memiliki celah keraguan baik di dalam pikiran, hati, maupun keyakinannya. Pantas jika kemudian hijrah bukan sekedar pengulangan kalender dan pergantian tahun, tetapi energi yang abadi, sepanjang nafas kehidupan umat Islam. Sebab setiap kali bertemu hijrah, 1 Muharram pada tiap tahunnya, seketika meomori, kesadaran, visi, dan tujuan hidup seakan segera berbenah, ditata ulang, dikokohkan dengan semangat hidup iman, jihad dan sabar.
Saat ini, energi ini sangat diperlukan, terutama oleh kaum muda yang berhimpun di dalam sebuah gerakan. Hal ini mudah dimengerti jika melihat dua aspek sekaligus. Aspek internal umat Islam masih dirundung inferiorisme.
Aspek eksternal, kekuatan global nampaknya kian mengarah pada dua kutub sekaligus, pro dan kontra terhadap nilai-nilai Islam, yang ditandai dengan gesekan panas antara dua negara besar saat ini, Amerika dan China, yang boleh jadi benar-benar demikian atau sebaliknya tak lebih dari sekedar peramai isu di media, sehingga banyak waktu dan umur umat manusia tersita untuk mengulasnya.
Dengan memperhatikan dua kondisi tersebut maka jelas, kaum muda Islam yang berhimpun dalam gerakan harus mendowload energi hijrah itu dalam dua hal sekaligus. Pertama mengarahkan mindset, perilaku, dan visi hidup seperti apa yang dicontohkan Nabi Muhammad ï·º bersama para sahabatnya, sehingga lahir dan terjaga optimisme, ketangguhan, serta watak kepeloporan dalam perjuangan.
Kedua, memandang beragam wacana dan isu global secara memadai, sehingga waktu, energi dan hidup kaum muda tidak terseret pada arus sampah informasi yang begitu berjibun di era digital ini. Kita tidak boleh hanyut oleh permainan media yang tidak substansial.
Kita justru harus melihat bagaimana Amerika memandang Islam dan sikapnya kini terhadap China. Sebaliknya, juga mesti memahami langkah-langkah China secara global dan strateginya dalam menghadapi umat Islam. Kesadaran akan dua hal itu akan mendorong energi dan waktu kita lebih berharga dalam upaya ikut serta memajukan umat dan mencerdaskan bangsa.
Jika tidak demikian, boleh jadi, apa yang kita ucapkan setiap tahun dengan selamat tahun baru Hijrah hakikatnya tidak ada energi, alias nol. Meminjam istilah dalam pemilu, tak ubahnya kotak kosong. Inilah tantangan kaum muda kekinian, mampukah menjadikan momentum hijrah sebagai energi atau itu hanya cukup menjadi tradisi dan basa-basi. Allahu a’lam.*