“BAGI orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis ‘kunci jawaban’, bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dan lain-lain semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya, bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.”
Demikian sebagian resume buku Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland berjudul “Why Asians Are Less Creative Than Westerners?” (mengapa orang-orang Asia kalah kreatif dibanding orang-orang Barat). Terbit tahun 2001 silam dan menjadi best-seller meskipun kontroversial.
Menurut Profesor Kwang, karena berbasis hafalan maka murid-murid di sekolah Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades but master of none” (tahu sedikit-sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apa pun).
Basis hafalan itu pula yang menjadikan para pelajar Asia bisa menjuarai berbagai Olimpiade Fisika dan Matematika, namun hampir tidak ada orang Asia yang meraih Nobel atau hadiah internasional lain yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Untuk itu, Profesor Kwang menyarankan agar sekolah-sekolah di Asia tidak menjejali murid-muridnya dengan hafalan, apalagi Matematika. Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya. Menurutnya, untuk apa diciptakan kalkulator jika jawaban dari operasi perkalian harus dihafalkan?
Gagasan Profesor Kwang ini, atau penulis dan pemikir lain yang sehaluan dengannya, sering dipopulerkan dalam berbagai pelatihan dan pertemuan pendidikan. Hafalan dikesankan sebagai sesuatu yang buruk, membunuh kreativitas, dan bertentangan dengan hakikat pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Jika ide ini diterapkan untuk mata pelajaran (mapel) sains dan sosial, tampaknya cukup relevan. Tetapi, lain jika diterapkan pada mapel-mapel keagamaan semisal Al-Qur’an, hadits, dan fiqh. Sayangnya, sebagian orang tidak berhati-hati dan mencoba mengaplikasikannya terhadap seluruh jenis ilmu atau mapel tanpa terkecuali.
Bila kita teliti seksama, hierarki keterampilan berpikir dalam khazanah Barat disebut Taksonomi Bloom yang dirumuskan oleh Benjamin Samuel Bloom (1933-1999) dan timnya pada 1956. Taksonomi tersebut kemudian direvisi oleh Lorin Anderson (mantan murid Bloom) dan tim pada 1990-an.
Dalam versi barunya, ranah kognitif memuat enam level berpikir yaitu Remembering (mengingat), Understanding (memahami), Applying (menerapkan), Analyzing (menganalisis), Evaluating (mengevaluasi), Creating (menciptakan). Para guru biasa menyebutnya dengan C1 sampai C6, yaitu Cognitive level 1 sampai 6.
Dalam khazanah Islam, ide serupa sebenarnya sudah sangat lama dikenalkan, jauh sebelum Bloom. Hampir satu milenium lalu Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) menyatakan:
“Ketahuilah bahwa semua yang telah kami sebutkan dalam pemaparan tentang akidah seyogyanya diberikan kepada anak-anak sejak awal masa pertumbuhannya, yakni agar mereka menghafalkannya secara sempurna. Kemudian, sedikit demi sedikit maknanya akan tersingkap saat mereka telah beranjak dewasa. Awal mulanya adalah: hafalan (al-hifzh), kemudian pemahaman (al-fahm), kemudian kepercayaan (al-i’tiqad), keyakinan (al-iiqan), dan pembenaran (at-tashdiq). Semua ini bisa terwujud pada anak-anak dengan tanpa memerlukan bukti argumen.” (Ihya ‘Ulumiddin, I/94).
Menurut beliau, menghafal adalah landasan ilmu dalam Islam. Hal ini sangat wajar mengingat ilmu-ilmu Islam berpijak kepada kaidah atau aksioma yang permanen dan tidak berubah sepanjang masa.
Menghafal informasi-informasi dasar menjadi sangat penting, karena seluruh bangunan ilmu dan amal akan ditegakkan di atasnya. Berbeda dengan ilmu-ilmu sekuler yang spekulatif dan relatif, di mana perkembangan penemuan manusia maupun dinamika zaman bisa membalikkannya hingga 180 derajat. Misalnya, dulu Galileo Galilei (1564-1642 M) pernah membalikkan teori Geosentris menjadi Heliosentris.
Di Indonesia sendiri, pada Era 80-an para siswa biasa diminta menghafal nama-nama menteri kabinet. Sekarang, semua itu sudah tidak ada relevansinya lagi. Tampaknya, karakteristik ilmu-ilmu sekuler yang berubah-ubah itu turut menyumbang anggapan bahwa hafalan tidak penting.
Namun, sebagai muslim, kita mendapati Al-Qur’an yang tidak pernah berubah dan hadits-hadits Nabi yang telah dibukukan dengan sangat teliti. Sekali kita menghafalnya ia tetap relevan di mana saja, kapan saja. Hukum-hukum pokok dalam Islam juga bersifat permanen, seperti haramnya perzinaan, khamer, homoseksual, dsb.
Sikap kita terhadap “metode belajar dengan menghafal” juga tercermin dalam istilah yang digunakan. Jika sebagian praktisi pendidikan sekuler menganggap hafalan sebagai level berpikir “paling rendah”, maka Al-Ghazali menunjukkan bahwa ia adalah level berpikir “paling dasar”. Istilah pertama bernada negatif, adapun yang kedua positif.
Istilah “paling dasar” berarti harus ada, tidak bisa dinafikan, seperti pondasi bagi rumah. Sedangkan istilah “paling rendah” mencirikan sindiran bernada mencemooh.
Namun, Al-Ghazali juga menunjukkan bahwa menghafal adalah permulaan. Murid harus dibimbing memasuki level berikutnya, yaitu pemahaman. Ironis jika ia menghafal Al-Qur’an 30 juz namun samasekali tidak mengerti maknanya. Ironis pula jika ia menghafal rumus-rumus Matematika namun tidak paham bagaimana menggunakannya.
Setelah tahap pemahaman, ia harus diantarkan kepada level selanjutnya yaitu percaya dan yakin. Pembuktian-pembuktian melalui praktek, pembiasaan, diskusi, pengujian, dan seterusnya akan membawanya untuk yakin dan percaya bahwa semua yang diketahuinya itu benar. Dan, pada klimaksnya ia akan mencapai level tashdiq atau pembenaran.
Tashdiq artinya seluruh dirinya sudah menjadi bukti kebenaran dari ilmunya baik dari segi pikiran, perasaan, perkataan, maupun perbuatan. Inilah level kognisi tertinggi dalam “Taksonomi Al-Ghazali”, di mana ia dimulai dari hafalan dan berpuncak pada terintegrasinya ilmu ke dalam totalitas perilaku pemiliknya. Wallahu a’lam.
*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Malang, Jawa Timur