AdvertisementAdvertisement

Hidayatullah “Kapal” Umat

Content Partner

SEBENTAR lagi Hidayatullah memasuki usia ke-50 tahun pada 1 Muharram 1443 nanti, sejak dirintis pada 1 Muharram 1393 Hijriyah atau tanggal 5 Februari 1973 di Balikpapan. Di usianya yang setengah abad ini, Hidayatullah harus tetap on the track dengan pembawaannya yang khas sebagai “kapal umat”.

Sebagai kapal umat, maka Hidayatullah memposisikan dirinya sebagai mediator dan pemersatu yang merangkul siapapun dari umat Islam dalam mengarungi bahtera Ilahi yang penuh kenikmatan, karena, memang, Islam adalah agama yang menawarkan kegembiraan yang luar biasa.

Hidayatullah harus jadi kapalnya umat yang besar kokoh dan kuat. Disamping ia juga menyadari bahwa dalam mengarungi bahtera perjuangan ini, tidak melulu angin sepoi nan sejuk yang datang menerpa, justru seringkali gelombang besar yang datang menggoyang.

Kapal memang perlu besar dan kokoh agar kuat menempuh perjalanan, apalagi menempuh masa yang panjang. Tapi, ingat, kita jangan disibukkan membikin kapal yang mewah. Jangan kita disibukkan membikin kapal yang bagus tapi kurang serius mencerahkan penumpang.

Jangan-jangan setelah kapal jadi dengan sempurna dengan segala kemewahannya, mereka tidak mau naik kapal yang kita bikin, karena mereka bisa membangun perahu sendiri, membikin sekoci sendiri dan merasa bisa menyelamat diri sendiri.

Kapal nabi Nuh dibangun di atas gunung atas perintah Allah. Untuk menyelamatkan manusia dari banjir super bandang yang akan terjadi. Kelak kemudian banjir itu benar benar menenggelamkan bumi dengan semua isinya. Hanya nabi Nuh dan makhluk yang ada dalam kapal yang selamat.

Nabi Nuh memang menghadapi ujian dakwah yang teramat berat, bahkan ia harus menghadapi langsung pembangkangan yang dilakukan anak dan istrinya dengan penuh kesabaran.

Nuh tidak menyerah tapi tenaganya sudah tak kuasa untuk bertahan. Dakwah Nabi Nuh pun sudah mentok, sudah tidak ada cara lagi untuk mengingatkan umat saat itu agar mau menyembah Allah.

Nabi Nuh dengan penuh kesabaran saban hari mengingatkan umatnya yang bandel itu agar tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka juga diingatkan agar tidak mencintai dunia melebihi cintanya pada akhirat.

Dan ternyata, hanya sedikit yang mengindahkan ajakan Nabi Nuh, itupun sebagian besar dari mereka adalah orang yang lemah, yang terpinggirkan yang tidak punya pengaruh di masyarakat.

Padahal, Nabi Nuh bedakwah selama hampir seribu tahun, siang dan malam, kepada semua orang, hampir tidak ada rumah yang tidak didatangi Nabi Nuh.

Hampir semua penduduk saat itu pernah ditemui Nabi Nuh untuk diseru ke jalan yang benar. Hasilnya; Nuh dikucilkan, seruannya dicibir, bahkan jiwa raganya diancam. Hingga akhirnya ketentuan Allah datang.

Ada yang bertamsil dengan berpendapat, bahwa Hidayatullah layaknya perahu Nabi Nuh yang bertujuan untuk menyelamatkan umat agar tidak tenggelam dalam kesesatan.

Dengan “kapal” yang memuat pengajaran dan pelita penerang, Hidayatullah ingin mengeluarkan umat dari himpitan persoalan-persoalan dunia dan akhirat. Hal ini adalah kewajiban jama’ai sekaligus infirodi. Ini tugas seorang khalifah, tugas para penerus Nabi Nuh sampai Nabi Muhammad SAW, hingga kita hari ini.

Hidayatullah punya kewajiban untuk menebar risalah Islam dari Allah SWT ini agar manusia bahagia hidupnya dan jauh dari kerisauan, kedengkian, dan tidak merana hatinya, karena, dengan Allah sudah cukup baginya.

Kita perlu meneladani usaha seperti yang dilakukan oleh Nabi Nuh yang membikin perahu dengan kerja keras siang malam selama hampir 1000 tahun demi menyelamatkan umat, lalu bagaimana dengan usaha kita? Apakah kita sudah melakukan kerja kerja itu? Kalau sudah, apakah kita sudah bersungguh-sungguh dalam melakukannya?

Jawabannya tentu bukan di dalam tulisan ini tetapi akan dibuktikan oleh perjalanan kita selanjunya pada tahun tahun mendatang. Selamat berjuang, selamat Milad Hidayatulllah yang ke 50 tahun.

A. Suyanto, santri Hidayatullah

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Pesona Dakwah di Manokwari Selatan dan Perjalanan Membangun Harapan

SETIAP kali melangkah di jalan setapak menuju pesantren yang kala itu hanya berupa hutan belantara, Ustadz Maghfuri selalu berhenti...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img