
DEPOK (Hidayatullah.or.id) — Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), manusia dihadapkan pada tantangan baru dalam menjaga eksistensi dan tujuan hidupnya.
Dalam Kajian Ramadhan 1446 di Masjid Ummul Quraa Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, Jawa Barat, bertajuk “Revolusi Spiritual di Era AI dan Peran Ramadhan dalam Memperkuat Emosional Spiritual,” Direktur Lembaga Studi Islam dan Peradaban (LSIP) Ust. Suharsono Darbi memberi perspektif baru tentang bagaimana umat Islam dapat menjawab tantangan ini dengan visi hidup yang kokoh.
Suharsono mengawali kajiannya dengan kisah fenomenal di akhir abad ke-20, yaitu pertandingan antara raja catur dunia Garry Kasparov dan komputer Deep Blue buatan IBM.
Awalnya, Kasparov berhasil mengalahkan Deep Blue, namun pada tahun 1997, setelah dimodifikasi, Deep Blue berhasil menumbangkan Kasparov.
“Ini menjadi bukti perkembangan artificial intelligence (AI) dalam kesinambungan hidup umat manusia,” kata Suharsono.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa AI hanya berperan sebagai alat bantu, bukan pengganti kemampuan berpikir manusia.
“Jangan sampai kita memiliki ketergantungan akut pada mesin AI sehingga membuat pola pikir manusia menjadi tumpul,” tegasnya dalam kajian yang digelar pada awal Ramadhan beberapa waktu lalu itu dan ditulis Selasa, 4 Ramadhan 1446 (4/3/2025).
Suharsono menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan mempertahankan kemampuan intelektual manusia.
Lebih lanjut, Suharsono menyoroti bahwa AI dapat menjadi jebakan jika manusia tidak memiliki visi hidup yang jelas. “AI hanyalah sarana bagi kita manusia tetapi itu bisa menjadi jebakan bagi kita jika tidak memiliki visi hidup,” katanya.
Ia mengajak untuk membangun visi hidup yang mumpuni, sebagaimana terkandung dalam kewajiban menjalankan ibadah puasa. Dalam kerangka ini, ia mengutip Surah Al-Baqarah ayat 183 yang memuat perintah bagi orang beriman untuk berpuasa agar menjadi pribadi yang bertakwa.
Menurutnya, puasa adalah perintah yang berkenaan dengan eksistensi diri manusia. Ia menjelaskan bahwa puasa berperan penting dalam mengendalikan pikiran agar tidak liar. “Jadi puasa itu untuk mengendalikan pikiran agar tidak liar,” tegasnya.
Dalam perspektifnya, kecerdasan intelektual dan emosional harus diimbangi dengan visi hidup yang kokoh. Suharsono menggunakan analogi kuda dan penunggangnya untuk menggambarkan hubungan ini.
Dia memaparkan, jika seekor kuda hidup tanpa ditunggangi maka ia akan berjalan tak kenal arah, seperti itulah kecerdasan jika tak diimbangi dengan visi hidup yang mumpuni maka ia akan berpikir tak tentu arah. Tanpa arah yang jelas, kecerdasan—baik intelektual maupun emosional—tidak akan membawa manfaat yang berarti.
Suharsono juga mengajak jamaah untuk merenungkan kembali dengan mendalam jatidiri Hidayatullah yang bercita-cita membangun peradaban Islam. Ia menekankan pentingnya implementasi nyata dari azam tersebut melalui kesadaran sistem, bukan sekadar wacana tertulis.
“Jika pelaksanaannya hanya berdasar tulisan maka tidak akan ada perkembangan yang berarti, karena itu para jama’ah dituntut mampu mengimplementasikan melalui kesadaran sistem,” ujarnya.

Membentuk Generasi Harapan
Lebih jauh Suharsono juga menyoroti peran tenaga pendidik dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga memahami tujuan hidupnya.
Kritik ini menunjukkan perlunya pendidikan yang holistik, yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif tetapi juga spiritual dan eksistensial.
“Banyak sekolah-sekolah di antara kita yang hanya mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa mengetahui tujuan hidup, menghafal banyak tetapi tidak mengetahui jati diri,” tambahnya.
Dalam konteks pengendalian emosi, Suharsono menghadirkan kisah ulama Islam ternama seperti Ibnu Sina (Bapak Kedokteran), Ibnu Khaldun (pendiri ilmu historiografi), dan Omar Mukhtar (simbol perlawanan terhadap imperialisme Eropa).
“Orang yang mampu mengendalikan emosional intelligence adalah orang yang memiliki derajat tinggi dalam spiritual intelligence,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa pengendalian emosi bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga hubungan sosial yang sehat.
“Pengendalian emosi tidak terbatas hanya pada aspek kecerdasan semata, namun dapat mencakup hubungan sosial antara sesama manusia agar manusia mampu menahan sifat oportunis dan tidak berpikir secara bias,” ungkapnya.
Menariknya, ia menyebutkan bahwa CEO Meta, Mark Zuckerberg, juga mengagumi karya Ibnu Khaldun, menunjukkan relevansi pemikiran ulama Islam bahkan di era modern.
Setelah pemaparan materi, sesi dilanjutkan dengan tanya jawab. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah mengenai hubungan antara kesadaran dan sistem dalam membangun peradaban. Suharsono menjawab bahwa kesadaran adalah hasil dari pengetahuan yang diiringi dengan penalaran (reasoning).
“Kesadaran adalah fungsi antara tahu dengan penalaran (reasoning). Kalau mengetahui tanpa bernalar maka itu belum bisa disebut kesadaran. Penalaran adalah pengetahuan yang melahirkan tindakan atau menimbulkan respon,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya analisis kritis. “Sesuatu haruslah dianalisa jangan hanya mengandalkan data,” pesannya.
Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah masa sulit selalu melahirkan orang-orang cemerlang dan bagaimana cara mencetak generasi unggul di era yang serba ada ini.
“Tidak selalu situasi sulit akan melahirkan generasi unggul,” jawabnya. “Situasi kompleks tergantung siapa yang mendefinisikan. Jangan hanya melihatnya secara subjektif.”
Ia juga mengkritik sikap oportunis generasi masa kini, seraya mengajak untuk melakukan perubahan menuju apa yang seharusnya.
Dia menyimpulkan, tantangan era AI bukan hanya sekadar bagaimana manusia beradaptasi dengan teknologi, tetapi bagaimana manusia tetap memegang kendali atas pemikiran dan visinya sendiri.[]
(Laporan naskah oleh Faisal Daariy dan foto oleh Mercyvano Ihsan, santri kelas IX peserta kelompok Program Lifeskill Jurnalistik Sekolah Integral Hidayatullah Depok)