SETIAP manusia yang hidup di dunia ini pasti menginginkan kehidupan yang bahagia. Dia akan berusaha sedaya upayanya untuk mencapai kebahagiaan itu.
Dalam usaha dan pencariannya untuk menuju kebahagiaan yang diimpikan itu, dia akan mengarunginya dengan mengejar berbagai kesenangan dan menghindari kecelakaan.
Ia mendapatkan kesenangan dengan bertambahnya kenikmatan hidup yang ia jalani. Kesenangan itu baik berupa materi fisik yang dapat terlihat secara kasat mata seperti kesehatan jasmani, simpanan uang, asset, keuntungan binis, dan sebagainya.
Juga berusaha mendulang kebahagiaan batin yang mampu membawa kesenangan hatinya seperti berekreasi bersama keluarga. Dan, yang lebih tinggi lagi, adalah rekreasi spiritual melalui rangkaian ibadah yang melahirkan ketenteraman yang mendalam dalam jiwanya, ala bidzikrillahi tathmainnul qulub.
Kemudian, agar kesenangan yang didapatkan bisa bertahan maka manusia secara naluriah juga akan berusaha maksimal untuk menghindari kecelakaan. Kecelakaan berasal dari akar kata “celaka” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai (selalu) mendapat kesulitan, kemalangan, kesusahan, dan sebagainya; malang; sial.
Kecelakaan dalam bentuk materi membuat manusia merasa akan terkurangi kesenangannya. Seperti contoh, jika ia mengalami kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, kebakaran rumah dan sebagainya, maka dia akan mendapatkan resiko luka, lumpuh bahkan kematian.
Kecelakaan yang dialaminya tersebut akan berpengaruh terhadap ketidakmampuan dirinya untuk merasakan kesenangan maksimal yang selama ini sudah dia rasakan.
Di samping itu, resiko kehilangan kesenangannya dari kecelakaan ini juga akan menghantuinya berupa kerusakan dan kehilangan harta yang sudah dikumpulkan dengan susah payah.
Terlihat sangat menyeramkan. Tetapi, ternyata masih ada kecelakaan di atas kecelakaan fisik yang sudah diuraikan di atas. Ia adalah kecelakaan batiniyah yang terkadang tidak dapat terlihat oleh mata.
Kecelakaan batin ini tidak terdengar oleh telinga, tidak terfikirkan oleh otak, tapi hanya akan disadari oleh mata hati yang jernih.
Kata “kecelakaan” di dalam Al Qur’an disebutkan dengan lafadz “وَيْلٌ” (wailun). kata wailun sendiri di dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 40 kali dengan berbagai macam bentuk turunan.
Di antaranya, terdapat beberapa golongan yang disebutkan orang-orang yang celaka seperti orang Yahudi (2:79), orang kafir (19:37), orang yang berhati keras (39:22), orang Musyrik (41:6-7), pembohong (45:7), pendusta agama (52:11), orang yang mendustai kebenaran (Al Mursalat-77:15, 19,24,28,34,37,40,45,47,49), orang yang mengurangi timbangan (Al Muthaffifin-83:1), pengumpat dan pencela (Al Humazah-104 : 1) yang kesemuanya berbicara tentang kecelakaan yang disebabkan oleh persoalan bersifat batiniyah.
Dan tentu, yang paling familiar adalah kata wailun yang berada di ayat keempat dalam surah Al Ma’un (107:4) :
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ
“Maka celakalah orang yang shalat”
Menarik dari ayat ini adalah, jika ayat-ayat sebelumnya kata wailun (celaka) selalu disandingkan dengan sifat, sikap dan perbuatan keburukan, maka pada ayat ini kata wailun disandingkan dengan satu perbuatan/ kegiatan yang sangat mulia yaitu orang-orang yang mengerjakan shalat.
Dalam memaknai ayat ini, tentu tidak bisa dikaji secara terpisah dan terlepas dari kelanjutan ayatnya yaitu ayat 5-7 maupun ayat-ayat sebelumnya (1-3).
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang munafik yang mengerjakan shalatnya terang-terangan, sedangkan dalam kesendiriannya mereka tidak shalat. Yaitu orang yang sudah berkewajiban mengerjakan shalat dan menetapinya, kemudian mereka melalaikannya.
Masih dalam Tafsir Ibnu Katsir, Ata Ibnu Dinar mengatakan bahwa adakalanya pula karena tidak menunaikannya di awal waktunya secara terus-menerus atau sebagian besar kebiasaannya. Dan adakalnya karena saat mengerjakannya tidak khusyuk dan tidak merenungkan maknanya.
Maka, pengertian ayat mencakup itu semua. Tetapi orang yang menyandang sesuatu dari sifat-sifat tersebut berarti mendapat bagian dari apa yang diancamkan oleh ayat ini. Dan, barangsiapa yang menyandang semua sifat tersebut, berarti telah sempurnalah baginya bagiannya dan jadilah dia seorang munafik dalam amal perbuatannya.
Di dalam Kitab Shahihain telah disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “itu adalah shalatnya orang munafik, itu adalah shalatnya orang munafik, itu adalah shalatnya orang munafik. Dia duduk menunggu matahari: dan manakala matahari telah berada di antara kedua tanduk setan, maka bangkitlah ia (untuk shalat) dan mematuk (shalat dengan cepat) sebanyak empat kali, tanpa menyebut Allah di dalamnya melainkan hanya sedikit.
Kondisi shalat yang seperti ini tidak lain dikarenakan adanya pergeseran orientasi (niat) dari yang mengerjakannya. Jika bagi orang yang beriman dengan tulus melaksanakan perintah ini karena patuh dan cintanya kepada Allah SWT, tetapi bagi mereka yang melalaikan shalat ini tidak lain karena riya’ semata (107:6).
Dalam ayat yang lain diterangkan bahwa “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, dan Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.
Sebagai mukmin sejati, maka kita berusaha dan berharap agar terhindar dari sifat-sifat tersebut yang membawa kita kepada kecelakaan yang hakiki, buruk akibatnya di akhirat bahkan di dunia juga.
Mereka yang shalat tapi melakukannya dalam keadaan lalali sebagaimana yang diuraikan sebelumnya tidak akan mendapatkan apa-apa karena pekerjaan itu hanya tampak pada fisiknya sedangkan makan shalat itu sendiri tidak mampu terinternalisasi dalam dirinya.
Tidak mampu membawa perubahan dalam dirinya apalagi harapan untuk membawa kebaikan kepada orang lain. Karena sesuangguhnya, orang yang benar shalatnya akan mengkristal nilai dan makna shalat dalam pesona kepribadiannya dan membawa kebaikan bagi alam sekitarnya.
“…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (Ketahuilah) mengingat Allah itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain)…”. (Al-Ankabut-29:45). Wallahu’alam
*)Mazlis B. Mustafa, penulis adalah Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah