TERIK Kota Makkah seperti biasa, panas membakar siang itu. Debu-debu kian beterbangan di padang sahara. Tampak sesosok Umayyah bin Khalaf tak bisa menahan murka.
Tokoh elit masyarakat kota Makkah itu belum habis pikir. Tidak disangka keanehan yang dikhawatirkan terjadi tepat di depan matanya. Bagaimana mungkin budak berbungkus kulit legam tiba-tiba menolak titahnya, selaku majikan.
Bilal bin Rabah, sang sahaya bahkan berani membangkang. Tak sedikitpun ada rasa khawatir atau rona cemas di wajahnya. Justru yang tampak ketenangan jiwa sekaligus ketegasan pendiriannya.
Omelan, ancaman, cambukan, hingga hukuman berat segera dijatuhkan oleh Umayyah. Namun Bilal tetap bergeming. Ibarat batu karang di lautan. Tidak peduli apa yang bertubi-tubi menggulungnya. Tak urus dengan ombak besar yang menghantamnya.
Badai sekalipun hanya bisa menerjang berulang-ulang. Dengan senyum menahan siksa, Bilal cuma mengulang-ulang kata “ahad”, sebagai respon imannya yang telah bekerja.
Hebatnya, Bilal ternyata tidak sendiri. Sahabat-sahabat Nabi Shallallahu alaih wasallam (Saw) yang kadung menerima wahyu juga demikian. Semuanya bereaksi. Layaknya tetumbuhan, asalnya iman-iman itu masih sebatas tunas atau kecambah yang baru saja muncul.
Wahyu baru saja turun sesaat yang lalu. Namun rupanya iman tersebut langsung memberi kontribusi. Seketika ada furqan (garis pemisah) yang tampak pada dirinya. Mengambil peran serta berdampak pada sekitarnya.
Apa yang dialami oleh Bilal dan orang-orang beriman lainnya, tentu bukanlah satu kebetulan begitu saja. Setidaknya ada sesuatu yang bekerja pada jiwa-jiwa mereka. Seketika terjadi perubahan begitu drastis, tapi bukan asal bombastis.
Pengaruhnya signifikan tapi sungguh tidak muncul secara instan. Ketahuilah, yang terjadi sesungguhnya adalah aksi dan reaksi yang saling berkolaborasi. Antara ilmu, iman, dan amal yang tengah bersinergi.
Bagi orang beriman ilmu atau wahyu al-Qur’an mesti bersifat dinamis. Didorong oleh iman, ilmu tersebut niscaya mendorong untuk semakin giat beramal sekaligus menjadi tameng yang melindungi pemiliknya dari serbuan syubhat dan syahwat di sekelilingnya.
Sejatinya, al-Qur’an bukanlah sekadar bacaan di momen perayaan hari besar Islam. Sebagaimana ilmu juga bukan pajangan di atas selembar kertas ijazah atau sertifikat yang dibanggakan begitu saja.
Ilmu yang bekerja berarti selaku motor penggerak yang siap memandu aktifitas kehidupan setiap Mukmin. The way of life, kata generasi zaman now menggambarkan interaksi manusia dengan al-Qur’an.
The walking Qur’an, kata sebagian lainnya. Yakni nilai-nilai al-Qur’an yang seantiasa sepadu sejalan dengan setiap pola pikir dan pola langkah orang tersebut. Apa saja yang dikerjakan tak lepas dari ilmu dan iman yang mendasarinya.
Selanjutnya, bagaimana cara agar ilmu itu bisa bekerja? Pertama tentu saja ialah rajin berinteraksi dengan al-Qur’an, sebagai sumber ilmu yang paling pokok.
Berawal dari membaca dengan bacaan yang benar (tahsin tilawah) dan menerjemahkannya kata per kata (lafziyah). Diyakini, bacaan al-Qur’an yang baik adalah bagian dari upaya meraup berkah yang sempurna dari mukjizat abadi tersebut.
Selanjutnya orang itu mesti mempelajari serta mentadabburi mutiara hikmah al-Qur’an. Sebagai panduan, al-Qur’an tentu wajib dipahami dengan benar. Baik pesan tekstual dan sejarah yang melatari turunnya (asbab nuzul) ataupun konteksnya yang berlaku secara umum.
Selain itu, Mukmin yang telah terbiasa berinteraksi dengan al-Qur’an dengan sendirinya akan timbul kecintaannya untuk menghafalkan sedikit demi sedikit pesan-pesan suci tersebut.
Inilah sejatinya yang patut dievaluasi sejak dini. Apalagi bagi yang mengaku sebagai penuntut ilmu atau pegiat dakwah. Adakah diri-diri mereka itu telah melazimkan dirinya untuk berasyik khusyuk dengan bacaan dan tadabbur al-Qur’an?
Ataukah, selama ini justru disibukkan dengan berbagai macam urusan dan tak punya waktu untuk membuka lembaran-lembaran al-Qur’an.
Sebab, al-Qur’an bukan saja ilmu pokok dan sumber utama yang melahirkan sekian banyak khazanah ilmu pengetahuan selama ini. Namun lebih dari itu, dengan wasilah al-Qur’an, akan terjalin hubungan mesra antara seorang hamba dengan Penciptanya.
Berbeda dengan kebanyakan yang menganut paham sekular, ilmu dalam Islam adalah bagian dari upaya menegakkan agama atau kalimat tauhid dalam kehidupan manusia. Bukan ilmu sekadar ilmu (not science for science). Namun ilmu adalah refleksi daripada iman yang produktif dan iman itu bernilai dengan karya nyata yang bermanfaat.
Tak heran, Nabi senantiasa memotivasi umatnya untuk tandang ke gelanggang, menyelesaikan hajat hidup manusia. Tidak boleh terpaku apalagi berpangku tangan dalam alam penyataan atau idealitas saja. Tapi nihil dan kehilangan taji di alam realitas.
MASYKUR SUYUTHI