AdvertisementAdvertisement

Memompa Kekuatan Spritual untuk Menyiapkan Alih Generasi

Content Partner

ALIH generasi dalam suatu organisasi bukan sekadar pergantian sosok secara fisik yang lebih muda, energik, dan cerdas. Lebih dari itu, alih generasi harus diawali dengan alih konsepsi.

Pewarisan konsepsi menjadi hal yang mendasar agar generasi penerus memiliki spiritualitas, moralitas, intelektualitas, dan mentalitas yang sesuai dengan jati diri organisasi.

Empat kekuatan tersebut di atas tidak hadir dengan sendirinya, melainkan melalui tempaan perkaderan, melewati berbagai tahapan (marhalah), dan penugasan yang sistematis.

Dalam gerakan Hidayatullah, kekuatan spiritual menjadi pondasi utama dalam mencetak kader. Nilai-nilai tauhid yang kokoh telah menjadi warisan yang diwariskan oleh pendiri organisasi ini. Pendiri Hidayatullah Ustadz Abdullah Said dan para senior secara konsisten menanamkan prinsip-prinsip ini dalam sistem tarbiyah mereka.

Ada beberapa aspek dalam proses tarbiyah spiritual yang diterapkan pada periode awal Hidayatullah yang dapat menjadi pelajaran penting dalam membangun generasi yang memiliki militansi dalam beribadah dan mengemban amanah dakwah.

Pertama, Injeksi Tarbiyah Ruhiyah

Salah satu metode utama dalam membangun spiritualitas kader adalah melalui injeksi tarbiyah ruhiyah. Ustadz Abdullah Said dan para senior tidak pernah lelah menekankan pentingnya ibadah, baik yang wajib maupun sunnah.

Pendidikan ibadah ini tidak hanya menitikberatkan pada aspek fiqhiyyah, tetapi juga menyoroti fadhilah dan manfaat yang diperoleh ketika ibadah dilakukan secara konsisten.

Penyampaian ini dilakukan secara berulang-ulang dengan berbagai pendekatan. Kadang dengan kisah inspiratif dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang saleh.

Kadang pula dengan menguatkan pengamalan surat Al-Muzammil, yang merupakan surat ketiga yang diturunkan kepada Rasulullah. Tadabbur terhadap surat ini memberikan pemahaman mendalam mengenai urgensi shalat lail sebagai sarana penguatan jiwa dan kedekatan kepada Allah.

Strategi ini berhasil menanamkan semangat ibadah dalam diri para santri tanpa merasa terbebani. Mereka menjalankannya dengan kesadaran penuh, karena telah menjadi bagian dari kebiasaan yang melekat.

Kedua, Keteladanan dalam Beribadah

Keteladanan menjadi metode yang sangat efektif dalam membentuk karakter kader. Ustadz Abdullah Said tidak sekadar menyampaikan teori, tetapi juga memberikan contoh langsung.

Dalam shalat lima waktu berjamaah, misalnya, beliau selalu menjadi yang pertama datang ke masjid, memastikan tidak ada santri yang terlambat, dan bahkan menegur mereka yang lalai.

Sikap ini juga terlihat dalam shalat lail (tahajjud). Ustadz Abdul Latif Usman menceritakan bahwa sebelum shalat lail, Ustadz Abdullah Said selalu mandi terlebih dahulu, memastikan kebersihan tubuh, serta mengenakan pakaian yang rapi. Ini menunjukkan betapa seriusnya beliau dalam menjalankan ibadah.

Keteladanan semacam ini memberikan dampak yang luar biasa. Santri tidak hanya mendapatkan teori tentang ibadah, tetapi juga melihat dan merasakan langsung bagaimana ibadah harus dijalankan dengan penuh kesungguhan.

Ketiga, Membangun Kultur dan Mindset Kehidupan Beribadah

Di lingkungan Hidayatullah, ibadah bukan sekadar rutinitas, tetapi menjadi bagian dari pola hidup. Shalat lima waktu menjadi barometer utama dalam menjalankan aktivitas harian. Bahkan, setiap kegiatan harus dihentikan 30 menit sebelum azan sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu ibadah.

Masjid Ar-Riyadh menjadi saksi bagaimana budaya ibadah ini terbangun. Hampir tidak ada waktu kosong di masjid, karena selalu ada santri yang shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, atau berdzikir.

Mindset tentang pentingnya ibadah juga ditanamkan dalam sistem pendidikan dan perkaderan. Bahkan, dalam penilaian akademik, aspek ibadah dijadikan tolok ukur keberhasilan. Seorang santri yang cerdas dan rajin dalam aktivitas sosial, tetapi lalai dalam ibadah, dapat tidak naik kelas atau gagal dalam tahap perkaderan.

Keempat, Fungsionalisasi Pemimpin dalam Ibadah

Di banyak tempat, ibadah sering dianggap sebagai urusan pribadi. Pemimpin jarang terlibat dalam mengawasi atau menegur anggotanya dalam urusan ibadah. Namun, di Hidayatullah, pemimpin memiliki tanggung jawab penuh dalam memastikan anggota menjalankan kewajiban ibadah.

Konsep ini didasarkan pada pemahaman bahwa tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, pemimpin tidak hanya mengawasi kinerja administratif, tetapi juga memastikan bahwa anggota memiliki kehidupan spiritual yang baik.

Di Hidayatullah, seorang pemimpin harus berani memberikan arahan, teguran, bahkan hukuman kepada anggota yang lalai dalam ibadah.

Jika ada anggota yang melewatkan shalat berjamaah, hal itu diibaratkan sebagai “membocori perahu.” Oleh karena itu, kontrol sosial terhadap ibadah menjadi bagian penting dalam struktur kepemimpinan.

Prinsip ini juga berlaku dalam rumah tangga. Seorang ayah atau suami bertanggung jawab dalam membina spiritualitas keluarganya. Sebagaimana disebutkan dalam surat At-Tahrim, tugas berat seorang pemimpin keluarga adalah menjaga keluarganya dari api neraka.

Kelima, Memberikan Tantangan Tugas yang Berat

Salah satu metode dalam membangun kekuatan spiritual santri adalah dengan memberikan tugas berat yang menantang. Penugasan ke daerah-daerah terpencil tanpa fasilitas yang memadai menjadi ajang ujian sejauh mana santri benar-benar bertauhid dan mengandalkan pertolongan Allah.

Dalam kondisi seperti ini, santri yang telah memiliki dasar spiritual yang kuat akan mampu bertahan dan menemukan pengalaman spiritual yang mendalam.

Sebaliknya, santri yang lemah secara spiritual akan mudah menyerah dan mencari jalan keluar dengan pulang kampung atau mencari alasan untuk mundur.

Metode ini membuktikan bahwa hanya mereka yang benar-benar memiliki hubungan kuat dengan Allah yang mampu bertahan dalam perjuangan dakwah. Tantangan yang dihadapi justru semakin memperkokoh keyakinan dan semangat ibadah mereka.

Tidak Bisa Instan

Menyiapkan generasi yang kuat secara spiritual tidak bisa dilakukan dengan instan. Diperlukan sistem tarbiyah yang intensif dan sistematis.

Hidayatullah telah menunjukkan bahwa dengan injeksi tarbiyah ruhiyah, keteladanan, pembentukan kultur ibadah, fungsionalisasi kepemimpinan dalam ibadah, dan pemberian tantangan berat, generasi yang militan dalam perjuangan Islam dapat terbentuk.

Kini, tantangan kita adalah bagaimana menerapkan metode ini dalam menyiapkan generasi mendatang agar tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tauhid dan memiliki militansi dalam mengemban amanah dakwah.

Lantas, bagaimana menyiapkan spritualitas generasi sekarang? Bersambung.

*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, M.Pd.I, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Ketika Pejabat Mengira Al-Qur’an Masih Bersambung

ADA yang menggelitik dari khutbah Jumat tadi. Sang khatib bercerita tentang pengalamannya saat diundang mengisi sebuah acara di salah...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img