AdvertisementAdvertisement

Memperhatikan Kembali Tema Pembicaraan Kita

Content Partner

APA YANG keluar dari mulut kita, secara alamiah dan sukarela, pada dasarnya adalah cerminan murni isi jiwa kita sendiri. Ia merefleksikan apa yang menjadi kecenderungan utama diri kita, baik dalam waktu sesaat maupun berkelanjutan. Ia bisa jadi menggambarkan segala rasa cinta maupun benci, memperlihatkan seluruh harapan maupun kecemasan, menyingkap sekian banyak rahasia dan misteri.

Oleh karenanya, Allah memberitahu kita, bahwa kemunafikan yang sebenarnya sangat tersembunyi di dasar hati itu pun dapat dilacak dari kata-kata dan tema pembicaraan seseorang.

Allah berfirman,

“Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan dapat mengenali mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka, dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.” (QS Muhammad: 29-30)

Seseorang yang dari jam ke jam terus menerus membicarakan uang dan pekerjaan, tidak akan bisa mungkir bahwa itulah pusat gravitasi kehidupannya.

Mereka yang dari lisannya senantiasa terdengar dengungan lagu-lagu cinta penyubur syahwat, mustahil mengelak bahwa memang disanalah jiwanya tertawan.

Siapapun yang tema percakapannya melulu hal-hal sepele dan tidak bermakna, tidak dapat menghindari tudingan bahwa itulah hakikat jatidirinya.

Bukankah kita hanya akan merasa nyaman dengan apa yang kita cintai dan sukai? Adakah kita betah berlama-lama memperbincangkan sepakbola atau koalisi antar partai politik, jika kita tidak menyukai keduanya? Sebaliknya, bukankah hanya butuh sedikit pancingan ringan saja untuk membuat kita tenggelam membahas sport dan politik jika jiwa kita sangat gandrung kepadanya?

Sungguh, jika kita menyukai Al-Qur’an, ia akan ringan tercetus di mulut, dan mungkin menjadi senandung kita di saat-saat senggang. Ada cukup banyak ayat dan surahnya yang kita hafalkan serta hayati, lalu kita renungkan bagian demi bagian untuk menjadi pedoman hidup.

Namun, bila di dada kita lebih banyak berisi lagu-lagu pemicu syahwat lawan jenis, syair-syair cengeng tanpa makna, maka kesanalah jiwa kita akan terbimbing. Al-Qur’an kemungkinan besar akan terdepak keluar dari hati dan tidak enak untuk dilafalkan, sebab ada saingan lain yang dominan disana.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah ada seorang sahabat yang ditunjuk kaumnya untuk menjadi imam di Masjid Quba’. Setiap kali memimpin shalat, setelah membaca Al-Fatihah, dia selalu membaca surah Al-Ikhlas sampai selesai, baru dilanjutkan dengan satu surah lainnya.

Ia melakukan yang demikian itu di setiap rakaat. Sebagian teman-temannya pun protes dan menegurnya, “Engkau selalu memulai dengan membaca surah ini, dan engkau tidak merasa cukup dengannya sehingga masih membaca surah lainnya. Mengapa engkau tidak membaca surah ini saja, atau engkau tinggalkan surah ini dan kaubaca surah lainnya?”

Ia menjawab, “Aku tidak mau meninggalkannya. Jika kalian mau, aku akan tetap mengimami kalian dengan surah itu, jika tidak maka aku berhenti saja.” Akan tetapi kaumnya menilai orang itu sebagai figur terbaik yang mereka miliki dan mereka tidak mau diimami oleh orang selainnya.

Maka, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang berkunjung, mereka pun mengadukan permasalahan itu kepada beliau. Beliau bertanya kepada orang tadi, “Hai fulan, mengapa engkau enggan menerima usulan teman-temanmu, dan apa yang menyebabkanmu selalu membaca surah itu di setiap rakaat?” Orang itu menjawab, “Saya mencintainya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Cintamu kepadanya akan membawamu masuk surga!” (Hadits riwayat Bukhari)

Mudah dimengerti dari hadits ini, bahwa kecintaan sahabat itu kepada surah Al-Ikhlas, yang mendorongnya untuk mengulang-ulang bacaannya, pada akhirnya akan membentuk karakternya juga. Lalu, karakter itulah yang akan mengantarkan kakinya melangkah menyusuri tapak demi tapak kehidupan.

Tentu saja kita tidak akan merasa asing dengan kesimpulan akhirnya yang berbuah surga, sebab sudah sangat masyhur jika isi kandungan surah Al-Ikhlas adalah mentauhidkan Allah ta’ala. Tauhid itulah yang mengantarnya ke jalan surga.

Kalau begitu, kemana jalan anak-anak kita akan menuju, jika kelas 1 SD pun lebih banyak menghafal syair-syair pengobar syahwat atau lirik tanpa makna? Tidakkah kita merasakan betapa sukarnya menanamkan akhlaq mulia dan kepatuhan kepada Allah dewasa ini?

Lalu, tidakkah kita menyadari bahwa ternyata setiap saat justru lebih banyak “juru dakwah” gadungan yang menanamkan pesan pesannya ke dalam jiwa mereka, juga jiwa kita sendiri?

Apa sebenarnya yang ditanamkan oleh lagu-lagu itu ke dalam jiwa kita? Jelas, syair-syair itulah yang akan mewarnai pikiran kita, membentuk cara kita berpikir dan menilai persoalan, dan akhirnya membimbing kita tentang bagaimana caranya menjalani kehidupan.

Maka, berhatilah-hatilah dengan tema-tema pembicaraan kita. Dan, sebelum itu, kita tampaknya harus berhati-hati sekali terhadap apa yang masuk ke dalam diri kita. Sebab, apa yang masuk, itu jugalah yang nantinya akan keluar. Wallahu a’lam.

Ust. M. Alimin Mukhtar

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Inisiatif Strategis Perkuat Akidah dan Pendidikan dalam Keberagaman di Tobelo

MALUT (Hidayatullah.or.id) -- Pondok Pesantren Ragaiyah Hidayatullah Tobelo Barat, Maluku Utara, terus menguatkan posisinya sebagai pusat pembelajaran Islam di...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img