
Pandemi Covid-19 telah menjadikan dunia benar-benar bertekuk lutut, tidak saja dari sisi kesehatan, tetapi juga ekonomi bahkan meruntuhkan identitas sebuah negara.
Sekitar 30,3 juta orang kini telah mengajukan bantuan pengangguran dalam enam minggu sejak wabah Covid-19 mulai mewabah di Amerika.
Sementara itu, Inggris, sebagai negara terhebat dalam sejarah imperialisme kini mesti menanggung beban pengangguran sebesar 1,36 juta orang.
Artinya kapitalisme sebagai simbol peradaban modern telah takluk oleh wabah ini. Bahkan, prediksi ekonom, seperti ADB Vice President for Southeast Asia, East Asia, and the Pacific Ahmed M. Saeed, mengatakan bahwa semua itu adalah tahap awal dari krisis. Ia menambahkan bahwa kemungkinan ekonomi kembali normal paling cepat pada 2022, utamanya di bidang pariwisata, sebagaimana disampaikan saat konferensi pers virtual pada 23 April 2020.
Pada saat bersamaan, Cina sebagai simbol komunisme yang tersisa di dunia ini harus menghadapi gugatan setidaknya lima gugatan yang menuding Xi-Jinping telah lalai dan menjadi sebab pandemi global Covid-19. Sementara secara ekonomi, negeri tirai bambu itu harus mengalami kontraksi hingga 6,8%. Dalam kata yang lain, baik kapitalisme maupun komunisme, bisa dikatakan babak belur oleh Covid-19 ini.
Lantas bagaimana dengan sikap umat Islam?
Berdasarkan fakta tersebut, maka sejatinya dunia berada dalam “kekosongan” warna peradaban. Jika tidak segera ada pihak yang tampil memberikan tawaran progresif, maka dunia akan terus berada dalam ketidakpastian, setidak-tidaknya, selama dua tahun ke depan.
Umat Islam di dunia ini bisa diibaratkan berperan sebagai rakyat dalam sebuah negara, jumlahnya banyak, potensinya besar, namun masih sangat cair untuk bisa dihimpun dan tampil sebagai sebuah kekuatan yang dapat menjawab krisis global ini.
Namun demikian, sejatinya hal ini hanya membutuhkan sebuah pemantik yang kuat di sejumlah negara dimana umat Islam eksis, maka dengan sendirinya, seperti dikatakan oleh Nabi Muhammad ﷺ umat Islam satu sama lain saling menguatkan, sehingga langsung maupun tidak akan hadir gelombang baru yang membangkitkan optimisme dan Islam kembali hadir dan menghidupkan dunia dengan ekonomi syariah.
Jika harus mulai dari Indonesia, maka menarik apa yang ditulis oleh Hendri Tanjung perihal simulasi dalam Majalah Peluang Edisi Mei 2020 bahwa umat Islam sangat mungkin survive dalam situasi buruk ini dengan melakukan Gasebu (Gerakan Menghemat Sepulunh Ribu).
Artinya adalah walau krisis ini mau tidak mau memukul sebagian saudara kita jatuh secara ekonomi, dengan gerakan infak, sedekah, dan zakat, yang kemudian ditambah dengan Gasebu itu, maka sejumlah 3 juta KK akan tertolong. Itu jika orang Islam yang tidak miskin mau menghemat Rp. 10 ribu untuk disedekahkan selama Ramadhan ini.
Kalau melihat sejarah, sejatinya Islam adalah agama sekaligus peradaban yang secara langsung memberikan referensi bagaimana survive dan bertahan dalam situasi sulit. Soal lockdown misalnya, itu hadir pertamakali dalam sejarah peradaban Islam. Lantas mengapa sekarang umat Islam seperti kehilangan kepercayaan diri?
Masalah yang kemudian muncul adalah apakah sudah ada perasaan sehati, atau dalam bahasa generasi 45 telah hadirkah perasaan senasib, seperjuangan, yang dalam bahasa Pimpinan Umum Hidayatullah disebut dengan istilah Walijah di antara umat Islam?
Inilah satu-satunya pertanyaan yang sudah barang tentu tidak bisa dijawab sekarang. Tetapi, jika umat Islam melangkah, memulai, dan superior di dalam menghadapi krisis ini dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, peluang Indonesia menjadi negara yang sukses, menang, menghadapi pandemi ini sangat kuat.
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengutip ungkapan Hasan Al-Bashri, “Demi Allah tidak ada kekayaan yang lebih berharga daripada Alquran, dan tidak ada kebutuhan batin yang lain bagi manusia setelah Alquran.”
Artinya, mengapa umat Islam tidak segera mengkaji, menggali, dan segera mengimplementasikan nilai-nilai Islam ini dalam dimensi dan persepktif peradaban? Padahal, begitu dimulai dan dilakukan, dunia akan tercengang, bahkan sangat mungkin memandang rasional dan benar-benar dibutuhkan. Inilah yang sekarang harus segera disadari dan dikerjakan.
Jika Allah berkehendak dan gagasan ini bergulir, maka dunia akan memasuki Era Baru Peradaban Mulia, sebuah era dimana kesejahteraan tidak sekedar milik negara maju, tapi seluruh umat manusia, insya Allah. Allahu a’lam.*
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah