SUDAH sebulan kurang sehari kita berpisah dengan bulan agung Ramadhan. Pasca Ramadhan seolah-olah kita menemukan oase/telaga jernih di sela-sela perjalanan spiritual yang kita harapkan dapat membasahi kerongkongan ruhani kita yang kering. Sehingga lahirlah spirit dan komitmen yang terbarukan sebagai bekal untuk meneruskan perjalanan 11 bulan yang akan datang.
Betapa dahsyat efek ketaatan beribadah. Sebanyak apapun uang yang dimiliki tidak bisa membeli kebahagiaan yang dirasakan orang yang taat beribadah.
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٞ مَّآ أُخۡفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعۡيُنٍ جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.”. (QS. As-Sajdah 32: Ayat 17)..
Ahli hikmah berkata :
ليس العِيد مَن يلبس الجَديد انّما العِيد اذا كانت طاعتُه تزيد وعَن المعْصية بعيد
Bukanlah orang yang berlebaran itu yang memakai pakaian baru, hanyalah orang yang memaknai lebaran itu apabila ketaatannya bertambah dan dari perbuatan maksiat semakin menjauh.
Putra mahkota yang meninggalkan istana dan memilih hidup sederhana, Ibrahim Al Adzam berkata dalam sujud panjangnya :
نحن في لذة لو عرفها الملوك لجادلونا حقدا
Sesungguhnya kami dalam kelezatan ruhani yang membahagiakan, seandainya para raja di istana itu mengetahuinya mereka akan menguliti tubuh kami karena iri
Setelah itu kita merayakan kemenangan dalam menghadapi dominasi hawa nafsu. Dengan mengumandangkan tasbih, tahmid, tahlil, takbir. Dengan tasbih kita disadarkan alangkah beratnya untuk mensucikan anggota tubuh dan hati kita dari dosa.
Dengan tahmid kita menyadari betapa sering kita tidak mensyukuri karunia Allah yang tidak terhitung banyaknya. Dengan banyak mengucapkan kalimat tahlil, iman merasuk didalam diri kita dan menggerakkannya untuk memperbanyak amal shalih. Dengan takbir kita menyadari alangkah agungnya Allah dan betapa kecil diri, pengaruh, dan kekuasaan kita.
Dengan hari raya kita mengumumkan bahwa kita berkomitmen baru untuk menjaga kesinambungan amal (istimrariyyatul amal).
Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Rajab Al-Hanbali :
أن معاودة الصيام بعد صيام رمضان علامة على قبول صوم رمضان فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفقه لعمل صالح بعده
“Membiasakan puasa setelah puasa Ramadan merupakan tanda diterimanya amal puasa di bulan Ramadan. Sesungguhnya Allah jika menerima suatu amal dari seorang hamba, maka Allah memberinya taufik untuk melakukan amal soleh setelahnya.”
Syekh Ibnu Athaillah RA menyebut tanda-tanda penerimaan Allah SWT dalam hikmah berikut ini.
من وجد ثمرة عمله عاجلاً فهو دليل على وجود القبول
Siapa yang memetik buah dari amalnya seketika di dunia, maka itu menunjukkan Allah menerima amalnya.”
قلت ثمرة العمل ما ينشأ عنه من الفوائد الدينية والدنياوية. وذلك يدور على ثلاثة: حصول البشارة بزوال الخوف والحزن
“Menurut saya, buah amal itu adalah faidah keagamaan dan keduniaan apapun yang muncul dari amal tersebut. Buah dari amal itu hanya terdiri atas tiga bentuk: pertama, munculnya kebahagiaan karena sirnanya kekhawatiran dan kesedihan,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam)
Yang perlu diberi titik tekan pada penghujung bulan Syawal adalah mengapa Allah menurunkan Ramadhan dengan beragam fasilitasnya yang menggiurkan kepada kita ?. Pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, syetan dibelenggu, Allah menurunkan lailatul qadar, Allah menyandarkan diri-Nya kepada ibadah puasa, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dari minyak misik, orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, memperoleh pintu khusus di surga, Ar Rayyan, Malaikat bershalawat kepada orang yang berpuasa ketika berbuka.
Allah menjawab tujuan menurunkan syariat, pada surat an-Nisa.
يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمۡ وَيَهۡدِيَكُمۡ سُنَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ وَيَتُوبَ عَلَيۡكُمۡ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ
“Allah hendak menerangkan (syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukkan jalan-jalan (kehidupan) orang yang sebelum kamu (para nabi dan orang-orang saleh) dan Dia menerima tobatmu. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 26).
وَٱللَّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيۡكُمۡ وَيُرِيدُ ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلشَّهَوَٰتِ أَن تَمِيلُواْ مَيۡلًا عَظِيمًا
“Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti keinginannya menghendaki agar kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).”(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 27)..
Alquran menegaskan bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan laut terjadi akibat manusia menuhankan hawa nafsu. Dengan mengikuti dan mematuhi hawa nafsunya, manusia melakukan Al-Fasad atau perusakan di bumi. Hal ini dijelaskan dalam tafsir Surah Ar-Rum Ayat 41.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS Rum: 41)..
Menurut Tafsir Kementerian Agama, dalam ayat ini diterangkan bahwa telah terjadi al-fasad di daratan dan lautan. Al-Fasad adalah segala bentuk pelanggaran atas sistem atau hukum yang dibuat Allah, yang diterjemahkan dengan “perusakan.” Perusakan itu bisa berupa pencemaran alam sehingga tidak layak lagi didiami, atau bahkan penghancuran alam sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan.
Di daratan, misalnya, hancurnya flora dan fauna, dan di laut seperti rusaknya biota laut. Juga termasuk al-fasad adalah perampokan, perompakan, pembunuhan, pemberontakan, dan sebagainya. Perusakan itu terjadi akibat perilaku manusia, misalnya eksploitasi alam yang berlebihan, peperangan, percobaan senjata, dan sebagainya.
Perilaku semacam itu tidak mungkin dilakukan orang yang beriman dengan keimanan yang sesungguhnya karena ia tahu bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan nanti di depan Allah. Menuruti hawa nafsu hanya diikuti oleh anjing (QS. Al-Araf (7) : 176).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ ۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَث ۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِئَايَٰتِنَا ۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”. (QS. Al-A’raf 7: Ayat 176).
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa tidak seluruh akibat buruk perusakan alam itu dirasakan oleh manusia, tetapi sebagiannya saja. Sebagian akibat buruk lainnya telah diatasi Allah, di antaranya dengan menyediakan sistem dalam alam yang dapat menetralisir atau memulihkan kerusakan alam.
Hal ini berarti bahwa Allah sayang kepada manusia. Seandainya Allah tidak sayang kepada manusia, dan tidak menyediakan sistem alam untuk memulihkan kerusakannya, maka pastilah manusia akan merasakan seluruh akibat perbuatan jahatnya. Seluruh alam ini akan rusak dan manusia tidak akan bisa lagi menghuni dan memanfaatkannya, sehingga mereka pun akan hancur.
وَلَوۡ يُؤَاخِذُ ٱللَّهُ ٱلنَّاسَ بِمَا كَسَبُواْ مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهۡرِهَا مِن دَآبَّةٍ وَلَٰكِن يُؤَخِّرُهُمۡ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِۦ بَصِيرَۢا
“Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS. Fatir (35) : 45).
Dengan menimpakan kepada mereka sebagian akibat perusakan alam yang mereka lakukan, Allah berharap manusia akan sadar. Mereka tidak lagi merusak alam, tetapi memeliharanya. Mereka tidak lagi melanggar ekosistem yang dibuat Allah, tetapi mematuhinya. Mereka juga tidak lagi mengingkari dan menyekutukan Allah, tetapi mengimani-Nya.
Memang kemusyrikan itu suatu perbuatan dosa yang luar biasa besarnya dan hebat dampaknya sehingga sulit sekali dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. Bahkan sulit dipanggul oleh alam, sebagaimana dinyatakan firman-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
تَكَادُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ يَتَفَطَّرۡنَ مِنۡهُ وَتَنشَقُّ ٱلۡأَرۡضُ وَتَخِرُّ ٱلۡجِبَالُ هَدًّا
“hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu),” (QS. Maryam 19: Ayat 90)..
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَلَا يَصُدَّنَّكَ عَنۡهَا مَن لَّا يُؤۡمِنُ بِهَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ فَتَرۡدَىٰ
“Maka janganlah engkau dipalingkan dari (Kiamat itu) oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti keinginannya, yang menyebabkan engkau binasa.””. (QS. Ta-Ha 20: Ayat 16)
Seluruh langit dan bumi adalah satu sistem yang bersatu di bawah perintah Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran bahwa semua yang ada dalam sistem ini diberikan untuk kepentingan hidup manusia, yang dilanjutkan dengan suatu peringatan spiritual untuk tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Sebagai khalifah, manusia harus mengikuti dan mematuhi semua hukum Allah, termasuk tidak melakukan kerusakan terhadap sumber daya alam yang ada. Mereka juga harus bertanggung jawab terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi ini. Bumi ditundukkan Allah untuk menjadi tempat kediaman manusia. Akan tetapi, alih-alih bersyukur, manusia malah menjadi makhluk yang paling banyak merusak keseimbangan alam.
Contoh yang merupakan peristiwa-peristiwa alam yang terjadi di Tanah Air karena ulah manusia adalah kebakaran hutan dan banjir. Dengan ditunjuknya manusia sebagai khalifah, di samping memperoleh hak untuk menggunakan apa yang ada di bumi, mereka juga memikul tanggung jawab yang berat dalam mengelolanya.
Dari sini terlihat pandangan Islam bahwa bumi memang diperuntukkan bagi manusia. Namun demikian, manusia tidak boleh memperlakukan bumi semaunya sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh kata-kata bumi (453 kali) yang lebih banyak disebutkan dalam Alquran daripada langit atau surga (320 kali). Hal ini memberi kesan kuat tentang kebaikan dan kesucian bumi. Debu dapat menggantikan air dalam bersuci.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah SAW bersabda,
وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ
“Seluruh bumi dijadikan untukku sebagai tempat salat dan untuk bersuci. Siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka shalatlah di tempat tersebut” (HR. Bukhari no. 438 dan Muslim no. 521).
Al-Hallaj dalam sebuah sajaknya pernah menggubah hadist Nabi tersebut melalui keindahan kata-katanya:
الأرض مسجد، فعل الخير فيها صلاة، المسح على رأس اليتيم صلاة، رفع الظلم عند المظلوم صلاة
Bumi ini sejatinya masjid
Berlaku kebaikan merupakan shalat
Mengusap-usap kepala anak yatim merupakan shalat
Memerangi kezaliman yang dilakukan orang-orang zalim juga merupakan shalat
Ada semacam kesakralan dan kesucian dari bumi. Sehingga bumi merupakan tempat yang baik untuk memuja Tuhan, baik dalam upacara formal maupun dalam perikehidupan sehari-hari.
Dengan mengendalikan hawa nafsu, media untuk menetralisir bumi kepada kesuciannya agar menjadi pemukiman yang nyaman bagi penghuninya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا مَن طَغَىٰ . وَءَاثَرَ ٱلۡحَيَٰوةَ ٱلدُّنۡيَا. فَإِنَّ ٱلۡجَحِيمَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ . وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ. فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ .
“Maka adapun orang yang melampaui batas,”
“dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,”
“maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya.”
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya. “maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya).”
(QS. An-Nazi’at (79) : 37-41).
Dan firman-Nya pula :
وَجَزَيهُم بِمَا صَبَرُواْ جَنَّةً وَحَرِيرًا
“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera,”. (QS. Al-Insan 76: Ayat 12)
*). Ust. H. Sholih Hasyim, penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Hidayatullah Kudus