JIKA KITA memotret ulang perjalanan kita di lembaga ini, sesungguhnya kita telah memulainya dengan cara yang benar. Kita hadir di sini bukan untuk memenuhi ambisi orang kaya, pejabat, pemangku kepentingan asing dan domestik, dan mengikuti selera konsumen.
Kita hadir disini untuk berhijrah menuju Allah Subhanahu Wata’ala (SWT), baik secara makani (territorial) dan ma’nawi (moral). Inni muhajirun ila Rabbi. Kita berlari menuju Allah SWT. Fafirru ilallah.
Sungguh, kita telah melakukan pengorbanan yang terbaik, yaitu memboyong keluarga untuk berhijrah pada usia relatif muda. Meninggalkan kampung halaman yang kita cintai. Berhijrah identik dengan “membunuh” diri sendiri.
Sekiranya Kami perintahkan kepada Bani Israil: Bunuhlah diri kalian atau tinggalkan kampung kalian. Pasti hanya sedikit sekali yang mau melakukannya. Sekiranya Bani Israil mau melakukan apa yang Allah perintahkan kepada mereka, maka hal itu lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan iman mereka (QS. An Nisa (4) : 66).
Perjuangan berikutnya yang terasa berat adalah memelihara motivasi perjuangan kita dari hal-hal yang membatalkannya (muhbithul ‘amal). Dalam Islam, keikhlasan dan kesabaran selalu diberi titik tekan pada awal, tengah, dan akhir perjuangan. Memang berat mewujudkan amal, dan yang paling berat lagi adalah memelihara kualitas amal.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian sia-siakan derma kalian dengan cara mengungkit-ngungkit dan berkata-kata yang menyakitkan hati (QS. Al Baqorah (2) : 264).
Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan jangnlah kalian menjadikan hasil usaha kalian sia-sia di akhirat kelak (QS. Muhammad (47) : 33).
Apakah orang-orang munafik itu mengira bahwa Allah tidak menampakkan kepada orang-orang mukmin kedengkian yang mereka rahasiakan dalam hati mereka (QS. Muhammad (47) : 29).
Jangan sampai terjadi pengabdian, perjuangan kita selama ini berakhir dengan sia-sia. Tidak berbekas. Sebagaimana pengalaman Umar bin Khathab ketika membuka pintu gerbang Baitul Maqdis pasca pembebasannya oleh mujahid yang dipimpin Amru bin ‘Ash. Sebelum gembok dibuka dari tangan pendeta, khalifah II ini menatap dengan tajam pemimpin Nasrani tersebut.
Dalam batin Umar, pendeta ini telah menghabiskan umurnya hingga beruban untuk mengabdi, tapi sayang perjuangannya hanya membuat lubang kehancurannya sendiri, karena tidak didasari oleh iman. Umar membaca firman Allah SWT surat Al Ghosyiyah (88) : 3-7).
Bekerja keras lagi kepayahan. Memasuki api yang sangat panas (neraka). Diberi minum (dengan air) dari mata air yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri. Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.
Pada 15 abad yang silam, Rasulullah SAW mengingatkan kita agar kita tidak tertipu oleh kehidupan dunia ini.
Rasulullah SAW bersabda: Telah mendatangi malaikat Jibril (imamul malaikat), ia berkata: Wahai Muhammad, hiduplah sesuka hatimu karena sesungguhnya engkau akan menjadi mayit, cintailah kepada siapa saja yang engkau inginkan, sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya, bekerjalah sesuka hatimu, sesungguhnya engkau akan dibalas, ketahuilah sesungguhnya kemuliaan seorang mukmin adalah kesungguhannya dalam menjalan shalat lail, dan kemuliaannya adalah ketika ia tidak membutuhkan (menggantunkannya) kepada manusia (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dan dishahihkannya oleh Al Mundziri).
Komitmen Ber-Manhaj
Yang perlu digarisbawahi disini bahwa interaksi awal kita dengan Hidayatullah adalah transaksi yang bersifat manhaji. Bukan interaksi yang bersifat pragmatis dan transaksional.
Manhaj secara lughowi adalah ath Thoriqul wadhih (jalan yang terang). Al Haqiqatul Muthlaqah (kebenaran yang bersifat mutlak). Kita terpanggil di sini untuk mempertahankan keshalihan kita, menyelamatkan umat (inqodziyah), memberikan pelayanan yang terbaik (khidmah), menggulirkan perbaikan di segala bidang (ishlah), dan berjamaah untuk melipatgandakan amal kita sendiri.
Tanpa jamaah, kita bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Bata itu baru bisa bermanfaat setelah digabung dengan bata lain dalam sebuah bangunan.
Demikian banyak persoalan yang menghimpit umat ini. Keterbelakangan, kebodohan, ketimpangan sosial, kemiskinan, termarjinalkan, tak kunjung lepas. Dan, fenomena tersebut efek dari jauhnya dari spirit wahyu. Sebuah gejala kehidupan yang sempit dari sisi ruhani, kemudian melahirkan kesempitan dalam kehidupan sosial.
Spirit manhaj adalah inti atau nyawa kekuatan Hidayatullah. Sejauh mana daya serap, daya tangkap, pemahaman, tentang konsep perjuangan dan kearifan aplikasinya di lapangan. Jika menyimpang dalam tashawwur (memandang manhaj), ada unsur subyektifitas, akan menyimpang pula dalam ranah aplikasi. Semua kebenaran selalu didekati dengan sikap ilmiah, obyektif, dan terbuka.
Pada wahyu pertama secara formal Nabi diangkat sebagai duta-Nya. Di dalamnya diawali dengan transformasi syahadat Tauhid, tauhidul ghoyah (kesatuan tujuan puncak). Dan, strategi untuk mencapai tujuan (thariqah) adalah syahadat rasul (tauhidur risalah wal imamah). Kesatuan kepemimpinan dan komando.
Jadi, tauhidul ghoyah dan tauhidur risalah adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan. Jika diceraikan, tanpa terasa amal kita menjadi batal (QS. Al Hujurat : 1).
Prinsip inilah yang menjadi landasan berpikir dan bergerak kita. Kita memiliki tujuan dan gerbong yang sama. Mustahil, kita ke Surabaya, salah satu anggota tubuh kita naik kereta yang berbeda.
Bisa saja Hidayatullah hanyalah alat perjuangan. Tetapi, seringkali terjadi media itu dihukumi dengan ghoyah (al wasilatu bihukmil ghoyati).
Sebutan orang mukmin dalam Al-Quran tidak menggunakan kata tunggal “Yaa ayyuhal mukmin”. Tetapi menggunakan redaksi jama (plural) “Ya ayyuhalladzina amanu“. Ini menunjukkan bahwa konsekwensi keimanan adalah berjamaah (bagian dari kaum muslimin yang lain). Berjamaah adalah berkumpul untuk tujuan prinsip (ijtama’na ‘ala al mabadi). Bukan sekedar ber-majmu’ah (bergerombol).
Hadits Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam (SAW) yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir:
“Perumpamaan mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh” (HR. Muslim).
Jadi iman dan islam adalah satu kesatuan. Justru karena saya percaya (iman), maka saya siap diatur (islam). Siap dikomando. Siap ditugaskan untuk mengharumkan nama Allah (iqamatud din).
Kepercayaan yang tidak dibersamai oleh kesiapan menerima intruksi, sama buruknya dengan keislaman yang tidak dilandasi oleh keimanan. Hanya menjadi imanologi dan islamologi. Karena, keislaman kita belum utuh, masih pincang. Saya taat kepada suami, karena saya mempercayainya.
Islam terdiri dari mu’taqodat (keyakinan) dan amal shalih (syariah). Islam, adalah tauhid. Tidak mendikotomikan antara lahiriyah dan batiniyah, jasmani dan ruhani, ilmu dan amal. Islam menggabungkan ibadah qalbiyah, lisaniyah dan amaliyah.
Ketika memproklamirkan beriman, tetapi tidak siap taat, bagaikan iblis. Melahirkan syathona (mengajak menjauhi-Nya) dan ablasa (membangkang). Sejak saat itu iblis divonis kafir. Allah tidak mempercayai pengakuan tanpa bukti. Itulah sebabnya, Abu Bakar memerangi kaum murtaddin.
Iman yang dipahami dengan benar melahirkan kesiapan lahir dan batin untuk patuh (sami’na wa ‘atha’na). Iman itu disamping kongkrit juga ideal. Bukan sekedar za’mun (klaim).
Jadi, komitmen terhadap Allah dan ats tsiqah (kepercayaan) terhadap kepemimpinan yang disepakati (al Qiyadah) yang merujuk referensi Islam, tidak dapat ditawar-tawar. Allahu ghoyatuna, war rasulu imamuna.
Kepemimpinan islami itu bagaikan pasar. Akan dikerumuni oleh para konsumen. Daya pikat eksternal berbanding lurus dengan magnet power kepemimpinan internal.
Fungsi Imamah
Istilah imamah dalam Islam sepatutnya melukiskan fungsi strategis yang diembannya. Imam identik dengan amam (berada di depan). Yakni memiliki kualifikasi layak diteladani. Umm (induk), siap dijadikan referensi dalam idealisme, ilmu, moralitas, dan amal. Ummat (bagian dari yang dipimpin), mencintai yang dipimpin. Al Giyadah wal jundiyah, al Imamah wal ummah kaljasadil wahid (memiliki spirit yang sama).
Berikutnya, berfungsi sebagai ra’in (penggembala). Jelas, kualitas kepemimpinan itu diukur dari responbilitas terhadap yang dipimpin dan mutu pelayanannya (katsratur ri’ayah), banyak mendengar (katsratul istima’), tidak sekedar katsratur riwayah (banyak berorasi).
Umar mengatakan: Sayyidul qaumi khadimuhum (tuan sebuah kaum adalah yang pandai melayani mereka), bukan mengkhianati mereka (khadi’uhum).
Tidak kalah urgensinya adalah fungsi imam adalah imaraoh (tegas dalam prinsip). Dengan ketegasan ini komando imam akan tajam. Ia telah membangun di benak dan persepsi publik bahwa semuanya sama di hadapan hukum.
Yang melukai rasa keadilan saat ini adalah penerapan hukum bagaikan pisau. Tumpul untuk level qiyadah dan tajam untuk kalangan grassroot. UUD (ujung-ujung dhuwit). Marajiknya kitab KUHP (Kasih Uang Habis Perkara). Tujuan utamanya adalah bisnis (bisikan manis).
Jika para pemimpin mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, mereka memilih hukum yang tidak diturunkan oleh Allah maka akan terjadi permusuhan (benturan kepentingan) di antara mereka (al Hadits).
Kemudian, waliyyul amr atau trampil mengurus bawahannya. Pemimpin yang kita pilih adalah yang dapat mempengaruhi kehidupan keseharian kita. Ia merupakan photo copy dari diri kita. Ada sebuah istilah, ar ra’iyyatu ‘ala dini mulkihi (moralitas rakyat turunan dari keagamaan rajanya).
Kepemimpian yang lahir dari keshalihan kepribadian kita. Jika kita tidak berlomba-lomba dalam ishlahun nafsi, maka akan lahir pemimpin yang jelek, bahkan menindas kita. Komitmen kita terhadap tarbiyatun nafsi adalah modal untuk melahirkan pemimpin.
Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan (QS. Al Anam (6) : 129).
Sebagai aktifis harakah Hidayatullah, proses pemahaman terhadap manhaj harus ditindaklanjuti dengan berbagai bentuk penugasan, kesiapan memimpin dan dipimpin.
Jangan dibalik, siap memimpin tidak siap dipimpin. Bila dalam proses kepemimpinan terjadi gesekan antara senior dan yunior, itu semua dipahami sebagai proses pematangan dan pendewasaan. Jika tidak pernah merasakannya, ia akan kehilangan kekayaan hidup berimamah.
Leadersip (kepemimpinan) perlu dikombinasikan dengan manajerial. Kepemimpinan itu artinya hikmah dan kebijakan. Kebijakan itu adalah spiritual dan moral, sedangkan manajerial adalah moral dan profesionalisme. Biar professional tapi tidak bermoral, akan jatuh juga sebelum masa khidmahnya rampung.
Tetapi, jika bermoral tetapi tidak professional, ya tidak jalan. Orang yang tinggi moralnya biasanya cenderung takut melangkah. Khawatir salah jalan, sehingga tidak jadi beramal. Padahal dengan beramal sesuatu yang sulit menjadi mudah (al ‘amalu yaj’alush sho’ba sahlan).
Ahli sastra mengatakan: Apabila kalian membawa keranda ke kuburan, ketahuilah bahwa kalian akan dibawa. Dan apabila kalian diserahi urusan kaum, kalian akan dimakzulkan (dilengserkan sebelum masa khidmah berakhir).
Pengkaderan
Pengkaderan, inilah yang menjadi kerisauan kita belakangan ini. Dan menjadi keprihatinan pula para pendahulu kita yang shalih (salafus shalih). Karena, jika program ini tidak berjalan, kita bisa punah.
Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku (pelanjutku) sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugrahilah aku dari sisi Engkau seorang putra (QS. Maryam (19) : 5).
Kaderisasi merupakan langkah untuk menjaga keberlangsungan sebuah misi. Kader adalah seseorang yang disiapkan sedemikian rupa (baca: bukan secara natural), untuk mengisi tugas penting kepemimpinan dalam keluarga, intitusi, partai, dan Negara.
Dalam perjuangan klasik dan kontemporer, kepemimpinan adalah perpaduan antara dua potensi, kearifan generasi tua (samahatusy syuyukh) dan semangat generasi muda (hamasatusy syabab). Pengkaderan adalah upaya keras untuk membentuk tim inti dalam tubuh umat. Menghidupkan nyawa/ ruh pada jasad umat.
Ketika kader menjadikan manhaj nubuwah sebagai sumber energi dan stamina, sekaligus landasan moral, maka dalam bergerak tidak tanggung-tanggung. Orang spirit wahyunya kuat, insya Allah, dengan restu-Nya akan berhasil. Karena, wahyu itu membangun spirit dan moral. Ditambah keilmuan sedikit saja, sudah kencang.
Inilah profesionalitas yang kuat, manajerial yang baik, dan komunikasi dan keberanian. Mampu bermitra dengan berbagai pihak dan berani. Siapa saja yang memiliki bekal ini akan tamkin (eksis) dimana saja. Profesional adalah perpaduan antara komitmen dan kompetensi.
Tidak mengherankan, Hidayatullah akan melejit dengan spirit manhaj. Terhadap kekurang sempurnaan kepemimpinan internal, maka kepemimpinan Hidayatullah member solusi. Sudah mekanismenya untuk membangun integrasi umat. Ada kultur ta’aruf, tafahum, ta’awun, tarahum, tanashuh, dan takaful.
Tampak bahwa ada yang semangatnya tinggi, ada juga yang sulit bergerak, belum mencapai tingkat haraki yang diharapkan. Yaitu haraki secara institusi yang memahami SNW sebagai manhaj dan sistem (metodologi) kepemimpinan Imamah jamaah. Kalau itu yang dijadikan mabda seseorang dengan izin-Nya akan sukses secara kelembagaan.
Pemahaman ini harus transparan. Tidak ada yang dapat kita sembunyikan dan tidak ada yang tersembunyi bagi Allah. Ketika semua instrumen mengalami disfungsi untuk membuat kita bertahan, hanyalah kesamaan ruhiyah yang menyatukan kita.
Manhaj Progresifitas
Jika merujuk kepada spirit tahapan turunnya wahyu, maka aktifis Hidayatullah akan menanjak. Karena setiap urutan disamping satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (sistematis), pula komitmen (keterikatan yang kuat) menuju progresifitas (linutsabbita bihi fu-adak).
Iman naik, moralitas tinggi. Dunia di dalam genggamannya. Dunia menjadi kecil di hadapannya. Ketika iman turun, dunia dipandang besar.
Sosok yang tidak terikat dengan dunia, diantaranya ada Ibnu Taimiyah yang terkenal ungkapannya: Jika aku dipenjara, kesempatan untuk kontemplasi, jika diasingkan aku rihlah, jika dibunuh, aku meraih syahadah.
Ketaatan kepada kepemimpinan adalah moralitas yang tinggi. Karena kita berinteraksi dengannya atas dasar prinsip (manhaj). Bukan sekedar berkumpul dan bergabung (majmu’ah). Prinsip adalah landasan berpikir dan bergerak, asas memilah-milah, memilih, mengurai, dan memutus problem yang menyertainya.
Sami’na wa ‘atha’na, berani berkorban untuk ditugaskan sebagaimana sikap legowo (ridha) Khalid bin Walid atas SK penurunan jabatannya sebagai panglima perang oleh Khalifah Umar bin Khathab. Inilah moralitas yang tinggi.
Kesiapan berjuang hanya untuk Allah, dengan menyederhanakan jabatannya, massanya, pengaruhnya, untuk tajarrud, tawajjuh, tabattul, dan taqarrub ilallah. Aku berperang bukan karena Umar, katanya.
Bersikap sama ketika memimpin dan dipimpin adalah standar minimal. Orientasi seorang kader adalah peran apa yang bisa saya ambil. Ketaatan dan pengorbanan inilah modal immaterial yang menjadikan Hidayatullah eksis di mana-mana. Tidak berani ditugaskan mengemban amanah dakwah dan pengabdian umat, indikator moralnya berada di pinggir.
Moralitas yang tinggi juga ada rasa malu. Malu adalah saudara iman. Kalau secara ekonomi terlalu mencolok perbedaannya sesama aktifis. Kok saya bisa seperti ini, ya. Sebenarnya ini adalah barakah dari Hidayatullah. Bukan karena kepandaian saya dalam menerapkan teori-teori ekonomi.
Dalam komunitas masyarakat Al Fatihah, rasa keadilan, kasih saying, pengabdian, keteladanan, itulah standar minimal moral yang tinggi. Kalau spirit dan moral tinggi dan terjaga, maka otomatis menjadi alat kontrol.
Moralitas yang tinggi juga penting memelihara kebersamaan, khususnya dalam kondisi perubahan sistem yang belum tuntas. Dalam proses ini seringkali terjadi gesekan-gesekan. Ibarat membuat bangunan, bahan-bahannya sudah siap tetapi disana-sini belum tersusun rapi.
Mengapa terjadi demikian? Karena profesionalitasnya yang kurang. Kondisi ini membuat beberapa aktifis masih melirik sana-sini. Rumput tetangga dipandang lebih hijau dan menjanjikan. Padahal sesungguhnya hanya wang-sinawang.
Menuju Visi Hidayatullah 2020
Saat ini Hidayatullah dalam proses transisi. Kita akan menuju Visi 2020, yaitu Hidayatullah Berjamaah dan Bersyariat. Karena, konsekwensi bertauhid adalah berjamaah bersyariah. Di organisasi sudah ditentukan standarnya (alat ukur).
Standar moral, standar spiritual, standar keilmuan, dan standar profesionalisme. SDM yang baik adalah akan melahirkan kesejahteraan. Bukan makna SDM yang mengalami reduksi, SDM (selamatkan diri masing-masing).
Tauhid mewajibkan wujudnya iman, barangsiapa yang tidak beriman, maka dia tidak bertauhid. Dan, iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa tidak ada syariat padanya, maka dia tidak beriman dan bertauhid. Serta, syariat mewajibkan adanya akhlak, maka barangsiapa yang tidak beradab, maka (hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid adanya (Hasyim Asyari, Adabul ‘Ilmi Wal Muta’allim Jombang Maktabah At Turats Al Islami, 1415, hal. 11).
Jadi, Visi 2020 dibingkai oleh logika syariat. Tauhid, iman, syariat, akhlak, merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan. Jika salah satunya mengalami disfungsi (mandul), maka unsur yang lain akan tercerabut.
Iman identik dengan kejayaan, kemenangan. Ketika iman terjangkiti virus, sejak itu menyediakan diri untuk dijajah (qabiliyyah littaghallub), meminjam istilah Abul Hasan Ali An Nadwi.
Yang paling penting adalah proses bekerjanya sistem ini berjalan dengan baik, tanpa hambatan yang berarti. Dari sistem ini akan melahirkan orang-orang yang bermutu tinggi (khoirul bariyyah), dan komunitas yang unggul dalam berbagai aspeknya (khoiru ummah). Itulah sumber daya Qur’ani yang mendekati kualitas umat Islam pertama. Sosok-sosok yang meniupkan nyawa di tubuh umat yang tidak berstamina ini.
Mari kita pelihara warisan immaterial tersebut dengan cara memahami, mengamalkan, mendakwahkan, dan memperjuangkannya. Insya Allah, kita akan kaya sumber daya yang berkualitas tinggi.
Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih adalah manusia yang paling baik (QS. Al Bayyinah (98) : 7).
Wahai kaum mukmin, kalian benar-benar umat terbaik, yang ditampilkan di tengah manusia lainnya, supaya kalian menyuruh manusia berbuat baik, mencegah perbuatan mungkar, dan beriman kepada Allah (QS. Ali Imran (3) : 110).
Sesungguhnya Allah akan membangkitkan di tengah-tengah umat setiap seratus tahun seorang mujaddid yang memurnikan pemahaman terhadap agamanya (al Hadits).
Syaikh Yusuf Al Qardhawi mengatakan: Pembaharu yang kita rindukan kehadirannya itu bisa berupa person dan bisa pula berwujud lembaga.
Kita optimis, jika transmisi dan transformasi manhaj berjalan secara efektif, dan mesin pengkaderan terus bekerja, maka kelahiran sumber daya Qur’ani, yang meniupkan ruh di tubuh umat yang sudah jatuh tertimpa tangga ini, tinggal menunggu hitungan waktu, atas restu Allah. Insya Allah..
__________
USTADZ SHOLIH HASYIM, penulis adalah anggota Dewan Syura Hidayatullah. Artikel ini adalah makalah yang disampaikan beliau pada Rakerwil Hidayatullah Jateng 2015 di Ponpes Hidayatullah Grobogan. 17-18 Rabiul Akhir 1436 H/ 7-8 Februari 2015 M.