
USTADZ Mahlan Husain bergabung dengan Hidayatullah Gunung Tembak sejak muda. Orang tuanya merupakan pendukung utama Hidayatullah sejak awal di Balikpapan Seberang, yang kini menjadi Penajam Paser Utara. Saudara-saudaranya juga menjadi santri di Gunung Tembak.
Semasa menjadi santri, anak muda ini pernah mendapatkan tugas ke Jakarta pada tahun 1988 untuk menemani Ustadz Abdul Manan Al-Kindi. Banyak pelajaran dan pengalaman berharga yang didapatkan selama tugas di Jakarta, karena sering diajak bersilaturahim dan bertemu dengan para pejabat serta tokoh masyarakat.
Pada tahun 1990, beliau kembali ke Gunung Tembak, lalu ditugaskan ke tanah Papua, tepatnya di Sorong, untuk menemani Ustadz Abdul Majid yang merintis Hidayatullah di sana. Setelah beberapa tahun di Sorong, beliau sempat dimutasi ke Hidayatullah Fakfak.
Akhirnya, pada tahun 1994, beliau dipanggil kembali ke Hidayatullah Gunung Tembak untuk mengikuti pernikahan massal, yang kini disebut sebagai pernikahan mubarakah.
Pernikahan ini berlangsung pada hari Ahad, 29 Mei 1994, diikuti oleh 61 pasang santri dan santriwati. Sebagian peserta berasal dari Pesantren Hidayatullah Makassar, Depok, Irian Jaya, dan beberapa daerah lainnya.
Mungkin ini adalah pernikahan massal terbesar yang pernah diadakan saat itu. Acara ini turut dihadiri oleh Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie serta rombongan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat.
Ustadz Mahlan Yani Husain dinikahkan dengan seorang santri putri bernama Ustadzah Nurmailah Sulaiman. Seperti pasangan lainnya, mereka tidak saling mengenal sebelumnya, tetapi memiliki niat yang sama untuk beribadah dan berdakwah melalui Hidayatullah. Tidak ada keraguan bahwa jodoh adalah ketentuan Allah yang terwujud melalui ikhtiar dan doa para ustadz.
Satu pekan pasca pernikahan, sempat muncul kegelisahan karena belum ada kejelasan mengenai tempat tugas (santri-santri awal sering merasa gelisah jika tidak segera mendapatkan SK tugas). Akhirnya, beliau menghadap Ustadz Abdullah Said di Karangbugis. Instruksi yang diberikan adalah bahwa Ustadz Mahlan bersama istrinya mendapatkan SK tugas ke Nabire (Provinsi Irian Jaya saat itu).
Sebagai pengantin baru, hal ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk segera berangkat. Beliau menempuh perjalanan dengan kapal selama kurang lebih dua pekan.

Bagi pengantin baru yang memiliki cukup dana, mungkin perjalanan dengan kapal bisa menjadi bulan madu yang menyenangkan di kamar kapal. Namun, Ustadz Mahlan harus naik kapal kelas ekonomi, tidur di dek terbuka, bahkan di bawah tangga.
Tidak ada rasa menyesal atau merasa menderita. Semua perjalanan dinikmati sebagai bagian dari ibadah. Meskipun perjalanan laut selama dua pekan terasa membosankan dan melelahkan bagi kebanyakan orang, tujuan dakwah menjadikannya terasa indah.
Karena tidak ada kapal yang langsung ke Nabire, beliau harus transit di Biak dan singgah di Hidayatullah cabang Biak selama kurang lebih dua bulan.
Saat itu, pimpinan Hidayatullah Biak adalah Ustadz Baharuddin. Di sana, beliau bertemu dengan Ustadz Suwardhani Sukarno, Ketua Koordinator Wilayah Hidayatullah Irian Jaya saat itu (belum berbentuk ormas atau DPW). Ustadz Suwardhani langsung berkata,
“Mahlan, antum tugas ke Kaimana saja.”
Ustadz Mahlan pun menjawab, “Tapi SK saya ke Nabire, Ustadz?”
“Nanti saya sampaikan ke Ustadz Abdullah Said untuk mengubah SK antum, karena ada seseorang yang ingin mewakafkan tanahnya di Kaimana. Namanya Bapak Aziz. Sementara di Nabire, lokasi masih belum jelas,” jelas Ustadz Suwardhani.
Tanpa ragu, Ustadz Mahlan menjawab, “Insya Allah, siap Ustadz.”
Perubahan SK tugas terkadang harus dilakukan karena kondisi tertentu. Hikmahnya, beliau mendapatkan tiket pesawat gratis dari Biak ke Kaimana, berkat bantuan Bapak Sumargono, Kepala Bandara Biak. Ini adalah karunia luar biasa bagi seorang pengantin baru—sebagai ganti dari perjalanan kapal selama dua pekan dengan fasilitas ekonomi.
Namun, ketika tiba di Kaimana, ternyata alamat Bapak Aziz tidak jelas. Setelah bertanya ke beberapa orang, tidak ada yang mengenalnya. Ini menjadi pelajaran bahwa dalam berdakwah, jangan terlalu bergantung pada seseorang.
Akhirnya, seorang sopir taksi mengantar beliau ke perumahan penginapan (rumah kontrakan yang biasa dipakai pengusaha gaharu). Mungkin karena penampilan Ustadz Mahlan yang rapi, ia dikira sebagai pengusaha gaharu yang kaya.
Awalnya, beliau merasa khawatir karena tidak memiliki cukup bekal jika harus membayar kontrakan. Namun, setelah menjelaskan bahwa ia adalah petugas dakwah dari Hidayatullah Balikpapan untuk membuka pesantren di Kaimana, pemilik rumah, seorang mantan pejuang kemerdekaan bernama Bapak Kadir Kilkussa, justru mendukung niat beliau.
Bapak Kadir Kilkussa, seorang pegawai kesehatan TNI yang berasal dari Tual, memberikan penginapan serta konsumsi gratis selama Ustadz Mahlan tinggal di sana.
Namun, sebagai kader Hidayatullah, Ustadz Mahlan tidak ingin terlena dengan fasilitas yang nyaman. Diam-diam, di sela-sela waktu, beliau mencari tanah untuk mendirikan pesantren.
Singkat cerita, beliau bertemu dengan Raja H. Imam Ahmad, seorang keturunan Portugis, yang kemudian mempertemukan beliau dengan Bapak Husain Wertefe, seorang Papua asli yang bersedia membantu urusan tanah untuk pesantren.

Setelah proses panjang, lokasi pesantren akhirnya ditemukan di Jalan Utarom, Kampung Coa, Distrik Kaimana (yang saat itu masih berstatus kecamatan sebelum pemekaran). Ketika diukur oleh Badan Pertanahan Negara, luas tanah tersebut mencapai 1 hektar.
Pembangunan pesantren dimulai dengan gotong royong masyarakat. Pada awalnya, kondisi gubuk masih darurat. Tiangnya terbuat dari kayu hutan, alasnya dari daun nipah, dan dindingnya masih tertutup kain sarung. Meski begitu, semangat dakwah tetap berkobar.
Selama kurang lebih empat tahun di Kaimana, Ustadz Mahlan bersama masyarakat berhasil mendirikan aula, rumah guru, serta mengurus legalitas pesantren. Bantuan listrik pun akhirnya diperoleh atas dukungan Camat Jhames Nahuway.
Menjelang kepindahan tugas ke Bitung, Allah mempertemukan Ustadz Mahlan dengan Bapak Aziz, yang ternyata memang memantau kesungguhannya dalam membangun pesantren.
Rahasia kesuksesan dakwah beliau adalah dukungan penuh dari istrinya. Sebagai sesama kader, mereka memiliki pemahaman dan cita-cita yang sama. Setelah kurang lebih empat tahun bertugas di Kaimana, Allah mengaruniai mereka tiga orang anak.
Akhirnya, Ustadz Mahlan dipindahkan ke Bitung pada tahun 1999, menggantikan Ustadz Mustafa Sakka yang bertugas di Jakarta. Adapun di Kaimana, tugas beliau dilanjutkan oleh Ustadz Ichra Diyono Sukeni.
*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah. Ditulis sebagai tajuk “Laporan Perjalanan” di sela sela kunjungannya ke Papua beberapa waktu lalu. Disusun berdasarkan hasil wawancara dengan Ustadz Mahlan Yani Husain.