AdvertisementAdvertisement

Teladan Shalihin Menerima Kemalangan dengan Cara Jenaka

Content Partner

SIAPA sih manusia yang tidak pernah mengalami kesialan atau nasib buruk? Kita semua pernah mengalaminya. Bahkan, para Nabi dan wali pun tidak dikecualikan dari daftar ini. Bagaimana pun, suka dan duka ibarat bumbu penyedap yang tanpanya kehidupan menjadi hambar.

Pada kenyataannya, keberuntungan maupun kemalangan bisa mengenai bagian mana saja dari diri kita. Jenis, intensitas, dan skalanya pun bisa sangat beragam; yang pada gilirannya mendorong cara-cara penyikapan yang sangat beragam pula.

Ada manusia yang menerima keberuntungan dengan syukur yang nyata, tetapi ada pula yang menjadi lupa diri. Ada manusia yang menerima kemalangan dengan kesabaran berlipat, tetapi ada pula yang tenggelam dalam keputusasaan. Kisah-kisah kesyukuran maupun kesabaran sangatlah melimpah, sebab usia keberuntungan dan kemalangan sudah setua umat manusia itu sendiri. 

Alhasil, amal perbuatan manusia pasti beragam. Dan, inilah watak dasar mereka, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (QS. Al-Lail: 4). Dari sini pula mereka kelak akan diberi balasan secara utuh, tidak dizhalimi sedikit pun.

Allah berfirman, “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberikan balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).” (QS. An-Najm: 38-42).

Hanya saja, efek kemalangan dan keberuntungan tidaklah sama. Keberuntungan biasanya tidak melahirkan kisah-kisah heroik, bahkan acapkali menderetkan seribu satu ironi. Justru kemalanganlah yang kerapkali menempa manusia dan menampakkan keunggulannya. Seperti besi yang didiamkan sekian lama tanpa disentuh, biasanya malah berkarat dan hancur perlahan-lahan.

Sebaliknya, besi yang dibakar dan ditempa dengan palu berkali-kali, justru berubah menjadi logam yang bersih, padat, dan kokoh. Manusia cenderung menjadi kuat dalam penderitaan, dan mudah melempem di tengah-tengah kemapanan. Mungkin, inilah rahasia mengapa Allah sengaja merancang kehidupan kita sebagai rangkaian ujian, bukan untaian hadiah (lihat, QS. al-Baqarah: 155).

Menyadari kenyataan ini, para ulama’ sengaja mencatat kisah-kisah penuh inspirasi yang merekam bagaimana manusia menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang tidak diharapkan. Misalnya, Al-Hafizh Ibnu Abi Dunia menyusun karya berjudul Al-I’tibar wa A’qabus Sururi wal Ahzan (Pelajaran dan Akibat [di balik] Kegembiraan dan Kesedihan).

Dalam risalah ringkas ini, pada riwayat no. 21, beliau menyitir pernyataan ‘Abdurrahman bin Abu Bakrah (Tabi’in Senior, w. 96 H), “Barangsiapa yang menginginkan kekekalan, hendaklah ia meneguhkan diri menghadapi musibah-musibah.”

Uniknya, para ulama’ juga menceritakan orang-orang yang bisa menerima kemalangan-kemalangannya dengan cara jenaka. Reaksi mereka spontan, sangat alami, dan mencerminkan nilai-nilai tertentu yang diyakininya. Sepertinya, dengan sedikit selera humor, terkadang kemalangan pun bisa berubah menjadi hiburan yang menentramkan.

Sebagai contoh, Imam Adz-Dzahabi mencatat sebuah anekdot menggelikan dalam biografi ‘Imran bin Hitthan as-Sadusi, seorang ulama’ dari generasi Tabi’in Senior yang wafat tahun 84 H. Konon, ‘Imran ini memiliki seorang istri yang cantik jelita, sementara beliau sendiri dikenal buruk rupa.

Suatu kali, beliau memandangi istrinya dan sangat mengagumi kemolekannya. Tiba-tiba, istrinya berkata, “Aku dan kamu sama-sama di surga. Sebab, kamu diberi karunia lalu bersyukur, sedangkan aku diberi musibah lalu bersabar.” (Siyaru A’lamin Nubala’, IV/214).

Begitulah. Punya pasangan hidup yang buruk rupa pun bisa diterima dengan gembira, bahkan ditertawakan. Tidak disesali, apalagi diratapi dan di-curhat-kan ke mana-mana melalui media massa atau jejaring sosial, seperti yang lazim dilakukan sebagian orang di zaman kita. Semuanya bisa disyukuri sebagai anugerah yang indah, sebab kesabaran dalam menerimanya berbuah surga.

Terlihat seperti lelucon, tetapi ini sesungguhnya bukan main-main. Lihatlah kebalikannya, betapa banyak orang-orang yang dikaruniai pasangan cantik atau tampan, namun lebih memilih berselingkuh dengan orang lain. Ternyata, pemberian-pemberian yang terbaik sekali pun bila tidak disyukuri dengan benar pasti berbalik menjadi bencana.

Imam Adz-Dzahabi juga menceritakan kisah lain. Disebutkan bahwa al-A’masy (Tabi’in Yunior, w. 147 H) mempunyai seorang anak yang lemah ingatannya. Suatu kali, beliau berkata kepadanya, “Pergilah, belikan tali untuk jemuran.” Anak itu bertanya, “Wahai ayah, berapa panjangnya?” “Sepuluh hasta (yakni, sekitar 5 meter),” kata sang ayah. Anak itu bertanya lagi, “Berapa lebarnya?” Spontan, al-A’masy berseru, “Selebar musibahku pada (keberadaan)mu!” (Siyaru A’lamin Nubala’, VI/239).

Ya, selebar itulah musibah seorang ayah mendapati anaknya yang lemah. Tapi, beliau tahu bahwa lebarnya musibah selalu beriringan dengan luasnya pahala. Sebab, beliau pernah meriwayatkan sebuah atsar dalam masalah ini. Beliau berkata: dari Abu Zhubyan, ia berkata, “Kami pernah menyodorkan mushaf-mushaf Al-Qur’an kepada ‘Alqamah bin Qais (untuk diperiksa ketepatan bacaannya). Beliau kemudian melewati ayat ini: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun: 11). Maka, kami pun bertanya kepada beliau tentang maknanya. Beliau menjawab: ‘Maksudnya, seseorang yang tertimpa suatu musibah sedangkan ia tahu bahwa hal itu datang dari Allah, lalu ia rela dan menerimanya.” (Riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra).

Ada satu kisah lain, yang bersumber dari zaman Nabi. Shuhaib berkata, “Saya datang untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saat itu berada di Quba’. Beliau bersama Abu Bakar dan ‘Umar, sedangkan di hadapan mereka ada kurma segar. Saya sendiri terkena sakit mata di perjalanan sehingga sangat kelaparan. Maka, saya pun memakan kurma-kurma itu. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda melihat Shuhaib yang makan kurma padahal matanya sakit?” Maka, beliau pun berkata, “Hai Shuhaib, engkau makan kurma padahal matamu sakit?” Shuhaib menjawab, “Wahai Rasulullah, saya makan dengan menggunakan sebelah mata saya ini yang masih sehat.” (Riwayat Ibnu Majah, Ibnu ‘Asakir, al-Hakim, dan ath-Thabrani. Redaksinya milik Ibnu ‘Asakir. Hadits hasan-shahih).

Jawaban spontan Shuhaib mencerminkan pikiran-pikiran positifnya. Alih-alih mengeluh dan meratapi sebelah matanya yang sakit, beliau lebih suka mensyukuri sebelah matanya lagi yang masih sehat. Alhasil, semua bisa dilanjutkan dan berjalan normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Halangan-halangan kecil seperti itu tidak perlu dibesar-besarkan, karena bisa diterima dengan lapang hati dan bahkan jenaka.

Cara beliau menyikapi kemalangan patut dicontoh, meski terlihat sebagai gurauan. Bukankah kita sering mendapati orang-orang yang begitu cepatnya ambruk hanya karena masalah-masalah sepele? Sedikit pusing pun sudah cukup menjadi alasan untuk bolos sekolah, atau minta surat keterangan dokter agar bisa mangkir dari kantor.

Sepertinya, sekali waktu, kita perlu belajar menyikapi musibah dengan mengaktifkan syaraf-syaraf humor kita; agar ia tidak gampang mengeruhkan akal sehat apalagi sampai menumbangkan semangat. Bukankah musibah tidak mungkin dihapuskan dari kehidupan, sementara kita tidak boleh berhenti sampai perjalanan ini mencapai ujungnya? Wallahu a’lam.[]

*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Integral (YPI) Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu, Malang, Jawa Timur

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img