Hidayatullah.or.id — Jelang pelaksanaan Munas IV, keluarga besar Hidayatullah dirundung duka. Salah seorang perintis Hidayatullah, Ustadz Usman Palese berpulang ke Rahmatullah, Selasa (27/10/2015) pagi dinihari, pada usia 70 tahun.
Berdasarkan informasi yang dihimpun redaksi, sang ustadz menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sekitar pukul 01.45 WIB.
Sebelumnya, Ustadz Usman dirawat intensif di RS tersebut sejak Senin (26/10/2015) sekitar pukul 12.31 WIB. Bahkan sempat masuk ruang ICU.
Menurut putra kedua almarhum, Fadli Usman, dari keterangan dokter saat itu, di kepala Ustadz Usman ada pendarahan. Tapi kondisinya masih sadar.
“Cuma di kepala saja, ada pendarahan, mungkin saraf kali, mungkin pernah jatuh dimana gitu pas kita nggak tahu,” ujar Fadli.
Beberapa tahun belakangan ini, Ustadz Usman mengalami penurunan kesehatan yang kompleks. “Faktor usia,” tambah Fadli.
Jenazah disemayamkan di kediamannya, kompleks Pesantren Hidayatullah Depok, Jl Raya Kalimulya, Cilodong. Belaiu dimakamkan di Pemakaman Umum Kalimulya, dekat pesantren. Sejumlah pelayat berdatangan dari Depok, Jakarta dan beberapa daerah; seperti Balikpapan.
Lahir di Pinrang, Sulawesi Selatan tahun 1945, almarhum Usman Palese meninggalkan 1 istri, Nur Hudayah Yusuf (55) dan 6 putra-putri, yaitu Kholid Usman (40), Fadli Usman (37), Abbas Usman (36), Farid Usman (34), dan kembar Faizah (31)-Fauziah (31).
Selain Farid -yang tengah berada di Balikpapan, semua anak almarhum berkumpul di Depok sejak Senin melepas beliau ke pemakaman.
Luwes tapi Tegas
Semasa hidupnya, Usman merupakan sahabat Pendiri Hidayatullah, Ustadz Abdullah Said.
“Beliau bersama Abdullah Said ke Jawa untuk menemui ulama sebelum berdirinya Hidayatullah,” terang Kholid.
Dalam dakwahnya, Ustadz Usman dikenal luwes, lembut, namun tegas. Prinsip tersebut seringkali ia pesankan kepada para kadernya untuk dijaga.
Menurut Ustadz Usman, dai harus bisa menempatkan diri secara proporsional dan bersikap profesional kapan dan di mana pun.
Profesional yakni dai harus memiliki keandalan serta kepandaian khusus untuk menjalankannya karena profesi ini bersentuhan langsung dengan umat. Adapun proporsional, dai mesti bisa menempatkan diri dengan seimbang dan memiliki kecakapan sosial.
Contohnya, adakalanya seorang pendakwah menghadapi para pejabat negara. Saat begitu, dai tidak boleh sembarang bersikap, ada trik dan tips khususnya. Setidaknya, hal yang perlu dilakukannya adalah bersikap luwes tapi tegas.
Hal itu dikatakannya kepada peserta Pelatihan Kepemimpinan V Hidayatullah Training Center (HiTC) di Masjid Ummul Quraa, Cilodong, 29 Oktober 2014 lalu.
Dalam ceramah usai shalat Shubuh itu, Ustadz Usman mencontohkan sikap luwes yang dimaksud. Misalnya, kata dia, dai tidak melulu memakai baju koko.
“Sekarang bagaimana kita kalau ke kantor-kantor pemerintah jangan pakai baju koko. Pakai baju berkerah (kemeja, red),” ujarnya
Misalnya pula, kata dia, seorang dai pandai-pandai menempatkan suasana dalam pembicaraan. Ada saat serius, ada saat bercanda.
Meski luwes, menurutnya, seorang dai sepatutnya bersikap tegas, termasuk saat di rumah para pejabat.
“Jadi kita di sana siap meniru (luwes, red), siap menahan kalau nggak perlu (akan sesuatu),” pesan anggota Majelis Pertimbangan Pusat Hidayatullah ini.
Keluwesan dalam berdakwah, diakui Dzikrullah, yang pernah bersama almarhum.
“Saya terkagum-kagum pada kemampuan bahasa Minang yang cepat dikuasai Ustadz Usman Palese rahimahullah. Begitu juga pendekatannya yang luwes di kalangan ninik mamak, ulama dan cerdik pandai Minangkabau,” ujar Dzikrullah.
Usman Palese juga berpesan agar para dai tidak lepas dari wirid. “Wirid itu andalan, warisan dari nabi-nabi,” ujarnya kala itu.
Ustadz Usman terakhir membaktikan diri sebagai anggota Majelis Pertimbangan Pusat Hidayatullah. Ia juga masih tercatat sebagai dosen di STIE Hidayatullah Depok.* (Skr/Hidcom)