KITA MENGENAL dua strategi perubahan. Pertama, strategi perubahan yang memiliki dampak luas terhadap pertumbuhan organisasi. Kedua, strategi perubahan yang sifatnya parsial dan teknis.
Kedua strategi perubahan tersebut harus kita rumuskan menjadi satu program kerja. Program kerja itulah yang kemudian kita pakai sebagai acuan untuk mencapai visi organisasi.
Lantas, perubahan strategis apa yang mendesak dalam tubuh organisasi Hidayatullah saat ini? Berdasarkan pengamatan selama tujuh tahun terakhir ini, masalah krusial yang perlu segera diatasi adalah konsolidasi. Sedangkan konten penting konsolidasi terdiri atas ideologi, organisasi, dan wawasan (tri konsolidasi).
Hampir semua komponen Hidayatullah masih belum matang pemahamannya terhadap ideologi yang berdimensi imamah dan melahirkan budaya sam’an wa tha’atan dan jama’aah (ukhuwah).
Begitu pula pemahaman terhadap organisasi Hidayatullah yang sentralistik (komando), belum dimengerti secara baik. Sementara wawasan perjuangan masih banyak diwarnai oleh latar belakang anggota yang berbeda-beda.
Tri konsolidasi tersebut menjadi sangat penting karena sangat menentukan maju-mundurnya atau tegak-ambruknya sebuah organisasi. Di sisi lain, perubahan strategis memerlukan konsep dan seni yang kuat, serta dilaksanakan secara bertahap.
Begitu pula nilai idealisme hendaknya tercermin pada sikap setiap pejuang dewasa. Indikatornya adalah tidak berperilaku responsif, bekerja keras dan cerdas dalam menjalankan kebijakan organisasi.
Perubahan strategis cenderung radikal. Sedangkan perubahan operasional hanya bersifat rutinitas, sekadar memelihara keseimbangan organisasi.
Jadi, jika kita hanya melakukan perubahan operasional, kita bakal beku, jenuh, dan semua menjadi tak menarik lagi. Kita perlu perubahan radikal. Kita perlu mengubah referensi, kebijakan organisasi, dan mengarahkan semua sumberdaya internal untuk pencapaian visi.
Terkait perubahan strategi, pendekatan yang digunakan adalah proaktif , konseptual, sistematis, bertahap, dan konsisten, dengan penerapan manajemen 4 co (commitment, communication, cooperation, coordination).
Kita tak boleh membabi-buta atau mengubah berdasarkan selera pribadi. Kita harus menggunakan prinsip prinsip manajemen yang tepat dan proses yang diyakini bisa dilewati secara konsisten.
Kurangnya “darah segar” (cash flow) dan “energi” (idealisme, reputasi dan motivasi) akan teratasi jika tri konsolidasi sudah kita lakukkan.
Kondisi krisis yang menerpa Hidayatullah disebabkan tingkat elite organisasi hanya melakukan perubahan yang sifatnya operasional. Akibatnya tak ada kemajuan strategis yang kita capai.
Dalam kondisi seperti ini, diperlukan pemimpin yang berani menghadapi semua lapisan organisasi (stakeholders) yang mulai pudar kepercayaannya terhadap organisasi, berpikir individualis, dan parsial.
Organisasi pun perlu menerapkan strategi proaktif (proactive strategy) sebagai strategi dasar, ditindaklanjuti dengan strategi umum, dijabarkan melalui strategi fungsional.
Adapun fokus kebijakan adalah pendidikan dan dakwah. Pendidikan sebagai basis mencetak kader, dan dakwah sebagai sarana merekrut teman-teman lama dan sanak-saudara untuk bersama-sama membangun jamaah menuju terwujudnya peradaban Islam.
Bila seluruh aktifis Hidayatullah mampu menjadi teladan di lingkungannya, tak henti belajar serta mengajarkan Islam, insya Allah cita-cita mulia ‘izzul Islam wal Muslimin akan dapat kita capai.
Namun, bila dakwah masih di awang-awang, tidak ada yang merasa mendapatkan manfaat dari kehadiran kita, maka cita-cita yang hendak kita raih akan kian berada di awang-awang pula.*
___________________
DR. H. ABDUL MANNAN, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hidayatullah