SETIAP ibadah mempunyai standar (miqyas) pahala yang baku, definitif, dan bahkan terukur, kecuali ibadah puasa.
Shalat berjamaah, pahalanya dilipatkan dua puluh tujuh derajat. Zakat, hartanya akan menjadi berkah, mensucikan dan bertambah.
Haji mabrur, tiada balasan kecuali surga, Ibadah lain dilipatkan pahalanya antara sepuluh sampai dengan tujuh ratus kali lipat.
Akan tetapi, tidak demikian dengan puasa. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut nilai ibadah puasa akan langsung dipersembahkan kepada-Nya.
Dan, Allah Subhanahu wa ta’ala yang akan memberikan hadiah excellent (mumtaz), ganjaran yang tidak terukur karena pahalanya langsung dipersembahkan pada Allah Subhanahu wa ta’ala.
كلّ عمَل اْبنِ ادم يضاعَف الحسنة عشر أمثالها إلى سيعمائة ضِعف إلا الصومُ فإنه ليِ وأنا أجْزي به
“Semua amal keturunan Adam dilipatgandakan sepuluh sampai dengan tujuh ratus kali lipat kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya” (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Nilai dan pahala puasa yang unlimited value dan unidentified value ini paralel dengan pahala kesabaran sebagaimana yang disebut dalam firman Allah SWT:
اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas” (QS Az-Zumar 10).
Mengkorelasikan dua nash tersebut, Syeikh Imam Ibnu Hajar menjelaskan: pahala puasa yang sangat besar dan tanpa batas ini, karena puasa adalah manifestasi: sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari yang diharamkan Allah, serta sabar terhadap takdir Allah yang menyakitkan dari lapar, haus, dan lemahnya badan serta jiwa.
Maka terkumpul di dalamnya tiga macam kesabaran. Maka layak orang puasa termasuk golongan orang-orang sabar dan masuk dalam makna pada Al Qur’an surah Az-Zumar ayat 10.
Sayangnya, dengan pahala yang tak terukur ini, banyak orang yang melakukan puasa akan tetapi tidak mendapatkan manfaat apapun kecuali rasa lapar dan haus saja.
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إَّلا الْجُوْعِ وَالْعَطْشِ. (رواه النسائي)
“Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapat pahala puasa kecuali hanya lapar dan haus saja” (HR. Imam An-Nasai).
Beberapa Kiat
Ada beberapa kiat/tips, supaya puasa yang dilakukan setiap orang Islam menjadi puasa yang sesuai dengan kehendak sang pembuat aturan puasa.
Pertama, Ikhlas
Yakni, memurnikan niat hanya mengharap ridha Allah Subhanahu wa ta’ala. Inilah penentu awal kualitas puasa setiap orang Islam.
Motivasi intrinstik inilah yang bisa mengurai problem finansial. Tidak hanya puasa, bahkan seluruh amal akan ditentukan pertama kali oleh standar ini.
Jika amal dilakukan dengan ikhlas karena Allah maka amalnya menuju Allah (berpeluang diterima Allah), tetapi jika dilakukan karena selain Allah Subhanahu wa ta’ala, maka amal itu tidak memiliki peluang sama sekali untuk menjadi bernilai di Sisi-Nya.
“Man shaluhat bidayatuhu shaluhat nihayatuhu waman fasadat bidayatuhu fasadat nihayatuhu”, Salah satu alasan pahala puasa itu unlimited value adalah karena hampir semua ibadah berpotensi terkontaminasi sikap riya’ (caper), kecuali ibadah puasa.
Menurut Imam Al-Qurtuby, ketika amalan-amalan yang lain dapat terserang penyakit riya, maka puasa tidak ada yang dapat mengetahui amalan tersebut kecuali Allah, maka Allah sandarkan puasa kepada Diri-Nya.
Senada dengan itu, Imam Ibnu Al-Jauzi berkata, ‘Semua ibadah terlihat amalannya oleh orang lain. Dan sedikit sekali yang selamat dari godaan penyakit ruhani (riya) ini. Dan ini berbeda dengan ibadah puasa. Inilah makna yang terkandung hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وفي حديث مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang puasa Ramadhan karena iman dan ihtisab (mengharapkan pahala) niscaya diampuni baginya dosa-dosanya yang terdahulu.” Dalam hadits lain “Siapa yang berdiri (shalat) Ramadhan karena iman dan ihtisab (mengharapkan pahala) niscaya diampuni baginya dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dan menjaga keikhlasan puasa itu lebih mudah dari pada ibadah lain, karena puasa adalah amalan batin (rahasia).
Maka Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya’ Ulumiddin: “Puasa itu sendiri rahasia yang padanya tidak ada amal yang disaksikan. Seluruh amal ketaatan itu disaksikan dan dilihat oleh makhluk sedangkan puasa hanya dilihat oleh Allah Azza wa Jalla, karena puasa itu amal batin dengan semata-mata kesabaran.”
Kedua, Meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa
Agar puasa menjadi berkualitas, maka puasa itu harus sah dan benar sesuai kaifiyah dan regulasi puasa. Artinya, setiap orang yang melaksanakan puasa harus melaksanakan syarat rukun puasa serta meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa. Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menjelaskan hal-hal yang membatalkan puasa itu dibagi menjadi dua;
Pertama, yang membatalkan puasa dan wajib qadha’. Yaitu :
- Makan atau minum dengan sengaja. Jika seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, itu tidak membatalkan puasanya;
- Muntah dengan sengaja;
- Mengeluarkan sperma, baik karena mencium istrinya atau hal lain di luar bersetubuh dan mimpi. Jika bersetubuh ia terkena kafarat, jika karena mimpi maka tidak mempengaruhi puasanya;
- Meniatkan berbuka. Karena niat merupakan rukun puasa, maka niat berbuka berarti membatalkan puasanya.
Kedua, yang membatalkan puasa dan wajib qadha’ dan membayar kafarat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa tindakan membatalkan puasa yang mengharuskan wajib qadha serta membayar kifarat hanyalah bersenggama dan tidak ada yang lain. Kafaratnya dengan cara memerdekakan budak, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu memberikan makan kepada enam puluh orang miskin.
Ketiga, Meninggalkan hal-hal yang membuat puasa sia-sia
Hal lain yang harus dilakukan agar puasa menjadi berkualitas adalah meninggalkan hal-hal yang membuat puasa sia-sia. Ini dilakukan dengan cara menjauhi perkara-perkara yang telah diharamkan Allah SWT. Kemampuan meninggalkan hal-hal membuat puasa ini menjadi sia-sia ini akan menjadi tolok ukuran status puasa seseorang.
Secara klasifikatif, Imam Ghazali membagi orang yang berpuasa ini dalam tiga kategori, yaitu : puasa umum (puasanya orang awam), puasa khusus, dan puasa paling khusus.
Yang dimaksud puasa umum ialah sekedar menahan lapar, haus dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Sekedar memenuhi syarat dan rukun puasa secara formal (lahiriyah) saja.
Sedangkan puasa khusus, selain menahan lapar, menahan haus, menahan syahwat, juga menahan pendengaran, mata. lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari semua maksiat dosa.
Mempuasakan mata dengan menghindarkan mata dari penglihatan dunia riil dari segala maksiat, juga mempuasakan mata dari dunia maya yang kalau tidak terkontrol justru jauh lebih berbahaya dan lebih mudah menimbulkan maksiat daripada dunia nyata.
إِنَّ النَّظْرَةَ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ مَسْمُومٌ، مَنْ تَرَكَهَا من مَخَافَتِي أَبْدَلْتُهُ إِيمَانًا يَجِدُ حَلاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ رواه الحاكم، والطبراني
“Pandangan itu salah satu anak panah Iblis yang berbisa. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah Azza wa Jalla memberinya keimanan yang manisnya didapati dalam hatinya” (HR. Hakim & Thabrani)
Mempuasakan lidah dengan memeliharanya dari berbicara tanpa arah, dusta, menggunjing, mengumpat, berkata buruk, berkata kasar, permusuhan dan mendzalimi orang lain.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ. وَفِي رِوَايَةٍ : وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ
“Puasa adalah perisai. Maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan pula ribut-ribut.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Dan jangan berbuat bodoh.” “Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali).” (Al-Bukhari-Muslim).
Mempuasakan telinga dari mendengarkan segala sesuatu yang haram dan makruh. Karena segala sesuatu yang haram diucapkan adalah haram pula untuk didengarkan. Bahkan, Allah Subhanahu wa ta’ala menyamakan orang yang mencari pendengaran haram dengan pemakan harta haram.
سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ اَكّٰلُوْنَ لِلسُّحْتِۗ فَاِنْ جَاۤءُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ اَوْ اَعْرِضْ عَنْهُمْ ۚوَاِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَّضُرُّوْكَ شَيْـًٔا ۗ وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram” (QS. Al-Maidah (5) :42).
Bahkan ketika seseorang mendengar berita dan langsung diinformasikan kepada orang lain, seperti yang dilakukan beberapa orang ketika menerima sebuah informasi dari media sosial kemudian menyebar luaskan berita yang tidak jelas validitas dan akurasinya, maka Rasulullah mengkategorikannya sebagai pembohong.
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim).
Mempuasakan tangan dengan cara tidak mendzalimi orang lain, tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya, serta tidak melakukan perbuatan lain yang dilarang syariat.
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”
Terkait larangan ini, dalam Hadits Riwayat Muslim Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Siapapun yang mengambil hak orang muslim dengan sumpahnya, Allah menentukan neraka baginya. Lalu, mengharamkan surga baginya”
Lalu ada lelaki yang bertanya kepada Nabi SAW: Walaupun hal tersebut merupakan hal yang sangat sederhana wahai Rasulullah? Kemudian Nabi Muhammad SAW menjawab: “Walaupun itu sebatang kayu syiwa dari pohon arak”.
Demikian pula mempuasakan semua anggota tubuh lainnya dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT. Pada saatnya, semua anggota tubuh akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT.
ٱلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰٓ أَفْوَٰهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS Yasin: 65).
Mempuasakan hati dari penyakit-penyakit ruhiyah seperti dengki, iri, marah, bermusuhan dengan sesama muslim.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً . الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ . التَّقْوَى هَهُنَا – وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسَبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ [رواه مسلم]
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali-). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (HR. Muslim) .
Adapun puasa paling khusus, selain menahan hal hal sebagaimana disebut pada kategori pertama dan kedua, juga menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan semata-mata hanya memikirkan Allah SWT.
وأمَّا صومُ خُصوصِ الخصُوص: فصومُ القَلب عَن الهِمَم الدنيِّة والأفْكار الدنيوِيَّة وكفُّه عمَّا سوى الله عز وجل بالكليَّة
“Puasa sangat khusus berpuasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-duniawi serta menahan hati dari segala tujuan selain Allah dengan totalitas. Tingkat atas adalah tingkat tertinggi, sehingga paling berat dan paling sulit dicapai. Puasanya hati dan pikiran, memahami hakekat dari puasa yang sangat istimewa”
Puasanya semacam ini tiada yang diharapkan dalam ibadah kecuali Zat Allah SWT. Tiada pengharapan pahala ataupun Surga. Puasanya adalah wujud kepatuhannya kepada Allah SWT.
Keempat, Meninggalkan hal-hal yang sia-sia
Orang yang melakukan puasa, adakalanya merasa suntuk dan bosan dengan aktifitas sehari-hari kemudian mengisi siang harinya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Tak jarang, dengan alasan agar lupa rasa lapar dan haus selama puasa mereka. Seharian menghabiskan waktu dengan banyak berselancar di dunia maya, menghabiskan waktu di depan televisi, memperbanyak main game, dan sebagainya.
Hal-hal seperti ini hendaknya ditinggalkan agar puasa kita benar-benar berkualitas.
من حُسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه
”Sesungguhnya di antara kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat.” (HR Tirmidzi)
Kelima, Memperbanyak amal shalih selama Ramadhan
Banyak orang terkecoh dengan memperbanyak tidur saat puasa karena menilai itu sebagai ibadah. Bahwa tidur itu lebih baik dibandingkan jika melakukan hal-hal yang makruh atau haram, memang ya.
Akan tetapi, tentu lebih baik lagi jika pada saat puasa kita memperbanyak amal shaleh, mengisinya dengan aktifitas- aktifitas positif yang bernilai ibadah di sisi Allah SWT seperti memperbanyak tilawah Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah, shalat sunnah, tafakur, mengkaji ilmu-ilmu agama, memperbanyak infaq, dan lain sebagainya.
Rasulullah dan para sahabatnya sangat mengerti keutamaan Ramadan dan bagaimana memperbaiki kualitas puasa mereka. Karenanya dalam setiap Ramadhan mereka melakukan riyadhoh dengan semakin memperbanyak amal shaleh. Ibnu Abbas menuturkan bagaimana peningkatan amal soleh Rasulullah SAW, khususnya tilawah dan infaq sebagai berikut:
كان النبي صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل فيدارسه القرآن وكان جبريل عليه السلام يلقاه كل ليلة في رمضان حتى ينسلخ يعرض عليه النبي ﷺ القرآن فإذا لقيه جبريل عليه السلام كان أجود بالخير من الريح المرسلة
“Adalah Nabi orang yang paling dermawan dalam kebaikan dan sifat dermawannya semakin bertambah pada bulan Ramadhan tatkala malaikat Jibril menemui Beliau untuk mengajarkan Al-Qur’an. Jibril ‘alaihissalam biasa mendatangi beliau setiap malam bulan Romadhon hingga berakhirnya bulan tersebut. Pada setiap malam itu Nabi senantiasa memperdengarkan bacaan Alqurannya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihissalam menjumpai beliau maka beliau sangat dermawan pada kebaikan melebihi angin yang berembus.” (HR. Al-Bukhari- Muslim).
Demikianlah cara mewujudkan puasa yang berkualitas. Semoga kita termasuk orang-orang yang dibimbing dan dimudahkan Allah SWT sehingga bisa berpuasa dengan kualitas seperti itu dan akhirnya mencapai derajat taqwa.
Semoga kita mendapatkan ampunan Allah Subhanahu wa ta’ala, meraih ridho-Nya dan dimasukkan ke dalam surga dan dijauhkan dari siksa- Nya. Amiin. Wallaahu a’lam bish shawab.
*) Ust. Sholih Hasyim S.Sos.I, penulis Anggota Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah