AdvertisementAdvertisement

Bersahabatlah dengan Muslim yang Shalih

Content Partner

MANUSIA bergaul dan berteman dilatari aneka motif serta tujuan. Misalnya, ada yang mengejar keuntungan materi, mengharap jabatan dan kedudukan, atau karena kesamaan hobi dan karakter. Ada motif-motif yang benar dan diridhai Allah, ada pula yang menyimpang dan jelas-jelas tergolong maksiat. Tentu saja, sebagai muslim, kita dianjurkan berteman dengan sesama muslim, terlebih-lebih lagi yang shalih dan bertakwa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajari kita bagaimana memilih teman. Beliau bersabda,

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ رضي الله عنه : عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ (رواه أبو داود والترمذى) – قال الشيخ الألباني : حسن

“Janganlah engkau berteman kecuali dengan seorang mukmin, dan jangan memakan makananmu kecuali seorang yang bertakwa.” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, dari Abu Sa’id al-Khudry. Hadits hasan).

Tampaknya sederhana dan tidak perlu dirisaukan. Bahkan, sebagian orang di zaman ini tidak terlalu peduli akan berteman dengan siapa. Mereka tidak mengerti bahwa sebenarnya pertemanan dan persahabatan tidak pernah dianggap sepele dalam Islam.

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ : كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : أَيُّ عُرَى الإِسْلاَمِ أَوْسَطُ قَالُوْا الصَّلاَةُ قَالَ حَسَنَةٌ وَمَا هِيَ بِهَا قَالُوْا الزَّكَاةُ قَالَ حَسَنَةٌ وَمَا هِيَ بِهَا قَالُوْا صِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ حَسَنٌ وَمَا هُوَ بِهِ قَالُوْا الْحَجُّ قَالَ حَسَنٌ وَمَا هُوَ بِهِ قَالُوْا الْجِهَادُ قَالَ حَسَنٌ وَمَا هُوَ بِهِ قَالَ إِنَّ أَوْسَطَ عُرَى الإِيْمَانِ أَنْ تُحِبَّ فِي اللهِ وَتُبْغِضَ فِي اللهِ (رواه أحمد) – وفى رواية : أَيُّ عُرَى الإِسْلاَمِ أَوْثَقُ – تعليق شعيب الأرنؤوط : حديث حسن بشواهده وهذا إسناد ضعيف لضعف ليث

Bara’ bin ‘Azib bercerita: kami pernah duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau kemudian bertanya, “Tahukah kalian apakah ikatan iman yang paling baik itu?” Para Sahabat menjawab, “Shalat.” Beliau menanggapi, “Bagus, tetapi bukan itu.” Mereka berkata lagi, “Zakat.” Beliau menanggapi, “Bagus, tetapi bukan itu.” Mereka berkata lagi, “Puasa Ramadhan.” Beliau menanggapi, “Bagus, tetapi bukan itu.” Mereka berkata, “Haji.” Beliau menanggapi, “Bagus, tetapi bukan itu.” Mereka berkata, “Jihad.” Beliau menanggapi, “Bagus, tetapi bukan itu.” Beliau kemudian bersabda, “Ikatan iman yang paling baik adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.’” (Riwayat Ahmad. Hadits hasan dengan jalur-jalur penguatnya). – Dalam riwayat lain dikatakan: “ikatan iman yang paling kuat.”

Dengan kata lain, simpul paling kokoh yang akan mengikat iman kita agar tidak mudah berantakan adalah persahabatan yang dilandasi nilai-nilai tauhid. Tidak sedikit muslim yang murtad setelah bersahabat dengan penganut agama lain, dan sudah dimaklumi betapa banyak remaja yang rusak karena salah pergaulan.

Dalam hadits tersebut, seolah-olah Rasulullah hendak berpesan bahwa iman hanya akan aman dan kokoh tertambat di dalam hati jika dijaga di tengah-tengah komunitas kaum beriman pula. Maka, seorang muslim yang tidak memperhatikan dengan siapa dia berteman, pada dasarnya telah meletakkan imannya di bawah intaian fitnah dan godaan setan yang tak terduga besarnya.

Sebagian orang menuduh kaum muslimin suka menutup diri, intoleran, dan memusuhi penganut agama lain. Mereka menunjuk ayat-ayat dan hadits-hadits tertentu sebagai bukti, termasuk yang dinukil di atas.

Sebagian orang juga beralasan bahwa persahabatan dengan penganut agama lain atau orang yang banyak bermaksiat itu dimaksudkan untuk berdakwah, atau menunjukkan betapa tolerannya kaum muslimin.

Hanya saja, jelas ada perbedaan besar diantara bergaul dengan tujuan bersahabat dan bergaul yang dimaksudkan untuk berdakwah. Yang pertama mengharuskan permakluman dan pembiaran, sedang yang kedua dimaksudkan untuk membimbing dan mengubah keyakinan.

Bersahabat bisa dilakukan tanpa ilmu, rencana maupun misi; namun berdakwah jelas membutuhkan strategi, bekal dan keteguhan. Bertanyalah kepada diri sendiri, apakah ada cukup strategi, bekal dan keteguhan dalam persahabatan yang diklaim demi dakwah itu? Jangan-jangan ini hanya lamunan kosong yang disuntikkan setan untuk menggelincirkan kita. Na’udzu billah.

Memiliki sahabat muslim yang shalih adalah karunia amat berharga. Kita sangat dianjurkan untuk merawat dan menjaganya.

قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه : إِذَا رَزَقَكُمُ اللهُ عز وجل مَوَدَّةَ امْرِىءٍ مُسْلِمٍ فَتَشَبَّثُوْا بِهَا (رواه ابن أبى الدنيا فى الإخوان)
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه : عَلَيْكَ بِإِخْوَانِ الصِّدْقِ فَعِشْ فِي أَكْنَافِهِمْ فَإِنَّهُمْ زَيْنٌ فِي الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ فِي الْبَلاَءِ (رواه ابن أبى الدنيا فى الإخوان)

Umar bin Khattab berkata, “Jika Allah memberimu rezeki berupa kasih sayang dari seorang muslim, maka pertahankanlah.” Sungguh, pertemanan dengan mereka akan selalu bermanfaat kapan pun dan di mana pun, sebagaimana yang beliau katakan juga, “Hendaklah engkau mempunyai teman yang jujur lagi setia, lalu hiduplah di sisi mereka. Sebab, mereka adalah perhiasan di masa lapang dan bekal di masa sempit.” (Keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunia dalam al-Ikhwan).

Keuntungan Bersahabat Shalih

Bila teman adalah perhiasan, maka sungguh aneh jika ada seorang muslim yang berhias dengan memperbanyak orang-orang fasik di sekitar dirinya. Apa yang bisa dibanggakan dari mereka sehingga ia merasa terhiasi oleh kehadirannya? Bukankah Allah justru hendak menghinakan mereka (QS. al-Hasyr: 5)? Bahkan, tidak kurang dari enam kali Allah memvonis dalam Al-Qur’an, bahwa Dia tidak akan memberi petunjuk dan pasti menyesatkan mereka (lihat: QS. al-Baqarah: 26; al-Ma’idah: 108; at-Taubah: 24, 80; ash-Shaff: 5; al-Munafiqun: 6). Allah juga tidak ridha kepada mereka (QS. at-Taubah: 96), dan Nabi Musa pun memohon agar dipisahkan dari mereka (QS. al-Ma’idah: 25). Jika teman-teman di sekitar kita dihalangi oleh Allah dari keridhaan serta hidayah-Nya, dapatkah kita memelihara iman dan mengembangkannya?

Teman yang shalih juga akan menjadi bekal di saat-saat sempit. Bagaimana pun, kehidupan tidak selalu menghadapkan wajahnya yang cerah berseri-seri kepada kita. Terkadang, ia menyeringai dan bahkan mengaum dengan garang. Kehadiran teman yang baik akan meneguhkan hati, bahkan menjadi penopang agar kita tidak jatuh tersungkur.

Sungguh, berteman dengan orang shalih dan bertakwa itu sangat menguntungkan. Tidak ada ruginya di dunia apalagi di akhirat. Bagaimana bisa?

قَالَ رَجُلٌ لِدَاوُدَ الطَّائِي : أَوْصِنِي قَالَ : اِصْحَبْ أَهْلَ التَّقْوَى فَإِنَّهُمْ أَيْسَرُ أَهْلِ الدُّنْيَا عَلَيْكَ مَؤُوْنَةً وَأَكْثَرُهُمْ لَكَ مَعُوْنَةً (رواه ابن أبى الدنيا فى الإخوان)

Diceritakan bahwa ada seseorang yang minta nasihat kepada Dawud ath-Tha’iy (w. 160 H), maka beliau berkata, “Bertemanlah dengan ahli taqwa, sebab mereka adalah penduduk bumi yang paling murah tanggungan ongkosnya bagimu, dan paling besar pertolongannya kepadamu.” (Riwayat Ibnu Abi Dunia).

Benar kata beliau. Jika teman kita itu bertakwa, ia lebih sibuk mengusahakan kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya, termasuk kita; semata-mata mengharap pahala dari Allah.

Sebaliknya, ia sangat enggan membebani orang lain. Tentu saja akan lain masalahnya jika kita bersahabat dengan teman yang jahat. Ia pasti tidak henti-hentinya merongrong kita dan memanfaatkan apa saja demi kepentingannya sendiri.

قَالَ عُبَيْدُ اللهِ بْنُ الْحَسَنِ لِرَجُلٍ : يَا فُلاَنٌ اِسْتَكْثِرْ مِنَ الصَّدِيْقِ فَإِنَّ أَيْسَرَ مَا تُصِيْبُ أَنْ يَبْلُغَهُ مَوْتُكَ فَيَدْعُو لَكَ (رواه ابن أبى الدنيا فى الإخوان)

Ubaidillah bin Hasan (w. 168 H) berkata kepada seseorang, “Hai fulan, perbanyaklah temanmu! Karena, hal paling minimal yang engkau dapatkan darinya ketika sampai berita tentang kematianmu adalah dia akan mendoakanmu.” (Riwayat Ibnu Abi Dunia).

Begitulah teman yang baik dan bertakwa. Bahkan sampai kita meninggal, kebaikannya tidak terputus pula.

Akan tetapi, yang lebih krusial sebenarnya adalah: bagaimana status kita sendiri? Apakah kita termasuk orang yang layak dijadikan sebagai teman yang shalih, atau menjadi teman dari orang shalih?

Inilah PR yang harus digarap dengan serius. Sebab, setiap orang akan cenderung bergaul dengan sesamanya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud:

اِعْتَبِرُوا النَّاسَ بِأَخْدَانِهِمْ فَإِنَّ الرَّجُلَ يُخَادِنُ مَنْ يُعْجِبُهُ نَحْوَهُ (رواه ابن أبى الدنيا فى الإخوان)

“Nilailah orang-orang dengan (melihat) siapa teman-teman akrabnya, karena seseorang itu akan berkawan akrab dengan orang lain yang dia kagumi, yang serupa dengan dirinya” (Riwayat Ibnu Abi Dunia). Wallahu a’lam.

*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Integral (YPI) Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu, Malang, Jawa Timur

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img