
HARI itu sore yang biasa saja, matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga yang lembut. Aku baru saja selesai menyiapkan takjil sederhana—kolak pisang dan segelas air putih dingin—untuk menyambut waktu berbuka.
Namun, sebelum azan berkumandang, aku iseng membuka ponsel dan melihat status WhatsApp seorang kawan. Tulisannya singkat, tapi entah kenapa langsung menghujam ke dalam hati:
“14 jam kita menahan lapar ketika berpuasa, namun hanya dalam 5 menit seketika kenyang saat berbuka, inilah gambaran nyata bahwa memang betapa singkatnya kenikmatan dunia.”
Aku terdiam. Kalimat itu seperti tamparan lembut yang membangunkan dari tidur panjang. Aku membacanya lagi, dan lagi, hingga akhirnya azan Magrib berkumandang.
Aku mencecap hidangan berbuka yang tersaji dan menikmati seteguk air, tapi pikiranku masih terpaku pada kalimat tersebut. Benar sekali.
Hanya dalam hitungan menit, rasa lapar yang tadi menggerogoti perut lenyap begitu saja. Perutku kenyang, tapi hatiku justru terasa kosong—kosong karena menyadari betapa fana dan singkatnya semua yang selama ini aku kejar.
Aku termenung di sudut ruangan, memandangi piring yang kini hanya berisi sisa-sisa takjil. Pikiranku melayang jauh. Bukankah hidup ini juga seperti itu?
Kita berjuang mati-matian mengejar dunia—harta, jabatan, popularitas—tapi ketika akhirnya kita mendapatkannya, kenikmatannya tak pernah bertahan lama.
Seperti rasa kenyang setelah berbuka, semua itu hanya sesaat. Lalu, untuk apa kita menghabiskan sepanjang hidup hanya untuk mengejar sesuatu yang pada akhirnya akan lenyap?
Aku teringat firman Allah dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hadid ayat 20:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berlomba-lomba dalam harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menjadi kuning lalu menjadi hancur…”
Ayat ini seperti cermin yang memantulkan kenyataan hidupku. Dunia memang indah, tapi keindahannya hanya sementara. Seperti tanaman yang hijau dan subur setelah hujan, lalu perlahan menguning dan hancur, begitu pula kenikmatan dunia.
Aku merenung lebih dalam. Jika dunia ini hanya sementara, lalu apa yang harus aku kejar? Apa yang benar-benar abadi?
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ [وَعُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ]
“Jadilah di dunia ini seperti seorang musafir atau orang yang sedang melintas (dan anggap dirimu sebagai bagian dari penghuni kubur)”
Hadis ini menggetarkan hatiku. Aku bukan pemilik dunia ini, aku hanya musafir yang singgah sebentar. Seorang musafir tidak akan membawa seluruh harta bendanya dalam perjalanan, ia hanya membawa bekal yang cukup untuk sampai ke tujuan.
Lalu, bekal apa yang sudah aku siapkan untuk akhiratku? Aku tersadar, selama ini aku terlalu sibuk mengumpulkan “harta” dunia, tapi lupa bahwa perjalanan panjang menuju akhirat membutuhkan bekal yang jauh lebih penting: iman, amal shalih, dan ketakwaan kepada Allah.
Malam itu, aku duduk di atas sajadah, menumpahkan segala rasa dalam doa. Aku merasa kecil, rapuh, dan penuh kekurangan. Aku menangis, bukan karena sedih, tapi karena kesadaran yang tiba-tiba menyelinap ke dalam hati.
Aku menyadari bahwa waktu yang Allah berikan di dunia ini terlalu singkat untuk disia-siakan. Aku harus mulai menata hati, memperbaiki diri, dan menyiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal di akhirat.
Aku juga teringat firman Allah dalam Surah Az-Zalzalah ayat 7-8:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ. وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
Ayat ini mengingatkanku bahwa tidak ada yang sia-sia di hadapan Allah. Setiap kebaikan, sekecil apa pun, akan mendapatkan balasan. Dan setiap keburukan, sekecil apa pun, juga akan dimintai pertanggungjawaban. Aku harus lebih berhati-hati dalam setiap langkah, setiap kata, dan setiap niat.
Status WhatsApp temanku malam itu benar-benar menjadi titik balik. Aku mulai lebih sering merenung, lebih sering membaca Al-Qur’an, dan berusaha memperbanyak amal shalih.
Aku belajar untuk tidak terlalu terikat pada dunia, karena aku tahu kenikmatannya hanya sesaat, seperti rasa kenyang setelah berbuka. Aku ingin fokus menyiapkan bekal untuk akhirat, tempat yang abadi, tempat yang menjadi tujuan akhir kita semua.
Malam ini, saat aku menulis cerita ini, aku berharap siapa pun yang membaca bisa ikut merenung seperti aku. Mari kita sama-sama menyiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal. Karena dunia ini hanyalah persinggahan, dan perjalanan kita masih sangat panjang.
*) Hasman Dwipangga, penulis mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA) Jakarta dan anggota Pengurus Daerah Pemuda Hidayatullah Jakarta Selatan