PERNAHKAH Anda mendengar atau membaca ulasan yang mendorong agar bekerja secara profesional? Apa yang biasanya dikatakan di dalam uraian-uraian tersebut? Ya, benar. Iming-iming berupa promosi, bonus, penghargaan, kenaikan gaji, atau yang semacamnya.
Terkadang, disisipkan pula kepuasan spiritual, sebagaimana didengungkan oleh Abraham Maslow dalam teori mutakhirnya tentang hierarki kebutuhan manusia.
Hanya saja, adakah pendorong profesionalisme yang tidak semata-mata materialistis dan dangkal, tetapi transendental dan bahkan bermanfaat hingga ke akhirat?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profesionalisme adalah nomina yang dihubungkan dengan suatu standar, mutu, dan perilaku tertentu selaras dengan profesi yang dijalani. Artinya, seseorang baru bisa disebut profesional jika ia melakukan sesuatu yang memiliki mutu, standar, dan disiplin perilaku khusus.
Seseorang yang profesional tidak akan bekerja asal-asalan. Hasil kerjanya terukur serta berkualitas, dan tindak-tanduknya pun mencerminkan profesinya secara langsung.
Maka, dosen/guru profesional akan mengajar dengan kualitas tertentu, dan dari tindak tanduknya pun kita bisa mengenali siapa dia sebenarnya.
Seorang PNS yang profesional akan melaksanakan tugasnya dengan mutu yang terstandar, dan dari perilakunya pun kita sudah dapat menerka siapa dia sebenarnya. Hal yang sama berlaku untuk petani, sopir, pramugari, montir, polisi, tentara, pedagang, hakim, jaksa, tenaga medis, dan seluruh profesi yang ada di dunia.
Jika ada orang mengaku berlatar belakang profesi tertentu namun pekerjaannya di bidang tersebut ternyata asal jadi, tidak mencapai standar, bahkan cenderung buruk, kita segera mengerti bahwa dia bukan seorang profesional. Dan, dengan cepat orang-orang seperti ini akan tersingkir dari pentas.
Oleh karenanya, ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Ketahuilah, manusia adalah anak dari apa saja yang bisa mereka kerjakan dengan baik (maa yuhsinuuna), dan nilai setiap orang itu terletak pada apa yang bisa dilakukannya dengan baik. Bicaralah dalam suatu ilmu, niscaya tampak nyata (seperti apa) kadar kalian.” (Riwayat Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami’ no. 453).
Ketika seseorang tidak bisa mengerjakan sesuatu dengan tuntas dan sempurna, maka orang ini tidak akan ada harga dan nilainya. Ketika seseorang berbicara dalam suatu bidang ilmu yang tidak dikuasainya, pasti segera tersingkap kedunguannya.
Hanya saja, konsep profesionalisme yang umum dipahami selalu dikaitkan dengan besaran imbalan tertentu. Sebab, profesional adalah kebalikan dari amatir, yaitu kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh nafkah. Maka, seseorang baru dikatakan profesional yang lengkap jika dia ahli di bidang tertentu sekaligus dibayar untuk melakukan pekerjaannya, apapun jenis dan statusnya.
Dari sudut pandang Islam, konsep profesionalisme memiliki arah berbeda. Rasulullah menyebutnya dengan ihkam atau itqan, sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib menamainya ihsan. Secara sederhana, istilah-istilah tersebut dapat diterjemahkan sebagai memantapkan, menyempurnakan, dan melakukan yang terbaik. Uniknya, bekerja seperti itu merupakan salah satu ciri orang-orang yang dicintai Allah.
Jadi, bekerja secara profesional – menurut konsep Islam – adalah sesuatu yang bersifat transendental dan abadi. Ia tidak hanya dijadikan sarana meraup imbalan duniawi, namun sekaligus tumpuan meraih balasan dari Allah. Maka sebagai muslim, mestinya kita mengerjakan sesuatu dalam proses yang mantap, sempurna, dan terbaik, agar hasilnya demikian pula; bi-idznillah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah suka jika salah seorang diantara kalian mengerjakan sesuatu ia mengerjakannya dengan tuntas.” – dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Allah suka jika seorang hamba mengerjakan suatu amalan ia mengerjakannya dengan sempurna.” (Riwayat Abu Ya’la al-Maushili, Thabrani, Baihaqi, Ibnu Najjar, dan Ibnu Abi Dawud; dari ‘Aisyah. Hadits hasan).
Sebagaimana dimaklumi, orang-orang yang dicintai Allah memiliki ciri dan karakteristik tertentu, yang dengan itu mereka bisa dikenali dan kemudian diteladani. Di dalam Al-Qur’an dan hadits, telah banyak disitir siapa saja mereka. Hadits ini hanya menunjukkan salah satunya, yang sekaligus mempertegas jangkauan konsep Islam yang dapat dimanifestikan ke segenap aspek kehidupan. Inilah makna Islam sebagai sebuah peradaban. Jadi, tidak benar bahwa Islam hanya membicarakan masalah ibadah, tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan sosial.
Singkatnya, jika Anda menemukan seorang muslim yang mampu mengerjakan sesuatu dengan tuntas dan sempurna, ketahuilah bahwa Allah mencintainya. Sebab, bagi seorang muslim, bekerja bukan hanya masalah nafkah dan materi, tetapi merupakan dorongan iman sehingga akibatnya pun pasti bertalian erat dengan iman. Mereka inilah orang-orang yang telah tercerahkan, insan peradaban yang telah diisi ruhnya oleh Islam. Kebalikan dari insan peradaban – tentu saja – adalah manusia yang tidak beradab. Bagaimana cirinya?
Menurut Ust. H. Abdurrahman Muhammad (Pemimpin Umum Hidayatullah), “Ciri kerja badawa/badui (orang yang belum berperadaban) adalah: dia memang mengerjakan apa yang diperintahkan, tetapi tidak menyelesaikan persoalan dan tidak tuntas, bahkan justru mewariskan dan menimbulkan masalah baru.”
Apakah Anda pernah melihat orang-orang seperti ini? Misalnya, montir yang justru merusak mesin yang hendak diperbaikinya; guru yang malah membuat muridnya semakin bodoh; ulama’ yang menyesatkan umat; cendekiawan yang membingungkan masyarakat; pengatur lalu lintas yang memacetkan jalanan; dokter yang memperparah penyakit pasien; dan masih banyak lagi.
Maka, berdasarkan atsar di atas, mereka bukanlah orang-orang yang dicintai Allah. Mereka menyumbangkan lebih banyak masalah ketimbang solusi. Alhasil, kehadirannya pun tidak disukai manusia di muka bumi, apalagi Tuhan semesta alam! Wallahu a’lam.
Ust. M. Alimin Mukhtar, pengasuh Ar Rohmah Hidayatullah Malang