ADA nama yang selalu mengendap di ingatan saya, tak peduli berapa lama waktu berlalu. Nama itu adalah Bu Sariana. Bukan karena kekayaannya, bukan pula karena jabatan atau pengaruh besar yang ia miliki.
Sebaliknya, Bu Sariana adalah simbol kesederhanaan yang begitu kuat hingga sulit dilupakan. Ia adalah seorang ibu rumah tangga miskin, seorang pemulung yang tinggal di balik hiruk pikuk dekat Bandara Sepinggan, Balikpapan.
Rumah Bu Sariana—jika itu bisa disebut rumah—terbuat dari kardus dan barang-barang bekas yang ia kumpulkan. Berada tepat di belakang landasan pacu, tempat itu penuh bising suara pesawat yang lepas landas dan mendarat setiap harinya.
Namun, di tengah keterbatasan tersebut, ada satu hal yang membuatnya berbeda, yaitu kecintaannya pada Al-Qur’an. Ia adalah peserta paling rajin dalam kajian Al-Qur’an pekanan yang kami adakan.
“Kalau sudah jadwal ngaji, saya libur memulung,” ujarnya suatu ketika. Ucapan itu diiringi senyum sederhana yang membuat saya kagum. Bayangkan, seorang pemulung yang penghasilannya bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, rela meliburkan diri demi belajar mengaji. Tentu saja, ini adalah pemandangan yang jarang sekali saya temui.
Semangat yang Menginspirasi
Bu Sariana berasal dari suku Buton. Kulitnya hitam legam, bercahaya karena sinar matahari yang menyentuhnya setiap hari. Pekerjaan memulung yang ia jalani memaksa dirinya berteman dengan kotoran dan panas terik. Namun, ada hal yang selalu ia bawa kemanapun: dua setel pakaian.
Setelan pertama adalah pakaian kerjanya—lusuh dan penuh noda. Setelan kedua adalah pakaian bersih lengkap dengan mukena. Saban waktu ketika azan berkumandang, ia menghentikan pekerjaannya, mencari masjid terdekat, mandi di kamar mandi masjid, dan mengganti pakaian sebelum bergabung dalam salat berjamaah. Sikapnya ini adalah bentuk penghormatan yang luar biasa terhadap Allah dan dirinya sendiri.
Ketekunan Bu Sariana juga tercermin dari kegigihannya mengikuti kajian meski lokasi sering berpindah-pindah. Dari Kelurahan Teritip, Aji Raden, Manggar hingga Sepinggan, perjalanan yang bisa mencapai 30 kilometer itu tak pernah menjadi halangan baginya.
Jika ibu-ibu lain datang menggunakan sepeda motor, Bu Sariana hanya mengandalkan angkutan kota. “Saya nggak punya motor. Naik angkot saja murah dan pas jalurnya,” katanya sambil tersenyum.
Setiap kajian, tuan rumah biasanya menyediakan minuman dan camilan sederhana. Namun, ketika tiba giliran Bu Sariana menjadi tuan rumah, para jamaah sepakat untuk tidak membebaninya.
Kami bergantian membawa makanan dan minuman agar ia tidak perlu memikirkan biaya. Meski begitu, ia tetap berusaha menyuguhkan sesuatu, sekecil apapun itu. “Ya, kalau nggak ngasih apa-apa kan malu,” ujarnya.
Ada satu cerita yang sangat membekas di hati saya. Suatu hari, saat memulung, ia menemukan makanan sisa yang masih terlihat bersih. Tanpa ragu, ia mengambil dan memakannya karena lapar. “Kalau saya lapar, dan ada sisa makanan dibuang, saya lihat masih layak dimakan, ya saya makan,” ucapnya polos.
Kalimat itu menembus batin saya, menyadarkan bahwa di balik kehidupan yang keras, Bu Sariana tetap menerima takdirnya dengan hati lapang.
Keistimewaan lain yang saya lihat adalah sikap ibu-ibu jamaah yang begitu menjaga perasaan Bu Sariana. Mereka tidak hanya menjadi rekan kajian, tetapi juga sahabat yang penuh empati. Solidaritas mereka menjadikan komunitas ini bertahan bertahun-tahun.
Setiap pertemuan selalu diisi dengan kebahagiaan sederhana, tidak peduli perbedaan latar belakang sosial yang mencolok di antara kami.
Namun, waktu tak dapat dihentikan. Pada tahun 2007, saya dengan memboyong keluarga harus meninggalkan Balikpapan dan pindah tugas ke Medan.
Hingga saat ini, saya tak tahu bagaimana kabar Bu Sariana. Yang jelas, ia pasti sudah jauh lebih tua, mungkin dengan kerutan-kerutan baru yang menghiasi wajahnya. Tetapi nama dan semangatnya tak pernah hilang dari ingatan saya.
Kehidupan yang Ikhlas
Saat ini, setiap kali saya merenungkan perjalanan hidup, Bu Sariana sering muncul dalam benak saya. Ia adalah contoh nyata bagaimana kekayaan sejati bukan terletak pada harta, melainkan pada hati yang lapang. Ia mengajarkan bahwa kesederhanaan hidup dapat menjadi pijakan untuk mendekat kepada Tuhan.
Demikianlah Al-Qur’an itu, jikalau sudah menyentuh kalbu manusia, maka ia bisa menggugah dan membangkitkan jiwa untuk menjadi merdeka, tenang, tenteram, dan bahagia.
Al-Qur’an telah membentuk Bu Sariana menjadi pribadi yang tangguh. Ia tidak terkungkung oleh dunia, pangkat, jabatan, atau status sosial. Dunia baginya hanyalah sementara, dan ia telah membuktikan bahwa iman bisa menjadikan segalanya terlihat kecil.
Hingga kini, saya selalu bertanya-tanya, apa kabar Bu Sariana, sang pemulung yang rajin mengaji itu? Semoga ia tetap dilindungi oleh Allah Ta’ala, diberikan kebahagiaan meski dalam keterbatasan. Semoga kisah nyata ini dapat menginspirasi banyak orang untuk tetap berpegang pada nilai-nilai kehidupan yang hakiki.[]
*) Ust. Drs. Khoirul Anam, penulis adalah guru ngaji di Rumah Qur’an Yahfin Siregar Tamora dan pengasuh di Hidayatullah Al-Qur’an Learning Centre Medan