DISRUPTIVE Innovation telah merambah diberbagai aspek kehidupan. Sebuah inovasi berhasil mentransformasi suatu sistem atau pasar yang eksisting, dengan memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, dan biaya yang ekonomis, dikenal sebagai Inovasi Disruptif (Disruptive Innovation).
Pada awalnya, istilah ini dilontarkan pertama kalinya oleh Clayton M. Christensen dan Joseph Bower di tahun 1995 lalu. “Disruptive Technologies: Catching the Wave”, Harvard Business Review (1995). Saat ini dikenal juga dengan sebutan disruption. Meski bukan “barang” baru, kehadirannya telah mengubah cara bisnis, bahkan kemudian mendeterminasi perilaku umat manusia.
Dengan revolusi teknologi yang sangat dahsyat dan teknologi informasi sebagai katalisatornya sekaligus faktor utamanya, semakin memacu laju disruption ini. Banyak aktifitas menjadi tersubstitusi. Sesuatu yang tidak dibayangkan beberapa tahun lalu, kini nyata terjadi. Menyeret siapapun : mau tidak mau, suka tidak suka, untuk mengikutinya.
Jika tidak mau atau menghindar, dapat dipastikan kemudian akan terlempar bahkan tertindas oleh arus disruption yang tidak terbendung ini. Berkurangnya cabang bank, di Eropa dan juga di Indonesia, yang menyebabkan terlemparnya bankers, menjadi contoh riil dari disruption ini. Bahkan, diramalkan akan banyak pekerjaan yang dilang akibat disruption ini, beberapa tahun ke depan.
Fenomena Disruptiion menurut Mulyawan D Hadad, juga terjadi di Industri Jasa Keuangan yang telah men-disrupsi landscape Industri Jasa Keuangan secara global. Mulai dari struktur industrinya, teknologi intermediasinya, hingga model pemasarannya kepada konsumen. Keseluruhan perubahan ini mendorong munculnya fenomena baru yang disebut Financial Technology (Fintech).
Financial Technology (Fintech) merupakan konsekwensi logis dari disruption ini. Fintech melahirkan berbagai moda baru yang lebih praktis, cepat dan mudah bagi konsumen (nasabah) dalam mengakses produk dan berbagai jenis layanan keuangan. Demikian juga, sebagaimana disampaikan Budi Raharjo, ternyata mempermudah bagi officer dalam melayani konsumen (nasabah). Keberadaan fintech-pun kemudian menggilas industri keuangan konvensional dan merevolusi cara kerja institusi keuangan tradisional.
Interaksi nasabah dalam kegiatan perbankan, misalnya, menjadi semakin dinamis. Seperti ditunjukkan oleh survey McKinsey & Company (2015); sejak 2011, adopsi layanan digital-banking meningkat pesat di seluruh Asia. Nasabah beralih pada komputer, smartphone dan tablet dalam interaksinya dengan perbankan – menjadikan kegiatan berkunjung ke kantor cabang dan bercakap lewat saluran telepon untuk menikmati layanan perbankan, jauh berkurang.
Sementara itu dalam majalah ICT edisi Maret 2017, PwC Indonesia Financial and Services Industry Leader menyampaikan, dalam sebuah survei-nya mencatat bahwa transaksi keuangan melalui kantor cabang terus menyusut dimana jika berdasar survei tahun 2015, sebanyak 75 persen bankir yang menjadi responden menyatakan lebih dari separuh transaksi keuangan di banknya terjadi melalui kantor cabang, di 2017 ini, transaksi tersebut tinggal 45 persen. “Terjadi pergerseran selama dua tahun terakhir”.
Disisi lain, transaksi keuangan berbasis digital meningkat tajam. Jika pada 2015 ada 27 persen transaksi keuangan melalui telepon dan internet baru seperempat dari total transaksi keuangan di bank mereka, namun transaksi tersebut kini mencapai 48 persen. Pergeseran minat nasabah terkait layanan keuangan sudah lama diprediksi oleh para bankir. Menurut PwC, sebanyak 59 persen bankir global memperkirakan nasabah akan bermigrasi dari melakukan transaksi di kantor cabang menjadi melalui saluran digital.
Mc Kinsey mengutip dari APJII, menyatakan bahwa pengguna internet Indonesia adalah 132 juta, setara dengan 52,17 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Dimana 73 persen-nya dilakukan melalui telepon seluler (ponsel) pintar, alias gadget. Laporan tahun 2016 itu, mengindikasikan bahwa, Indonesia menjadi pasar yang renyah untuk bisnis perdagangan online (e-commerce), dan tentu saja financial technology (fintech) sebagai faktor ikutannya. Di saat semua keputusan ada di ujung jari, maka pertarungan bisnis ke depan akan semakin kompetitif. Sehingga, siapapun yang tidak memanfaatkan teknologi, maka dia akan habis terlibas. Belum lagi jika dikaitkan dengan disruptive teknologi, yang kini mengalami percepatan luar biasa. Dan memasuki hampir disemua lini bisnis.
Platform Fintech
Menurut Mulyaman D Hadad, Pelaku FinTech Indonesia masih dominan berbisnis payment (43%), pinjaman (17%), dan sisanya berbentuk agregator, crowdfundingdan lain-lain. Semenjak awal tahun 2000-an, telah terjadi fenomena fintech di dunia sebagai akibat dari revolusi industri fase ke-4 (Revolusi Industri 4.0). Hal itu yang dimaknai sebagai digital revolution. Pendorong utamanya adalah teknologi. Revolusi digital itu terjadi pada semua sektor bisnis, tapi jika ia diimplementasikan di sektor finansial atau keuangan, maka disebut fintech, yang merupakan akronim dari kata financial dan technology.
Pada awalnya, istilah fintech digunakan untuk teknologi yang dipakai pada back- end customer dan/atau institusi finansial yang sudah mapan. Namun, krisis keuangan tahun 2008, menyebabkan timbulnya sebuah pasar luas bagi perusahaan kecil/rintisan (khususnya start-up) untuk menciptakan sebuah produk inovatif, yang menyediakan solusi big data bagi institusi-institusi finansial yang telah ada. Jadi, semenjak akhir dekade pertama abad 21, istilah fintech sudah berkembang melingkupi inovasi teknologi di sektor finansial, seperti inovasi di literasi finansial, personal banking, commercial banking, investasi dan sebagainya.
Sebagaimana dikutip dari Majalah Channel Desember 2016, di Indonesia, fintechmerupakan suatu hal terpopuler kedua setelah e-commerce. Malahan menurut prediksi Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, jika startup-startup fintechtersebut menjadi semakin mapan di masa depan, mereka yang akan turut merasakan keuntungan dari transaksi e-commerce yang nilainya akan mencapai US$135 miliar pada 2020.
Perusahaan fintech membuat produk-produk yang terbagi atas beberapa kategori, antara lain uang elektronik (e-money), pinjaman/ kredit (loan based crowdfunding atau lending), gadai (pledge), pembayaran (payment), reward dan donation based crowdfunding, perencanaan keuangan (financial planning), pasar modal (capital market), internet banking, dan perbandingan produk jasa keuangan.
Regulasi
Dalam banyak kasus, regulasi seringkali tertinggal dengan perkembangan teknologi. Sehingga, sebuah bisnis berbasis teknologi yang sudah berjalan, bahkan menjadi trends, baru kemudian disusul dengan lahirnya aturan. Apapun itu, sebagaimana pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Secara regulasi, sebenarnya pemerintah melalui OJK (Otoritas Jasa Keuangan) telah menerbitkan POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Langsung Berbasis Teknologi Informasi (LMPUBTI) atau Peer-to-Peer Lending.
Regulasi ini cukup memberikan aturan main yang menjamin kepastian terkait dengan fintech. Namun harus diakui, masih banyak yang belum di atur dalam regulasi ini. Aturan main crowdfunding, digital banking, dlsb masih belum ter-cover dalam regulasi ini. Termasuk diantaranya adalah ketentuan tentangf fintech syariah, sebagaimana yang terjadi di industri finansial syariah lainnya yang tidak berbasis teknologi yang sudah diatur baik melalui UU sampaidengan POJK..
Olehnya, dalam catatan Mulyaman D. Hadad, perlu dibentuk Fintech Innovation Hub oleh OJK yang berperan dalam : 1) Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga,2) Pengembangan Industri FinTech yang sesuai Kebutuhan masyarakat,3) Pengembangan Sandbox untuk model bisnis FinTech yang baru dan potensial 4) Penyediaan sarana komunikasi (antara lain website FinTech) antara regulator dan industri FinTech. Dan menurut saya juga penting untuk dibentik pokja (kelompok kerja), yang membidani lahirnya regulasi berkenaan dengan fintech syariah. Sehingga regulasi yang ada, akan mengakomodasi kepentingan bisnis dan industri dari berbagai sisi.
Sebuah Keniscayaan
Sebagaimana kita ketahui bahwa literasi keuangan syariah pada tahun 2016 hanya 8,11 persen dengan indeks inklusinya sebesar 11,6 persen. Sementara itu, tujuan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) pemerintah adalah agar 75 persen penduduk Indonesia memiliki akses terhadap produk keuangan di tahun 2019. Sehingga kehadiran fintech dan terutama fintech syariah itu, adalah untuk mendekatkan umat agar melek atas keuangan syariah. Sebab, secara tidak langsung saat ini, hampir semua transkasi keuangan, sudah bisa dilakukan dengan gadget, sehingga lebih dekat dengan umat. Dimana menurut IdEA, 55% waktu rakyat indonesia menggunaka waktunya untuk online, dengan berbagai perangkat, dan sebagian besar menggunakan smartphone.
Sehingga kehadiran fintech syariah ini, menjadi sebuah keniscayaan. Tentu saja, Fintech Syariah bukan hanya sekedar menjadikan platform Financial Technologi yang ada, kemudian diberi label syariah. Akan tetapi, fintech syariah seharusnya lebih mendasar dari itu. Yaitu secara fundamental dan substansial harus berdasar kaidah fikih dan syariah yang berlaku. Meskipun platform yang ada bisa dijadikan benchmarking bagi pengembangan fintech syariah ini. Platform bisnis industri keuangan, yang tidak/belum berbasis teknologi, dijadikan dasar dalam menerapkan fintech syariah. Sebagaimana, disebutkan di atas, bahwa secara regulasi Fintech Syariah belum ada aturan resminya dari OJK.
Setidaknya, dalam fintech syariah apapun itu bentuknya, harus memperhatikan dan memiliki kriteria khusus yang harus dipenuhi agar halal saat diaplikasikan. Untuk menentukan halal haram sebuah bisnis syariah, banyak syarat yang harus dipenuhi, antaranya tidak mengandung unsur maisyir (judi), riba, ghoror (penipuan), mudharat (efek negatif), dan al-Jahalah (tidak ada transparansi) antara penjual dan pembeli. Dengan demikian maka menghadirkan Fintech Syariah tetu saja tantangan sekaligus peluang yang menjadi sebuah keharusan, bagi yang memiliki kompetensi di dibang itu (fardhu kifayah).
Tantangan Fikih
Perkembangan teknologi, secara langsung dan tidak langsung mengubah pola muamalah umat. Sesuatu yang dulu tidak ada, kini bermunculan. Sehingga dalam satu sisi, fikih seringkali tertinggal dari laju teknologi dan muamalah. Disini, butuhkan hadirnya ulama kontemporer, yang faqih terhadap kaidah fikih dan usul, serta mengerti dinamika kontemporer. Saat ini, kualifikasi dan kapasitas ulama sebagaimana tersebut, sulit untuk ditemukan melekat dalam satu orang. Olehnya, dibutuhkan majelis (sebagaimana DSN-MUI), yang terdiri dari beberapa ulama multidisipliner, sehingga hasil fatwanya, akan komprehensif, berkenaan dengan masalah yang dibahas.
Fintech, akan menjadi kebutuhan riil dari umat manusia. Kemudahan, kecepatan dan seluruh fasilitas yang menyertainya menjadi daya tarik, untuk memenfaatkannya. Saat ini-pun, kita juga sudah jarang memegang uang fisik, saat melakukan transaksi. Dengan berbagai bentuk teknologi, maka semua bisa terjadi. Kita seringkali hanya melihat angka, baik di gadget, atm dan lain sebagainya. Semua itu, berkat adanya Fintech. Perkembangan teknologi, seolah tidak bisa kita lawan. Transaksi konvensional, lambat atau cepat akan ditinggalkan. Menuju model transaksi baru, yang kesemuanya cashless.Olehnya perlu dihadirkan sebuah fintech, yang berbasis syar’i. Dengan platform teknologi apapun juga, agar tetap sesuai dengan ketentuan syar’i.
Berkenaan dengan Fintech dan juga muamalah lainnya, ada baiknya kita merujuk pada kaidah fikih yang mashur ini : “Al-Aslu fii al muamalati al-ibahatu illa an yadula daliilu ‘ala tahriimiha” (As-Syuyuti, Al-Asybah wan an-Nazhair, 60). Artinya pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan, sampai ada dalil yang mengharamkannya. Sehingga, meskipun sekilas nampak mudah, namun sejatinya tidak sederhana. Karena dalam muamalah terdapat batasan-batasan itu, dan pasti melibatkan ulama yang kompeten di bidangnya. Tidak bisa merumuskan sendiri, jika tidak memiliki kapasitas untuk merumuskan halal-haram, syariah-tidaknya, bentuk muamalahnya yang kita dirikan. Olehnya, dari kaidah fikih ini, kemudian akan dikembangkan bagaimana implementasinya sesuai dengan kondisi realitas kekinian. Dan sudah barang tentu, tidak hanya satu kaidah ushul fiqh, namun beberapa kaidah ushul fiqh, akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi ini.
Penerapan ushul fiqh dalam metodologi ekonomi islam kontenmporer seperti ini, pastinya akan mengacu kepada beberapa beberapa metode, seperti : qiyas(analogi), istishan, sadd al-zariah, maslahah murshalah atau istishalah dan juga maqashid syariah, dan seterusnya. Dan kesemuannya ini, sesungguhnya menjadi tantangan riil bari para fuqaha (termasuk DSN-MUI), untuk menghadirkan fikh waqi’, yang kontemporer dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan umat. Sehingga semua sisi muamalah umat, termasuk dalam membangun dan memanfaatkan fintech ini, dipandu dalam bingkai penerapan syariah. Dan hal ini, Insya Allah akan mendorong pula lahirnya start-up untuk menghadirkan fintech berbasis syariah ini. Wallahu a’lam
_______
*)ASIH SUBAGYO, penulis adalah Ketua Bidang Ekonomi DPP Hidayatullah dan penulis buku “Spektrum Ekonomi dan Bisnis Kita”. Naskah ini dikutip dari blog pribadinya atas izin yang bersangkutan.