PADA Selasa, 21 Januari 2025 lalu, sebuah pesan jalur pribadi (japri) via WhatsApp dari seorang kawan tiba, isinya singkat namun sarat makna:
“Guru yang baik dan metode pembelajaran yang baik niscaya mereka akan menjadikan murid yang unggul dan berprestasi. Pemimpin negara yang baik akan menciptakan guru-guru yang baik, dan sistem pendidikan yang baik akan menciptakan generasi yang cerdas dan berakhlak.”
Pesan ini menggelitik pikiran saya, seolah menjadi pintu untuk merenungkan kembali peran vital guru dalam pendidikan Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Asmaji Muchtar, dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.
Menurut Asmaji Muchtar, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk pribadi peserta didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, sekaligus sehat, berilmu, dan cakap. Namun, bagaimana ini tercapai jika bukan melalui guru?
Sebagai perwujudan nilai-nilai Islam, pendidikan harus menjadi proses transformasi kebudayaan, nilai, dan ilmu pengetahuan. Guru berada di pusat dari transformasi ini, membimbing siswa menuju kesempurnaan (insan kamil), yaitu individu yang sadar akan dirinya dan lingkungannya.
Pelajaran dari Sejarah
Kisah yang sering dikutip tentang Kaisar Hirohito dari Jepang memberikan gambaran tentang bagaimana sebuah bangsa yang hancur dapat bangkit melalui pendidikan.
Setelah Jepang menyerah pada Perang Dunia II, Kaisar Hirohito meminta para jenderal dan menterinya untuk mencatat berapa banyak guru yang masih hidup.
Kaisar Hirohito menyatakan, “Kita kalah total dalam perang ini, karena kita lebih bodoh daripada mereka. Untuk itu, kita memerlukan guru-guru yang berpengalaman, berdedikasi, cerdas, dan fokus untuk membangun sumber daya manusia Jepang.”
Langkah sang Kaisar ini menunjukkan pemahamannya bahwa pembangunan bangsa dimulai dari pendidikan, dan guru adalah kunci utamanya. Dalam 25 tahun, Jepang berhasil menjadi salah satu negara paling maju di dunia.
Dalam perspektif Islam, peran guru jauh lebih luas daripada sekadar pengajar. Al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, sebagaimana dikutip oleh Asmaji Muchtar, menekankan bahwa kedudukan seorang guru ada tiga, yaitu; pembuka (al-fatih), pemberi kemudahan (as-saahil) dan pengantar menuju sukses (at-tahshil).
Al-fatih bermakna pembuka akal dan cakrawala berfikir anak didik dari tidak tahu menjadi tahu. As-saahil merupakan kemudahan yang diberikan seorang guru bagaimana cara yang tepat dan cepat memahami suatu masalah (ilmu) kepada siswa.
Kemudian At-tahshiil, adalah pendidik yang berhasil mengantarkan siswanya mencapai keberhasilan dalam mempelajari ilmu pengetahuan hingga terjadi perubahan cara pandang, cara berfikir, dan cara mengambil keputusan terhadap suatu persoalan.
Ketiga peran ini menunjukkan betapa strategisnya posisi guru dalam pendidikan Islam. Mereka adalah penghubung antara peserta didik dan nilai-nilai Islami, membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga matang secara spiritual.
Dengan peran strategis ini, seorang guru dalam pendidikan Islam tidak hanya menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga bertanggung jawab mengubah cara berpikir siswa, memfasilitasi aktualisasi potensi, dan membimbing mereka menuju akhlak mulia.
Namun, bagaimana memastikan guru mampu menjalankan peran ini? Pesan japri dari kawan tadi yang menyebutkan “Pemimpin negara yang baik akan menciptakan guru-guru yang baik” memberi jawaban sederhana namun sangat mengena. Kualitas guru bergantung pada sistem pendidikan yang mendukung pengembangan kompetensi mereka, baik secara profesional maupun personal.
Seorang guru yang kompeten, berdedikasi, dan mampu berkomunikasi dengan baik akan menciptakan lingkungan belajar yang positif. Lingkungan ini tidak hanya memotivasi siswa untuk belajar, tetapi juga membentuk karakter mereka. Dalam konteks ini, pembinaan dan pengembangan kompetensi pedagogik guru menjadi hal yang tidak dapat ditawar.
Negara memiliki peran besar dalam menciptakan sistem pendidikan yang menempatkan guru di pusatnya. Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tanpa memperhatikan kesejahteraan dan pengembangan profesional guru adalah ibarat membangun rumah di atas pondasi yang rapuh.
Titik Sentral Pada Guru
Guru berada pada titik sentral setiap usaha perbaikan pendidikan. Perubahan dan perbaikan dalam kurikulum, metode, dan sarana pendidikan tidak akan bermakna jika tidak melibatkan guru yang profesional dan berkualitas.
Secara keseluruhan, kualitas guru sangat berpengaruh terhadap kualitas murid, dan upaya untuk meningkatkan kualitas guru adalah langkah penting dalam mencapai pendidikan yang lebih baik.
Dalam pendidikan Islam, tujuan mulia untuk mencetak insan kamil tidak akan tercapai tanpa peran sentral guru. Sebagai agen perubahan, guru tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menjadi teladan, motivator, dan fasilitator. Sistem pendidikan yang baik harus memberikan dukungan penuh bagi guru untuk menjalankan tugas mereka.
Negara yang abai memperhatikan pengembangan kualitas dan kesejahteraan gurunya, sama saja menebar bibit ketertinggalan dalam berbagai bidang kehidupan bagi bangsanya.[]
*) Nursyamsa Hadis, penulis adalah pegiat pendidikan