JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dalam rangka menguatkan relevansi lembaga pendidikan yang berkesesuaian dengan manhaj Sistematika Wahyu, baik kurikulum, sistem, pola asuh, guru, dan pengasuhnya, serta sarana dan pra sarana penunjangnya, Dewan Pertimbangan (Wantim) Hidayatullah membentuk Tim Penyelaras Buku Tarbiyah dan Buku Sistem Pendidikan.
Inisiatif ini merupakan lanjutan dari usaha yang telah dilakukan sebelumnya oleh Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah dalam menyusun pedoman tersebut secara lengkap.
Koordinator Tim Penyelaras Buku Sistem Pendidikan Hidayatullah Dr. Nanang Noerpatria menekankan pentingnya penyelarasan ini, sebab, tarbiyah yang dilakukan hendaknya mampu menjawab tantangan zaman.
Karena itu, cakupan di dalam pedoman ini mulai dari kurikulum pendidikan dan sarana penunjangnya harus menjawab tantangan zaman. Karena itu, kehadiran tim ini dalam rangka menguatkan upaya tersebut.
“Secara periodik memang ini selalu ditinjau ulang untuk memastikan bahwa muatannya aktual, relevan, dan berkesesuian. Telaah atau peninjauan misalnya setiap 10 tahun. Bahkan, bisa lebih cepat sesuai kebutuhan zaman,” kata Nanang yang ditemui media ini disela sela Rapat Pleno DPP Hidayatullah di Jakarta, Rabu, 18 Jumadil Ula 1446 (20/11/2024).
Nanang menyebutkan, konsep buku tarbiyah dan sistem pendidikan ini dulu namanya Buku Induk Pendidikan Hidayatullah. Setelah lebih dari satu dekade penerapannya, pada tahun 2022 buku ini kembali diperkuat melalui proses brainstorming. Kini, penyelarasan dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan untuk memastikan keberlanjutan konsep ini.
“Dan untuk tiga bulan ini dibentuk tim penyelarasan untuk memastikan bahwa konsep ini selalu relevan dan berkesesuaian dengan manhaj Sistematika Wahyu, baik kurikulum, sistem, pola asuh, guru, dan pengasuhnya, serta sarana dan pra sarana penunjangnya,” katanya.
Kata Nanang, ketika berbicara sistem pendidikan maka kita bicara mengenai manajemen dan pembelajaran. Adapun sistem inti (core system) dalam proses ini adalah kurikulum.
“Kurikulum harus mampu menjawab tantangan yang ada. Maka, fokus kita dalam penguatan sistem ini adalah menyoroti degradasi moral, karakter peserta didik, dan kemampuan output dari peserta didik dalam berdaya saing,” terang Nanang.
Dalam kerangka kerja tim ini, penyelarasan buku pendidikan mencakup empat kecerdasan utama, yauitu Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adversity Quotient (AQ).
Yang menarik, Nanang menekankan pentingnya AQ, atau kecerdasan menghadapi kesulitan. Menurutnya, kurikulum pendidikan harus dirancang untuk membangun resiliensi, optimisme, dan kemampuan bertahan dalam tekanan. Hal ini, lanjutnya, akan membentuk daya saing yang kokoh pada diri peserta didik.
“Konsep ini menekankan sekali pada adversity dimana kurikulum pendidikan perlu untuk melihat lebih luas pada aspek personal dari peserta didik seperti bagaimana ia harus optimis, survive, memiliki kecakapan resiliensi, jujur, dan lainnya. Melihat juga aspek bahwa pesrta didik harus kuat menghadapi tekanan, nanti ini yang membentuk daya saing,” jelasnya.
Nanang memperkenalkan konsep prophet optimism sebagai karakter utama yang diharapkan dari hasil tarbiyah ini. Ia menjelaskan, prophet optimism ini seperti dicontohkan para Nabi yang teguh dalam menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dengan menyandarkan dirinya pada Allah.
“Prophet optimism ini karakter dasar dalam Islam dan ini yang berupaya diaktualisasikan Hidayatullah untuk melahirkan sumber daya manusia yang cemerlang, kita menyebutnya insan rabbani,” imbuh ketua Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kadepdikdasmen) DPP Hidayatullah ini.
Optimisme kenabian ini tidak hanya sekadar sikap mental, tetapi menjadi landasan bagi insan pendidikan untuk terus berusaha dan tidak pantang menyerah dalam menghadapi perubahan dan tantangan global. Karakter ini, menurut Nanang, merupakan refleksi dari knowledge dan values yang menyatu dalam diri individu.
Selain mengedepankan nilai-nilai spiritual dan moral, Hidayatullah juga merancang sistem pendidikan yang memenuhi kebutuhan abad ke-21. Dalam konsep tarbiyah ini, tatanan kurikulum mengintegrasikan empat kemampuan utama yang dikenal dengan istilah 4C, yakni critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreativitas), communication (komunikasi), dan collaboration (cakap kerjasama).
Nanang menjelaskan, penerapan 4C ini menempatkan sistem pendidikan Hidayatullah sebagai model yang tidak hanya berorientasi pada nilai-nilai spiritual, tetapi juga pada keterampilan praktis yang relevan dengan tantangan dunia modern.
“Dengan demikian, peserta didik mampu memahami prinsip-prinsip Islam dan juga memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikannya dalam konteks global sekaligus.” imbuhnya.
Lebih jauh Nanang menjelaskan langkah penyelarasan Buku Tarbiyah dan Sistem Pendidikan Hidayatullah merupakan ikhtiar sungguh sungguh menjaga relevansi dan keberlanjutan pendidikan berbasis nilai-nilai Islam.
Hal itu, lanjut dia, karena sistem pendidikan yang dibangun Hidayatullah berupaya untuk melakukan pembentukan karakter yang kuat, resiliensi, bekal daya saing tinggi, dan yang tak kalah penting berorientasi hasil akademik yang baik.
“Dengan konsep yang berkesesuaian dengan prinsip manhaj Sistematika Wahyu, kita berupaya memajukan pendidikan Islam yang selalu relevan, mampu menjadi solusi atas tantangan global, serta pembinaan untuk mencetak generasi insan rabbani yang unggul dan kompetitif,” pungkasnya. (ybh/hidayatullah.or.id)