Oleh Dr. H. Abdul Mannan
Sebelum manusia berada dalam rahim ibunya, terjadi dialog antara dia dan Sang Khaliq. Inilah pertamakali calon manusia diperkenalkan kepada Sang Penciptanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT).
Kala itu, wujud manusia masih berupa ruh atau daya spiritual. Daya inilah yang mampu menangkap makna dialog tersebut, yaitu sebuah transaksi anatara manusia dan Tuhannya bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT.
Transaksi tersebut tentu harus dijalankan ketika manusia sudah lahir dari rahim ibunya. Namun dunia, dengan segala godaannya, adalah dimana nilai-nilai ketuhanan yang telah didialogkan tadi bias menjadi bias, pudar, bahkan hilang.
Untunglah Allah SWT telah menyediakan petunjuka agar tidak tersesat, yaitu Al-Qur’an. Barang siapa yang berpegang teguh kepadanya, maka ia akan selamat hingga kembali menghadap Sang Pencipta.
Secara lughawi (etimologi), spirit berarti jiwa, ruh, semangat, keberanian, moral, suasana, atau arus. Diantara banyak arti ini kita akan membatasi bahasan ini pada satu hal saja, yaitu ruh atau ruhani.
Yang mengetahui persis tentang ruh hanya Allah SWT. Tidak seorang pun yang mengetahui rahasia ruh kecuali Dia. Di sisi lain, kesempurnaan manusia berada pada ruhnya. Lantas apa fungsi ruh pada manusia?
Paling tidak, fungsi ruh adalah sebagai jembatan antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, hakekat manusia adalah ruh. Manusia tanpa ruh adalah robot. Bahkan, manusia jika berpisah dari ruhnya berarti mati.
Semua manusia mesti lengkap memiliki jasad dan ruh, jasmani dan ruhani. Namun, apakah ruh itu lebih mendominasi ketimbang daya intelektualnya?
Jika ya, maka kekuatan mentalnya pasti terbentuk. Ia tidak akan takut kepada siapapun karena yakin Allah SWT menjadi pelindungnya. Inilah hakekat ruh yang memiliki fungsi menggerakkan.
Jika seseorang memiliki derajat kedudukan ruh yang tinggi, iscaya segala aktivitasnya tak lepas dari panduan Allah SWT. Sebab, segala apa yang ia rencanakan adalah juga rencana Allah SWT. Jika harapan manusia sudah bertemu dengan kehendak Allah SWT, maka terjadilah keasyikan seorang hamba.
Bagaimana mengeksplorasi daya spiritual manusia? Menurut manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu, sarana asah spiritual, salah satunya, terletak pada qiyamul lail (shalat malam), sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Muzammil.
Bangun untuk menunaikan shalat malam bukan perkara gampang bagi orang-orang yang tidak menganggapnya sebagai kebutuhan. Yang dimohonkan pun, selayaknya bukan sekedar keperluan pribadi, namun solusi atas permasalahan yang dihadapi umat manusia sejagat. Inilah ciri mukmin yang telah memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin (leader), bukan pengikut (Follower).
Hidayatullah memiliki visi “membangun peradaban Islam”. Pilihan atas visi ini tidak ditentukan sembarangan, namun melalui proses diskusi yang panjang serta munajat yang lamakepada Allah SWT.
Bukannya Hidayatullah tidak tahu risiko yang akan dihadapi dangan mencanangkan visi ini. Namun, arus spiritual yang sangat deras menggiring semua komponen puncak organisasi untuk mencetuskan visi peradaban ini.
Jadi, seluruh komponen organisasi Hidayatullah, mau tidak mau harus bergerak untuk mewujudkan visi ini, apakah status dan fungsinya dalam organisasi.
Bagaikan tim sepak bola, semua pemain pasti ingin melihat jebolnya gawang lawan, siapapun yang memasukkannya. Gawang lawan itulah tujuan permainan, sebagaimana halnya visi peradaban tadi. Wallahu a’alam * SAHID April 2009