JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Hidayatullah, KH. Hamim Thohari, M.Si, meluangkan waktunya menghadiri acara Majelis Reboan Hidayatullah yang digelar oleh Dewan Murabbi Wilayah (DMW) Hidayatullah Jawa Barat secara daring melalui platform Zoom, Rabu, 6 Rabi’ul Akhir 1446 H (9/10/2024).
Dalam penyampaiannya, KH. Hamim menyoroti urgensi tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) bagi para kader Hidayatullah yang relevan dalam konteks pengembangan pribadi dan pendidikan spiritual.
Ia menyampaikan bahwa ilmu adalah cahaya yang sangat penting dalam kehidupan setiap Muslim. Namun, beliau menekankan bahwa cahaya ini tidak akan masuk ke dalam jiwa yang penuh dengan dosa.
“Ilmu itu cahaya, dan cahaya itu tidak akan masuk ke dalam jiwa yang penuh dengan dosa. Ia hanya akan menembus jiwa yang terus-menerus disucikan,” tegasnya, menggarisbawahi bahwa penyucian jiwa bukan hanya sekedar tuntutan spiritual, melainkan juga kunci dalam mencapai pemahaman yang lebih mendalam terhadap ilmu pengetahuan.
Tazkiyatun nafs, jelasnya, adalah proses yang harus dilakukan secara terus-menerus oleh setiap Muslim, khususnya kader Hidayatullah. Dalam proses ini, seseorang membersihkan hatinya dari dosa-dosa dan kotoran spiritual agar cahaya ilmu dapat menerangi hati.
Lebih lanjut, KH Hamim mengingatkan para kader untuk meneladani kerendahan hati Nabi Muhammad SAW ketika menerima perintah Iqra’ (bacalah) dari Allah SWT. Ketika Nabi pertama kali diperintahkan untuk membaca, beliau dengan rendah hati menjawab, “Maa ana biqari’ (saya tidak bisa membaca).”
“Ini adalah wujud kerendahan hati, siap menerima apa yang akan Allah berikan berupa cahaya ilmu bagi jiwa,” jelas Ustadz Hamim.
Sikap kerendahan hati yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW ini, lanjutnya, adalah pelajaran penting bagi para kader Hidayatullah untuk selalu bersikap rendah hati dalam menuntut ilmu.
Sikap ini mencerminkan bahwa ilmu sejati datang bukan hanya dari usaha manusia, tetapi juga dari kesadaran bahwa segala pengetahuan adalah milik Allah. Dengan hati yang bersih dan rendah hati, seseorang akan lebih siap menerima hikmah dan petunjuk dari Allah SWT.
Pendidikan yang Mengintegrasikan Penyucian Jiwa
KH Hamim kemudian berbicara tentang pentingnya mengintegrasikan konsep penyucian jiwa dalam pendidikan. Ia menekankan bahwa pendidikan yang hanya fokus pada pengembangan kognitif semata tidak akan menghasilkan manusia yang seutuhnya.
“Jika kita bisa menghadirkan konsep pendidikan yang menyertakan jiwa sebagai materi penting, maka kebaikan-kebaikan akan mulai tercipta,” ujarnya.
Pendidikan yang melibatkan penyucian jiwa tidak hanya mempersiapkan individu untuk sukses dalam hal materi, tetapi juga untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
Dengan menggabungkan aspek spiritual dalam kurikulum pendidikan, KH Hamim yakin bahwa para kader akan menjadi pribadi yang lebih baik, baik dalam hal moral maupun spiritual.
Ia mengingatkan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam dunia pendidikan saat ini adalah terlalu fokus pada kecerdasan intelektual, sementara aspek-aspek spiritual dan emosional sering kali diabaikan.
“Ini terjadi karena kita terlalu fokus pada pengembangan aspek kognitif saja, sementara aspek spiritual dan emosional terabaikan,” tegasnya.
Dengan demikian, KH Hamim mengajak para pendidik dan kader untuk menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dan spiritual, agar hasil pendidikan dapat dirasakan secara lebih menyeluruh.
Dampak Teknologi Terhadap Nilai-Nilai Kemanusiaan
Salah satu poin penting dalam ceramah KH Hamim adalah kritiknya terhadap dampak kemajuan teknologi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Menurutnya, perkembangan teknologi yang pesat saat ini sering kali membuat manusia terjebak dalam kecerdasan buatan dan inovasi teknologi yang menjauhkan mereka dari esensi kemanusiaan itu sendiri.
“Kecerdasan intelektual dan kemajuan teknologi justru menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan,” ungkapnya.
Ia menggarisbawahi bahwa teknologi seharusnya digunakan sebagai alat untuk mempermudah kehidupan, bukan sebagai tujuan akhir.
Ketika manusia terlalu fokus pada teknologi dan melupakan pentingnya menjaga hubungan spiritual dengan Allah dan sesama manusia, maka mereka akan kehilangan arah hidup.
Hal ini, terang beliau, menjadi fenomena yang harus diwaspadai, terutama bagi para kader Hidayatullah yang diharapkan menjadi teladan dalam menjaga keseimbangan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Dai senior yang aktif menulis ini juga mengajak para kader Hidayatullah untuk terus bermuhasabah, yaitu melakukan evaluasi diri secara rutin. Muhasabah, dalam pandangan Islam, adalah langkah penting dalam upaya penyucian jiwa.
Dengan bermuhasabah, seseorang dapat melihat kembali kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dan berusaha memperbaiki diri agar menjadi individu yang lebih baik.
Ia juga kembali menekankan bahwa dengan jiwa yang bersih, hati akan menjadi lebih terang dan cahaya ilmu akan lebih mudah masuk ke dalam diri seseorang.
“Dengan jiwa yang bersih, hati akan terang, dan cahaya ilmu pun akan mudah masuk dan mengantarkan pada kebaikan,” jelasnya.
Proses penyucian jiwa ini, tambahnya, adalah langkah awal yang harus dilakukan oleh setiap kader untuk dapat meraih kesuksesan, baik di dunia maupun di akhirat.*/Hermanto Imam