KERESAHAN begitu dirasakan Abdullah Said melihat maraknya judi di sebuah sudut kota Makassar. Hampir setiap hari, siang dan malam, puluhan warga berhura-hura dan memasang taruhan. Ingar bingar judi begitu mengusik warga lainnya.
Malam itu, Rabu, 27 Agustus 1969, rasa sabar ustaz kelahiran 17 Agustus 1945 ini ternyata habis. Ia harus menghentikan aktivitas judi tersebut sebelum merusak mental banyak warga lainnya. Maka dikumpulkannya pemuda-pemuda Muhammadiyah untuk melakukan pengganyangan.
Kamis malam, kader-kader yang telah digembleng Abdullah Said di Maros dan pemuda-pemuda Muhammadiyah kota Makassar melakukan penyerbuan dan mengobrak-abrik tempat perjudian tersebut.
Peristiwa yang menghebohkan di Sulawesi Selatan itu membuat ruang tahanan Kodim 1408 Makassar penuh sesak. Banyak tokoh dan pemuda Muhammadiyah ditahan aparat. Sedangkan Abdullah Said atas saran pimpinan Muhammadiyah dan teman-teman yang ditahan untuk tidak menyerahkan diri dan meninggalkan kota Makassar.
Akhirnya, Abdullah Said pun hijrah ke Balikpapan pada Maret 1970. Dalam hati pemuda kelahiran Lamati Rilau (Panreng), Sinjai Utara ini, dirinya ingin terus menyiarkan Islam.
Langkah awal yang dilakukan adalah mencari bibit kader. Maka dilakukanlah penggalangan anak muda yang ada di kampung-kampung Balikpapan saat itu. Mereka dikumpulkan untuk dikader beberapa bulan.
Kemudian pada 1971, Abdullah Said kembali mengadakan pemusatan pelatihan Darul Arqam I, dan tahun 1972 TC Darul Arqam II. Dia pun aktif membentuk dan mengisi pengajian rutin di beberapa masjid di Balikpapan selang dua tahun di Balikpapan.
Ketika pengajian binaan Abdullah Said mulai marak, beliau pun berpikir untuk mendirikan sebuah pesantren sebagai pusat pengkaderan dai. Dalam misi ini, ia melibatkan beberapa ustaz muda jebolan pesantren terkenal seperti Gontor, Krapyak, dan Pendidikan Majelis Tarjih Muhammadiyah Jogjakarta.
Apa yang dicita-citakan Abdullah Said sebagai langkah awal untuk mendirikan pesantren ternyata kesampaian, bahkan melampaui target. Tenaga pengajar yang ādiangkutā dari Jawa itu mampu mengajar Bahasa Arab, misalnya Muhammad Hasyim. Kemudian, Kisman yang mampu mengajar Bahasa Inggris dan pelajaran tajwid dilakukan oleh Ahmad Hasan Ibrahim. Pengajar untuk dasar-dasar Islam dan pelajaran tafsir dan hadis adalah Usman Palese dan Nazir Hasan.
Awalnya pesantren yang dirintis Abdullah Said bernama Pondok Pesantren Pangeran Hidayatullah. Pengambilan nama ini cukup berani karena merupakan nama pejuang asli Kalimantan dan untuk menarik perhatian masyarakat serta membuka mata masyarakat Balikpapan bahwa akan didirikan sebuah pondok pesantren pertama.
Lokasi Ponpes Hidayatullah awalnya berada di rumah Muhammad Rasyid di Gunung Sari. Jasa pengusaha sukses ini luar biasa dalam menopang gerakan dakwah Abdullah Said dan kawan-kawan.
Pada 26 Januari 1974, lokasi pesantren pindah di sebidang tanah yang berdekatan dengan rumah seorang tua bernama Puang Pani di Karang Rejo. Kawasan ini masih sepi, di sekitarnya hanya terdapat 3 rumah. Selama 11 bulan di tempat itu para santri mendapatkan pengalaman spiritual yang tak terlupakan sepanjang masa.
Tahun 1975, seorang dermawan dan tokoh masyarakat di Karang Bugis, Andi Kadir Mappasossong, memberikan wakaf tanah seluas setengah hektare di Karang Bugis. Di atas lahan ini dibangun sebuah masjid darurat, perpustakaan, gedung serba guna untuk tidur, belajar, makan, dan terima tamu.
Setelah lokasi formal sudah ada, mulailah usaha mencari bahan bangunan berupa papan, balok, semen, dan dana segar digencarkan. Uniknya, terobosan pertama ini lebih banyak berhasil dilakukan para ibu lewat santri putrinya dibanding putra.
Namun, Karang Bugis dirasa bukan lokasi yang representatif untuk mendirikan pesantren. Sebab, kota tersebut terasa sempit dan tak punya peluang untuk perluasan wilayah. Selain itu, lingkungan sekitar tidak menolong untuk proses pendidikan yang diinginkan.
Untunglah, pada 1976, Asnawi Arbain, wali kota Balikpapan saat itu memberi wakaf tanah seluas lima hektare di Gunung Tembak. Modal inilah yang kemudian dikembangkan hingga menjadi pesantren Hidayatullah yang berdiri sampai sekarang.
Masjid sederhana pun mulai dibangun, kebun, kolam ikan, dan unit-unit keterampilan mulai dibuka. Pada Rabu pukul 15.00, 3 Maret 1976, lokasi ini mulai dimasuki santri. Peristiwa ini sering disebut peristiwa yang berkait dengan angka 3 yakni; hari ke 3 (Rabu) jam 3 (15.00), tanggal dan bulan ke-3, hijrah ke-3 dan di Km 33.
Selama lima bulan semua tenaga dikerahkan untuk menata pondok pesantren. Semak belukar dibabat, rawa dibersihkan, hingga kemudian berdiri pemukiman yang cukup artistik dilengkapi sebuah masjid darurat, perpustakaan sederhana, gedung keterampilan, asrama, dan ruang belajar.
Sementara perumahan para ustaz, termasuk rumah pimpinan pesantren, masih dalam kondisi sangat darurat. Dan, dalam kesederhanaan itulah, 5 Agustus 1976, Pesantren Hidayatullah diresmikan oleh Menteri Agama yang kala itu dijabat Prof Mukti Ali.
Kehadiran menteri agama dan tokoh-tokoh masyarakat memberi energi baru bagi Abdullah Said, seluruh pengurus, serta santri-santri. Mereka makin bersemangat dalam melangkah menuju masa depan yang lebih cerah. Ini dibuktikan dengan kian meningkatnya kegiatan pembenahan kampus.
āIni adalah upaya menuntut rida Allah dan untuk merintis jalan menuju kejayaan Islam. Kita tengah menggurat sejarah di tempat ini,ā ungkap Abdullah Said kala itu yang ditirukan Sujaib, Bendahara Pesantren Hidayatullah, beberapa hari lalu.
Ia melanjutkan, dalam masa pendidikan santri-santri memang terus digembleng. Termasuk diuji dengan hijrah sampai tiga kali, yakni dari Gunung Sari ke Karang Rejo, kemudian ke Karang Bugis dan ke Gunung Tembak.
Tahun-tahun berikutnya diisi dengan pengiriman tim dakwah ke seluruh pelosok Kalimantan Timur, sembari berupaya memperluas areal kampus.
Pengiriman santri ini bertujuan memperkenalkan diri kepada masyarakat Kalimantan Timur sekaligus mencari santri di pelosok-pelosok desa. Pengiriman santri ini selanjutnya tak cuma terbatas di Kaltim, tetapi juga di pelosok tanah air, bahkan sampai ke Wamena, Irian Jaya.
Baik santri yang dikirim ke pelosok maupun santri yang tinggal di pesantren diajarkan untuk hidup mandiri sebagaimana dilakukan para pendahulu mereka. Setiap kali mereka datang ke suatu daerah biasanya para santri ini tidak dibekali dana memadai.
Mulai 1978 mereka merintis lembaga pendidikan mulai dari sekolah dasar atau Madrasah Ibtidaiyah sampai sekolah tinggi. Tiga yang terbesar adalah Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Hidayatullah (STIM-HIDA) di Depok, Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Al-Hakim (STAIL) di Surabaya, dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah (STIS Hidayatullah) di Balikpapan sebagai lembaga pendidikan untuk pengkaderan dai.Ā Setiap tahunnya, Hidayatullah sukses meluluskan sedikitnya 320 mahasiswa sarjana kader dai
Hidayatullah juga berkembang dengan berbagai amal usaha di bidang sosial, dakwah, dan ekonomi serta menyebar ke berbagai daerah di seluruh provinsi di Indonesia. Seiring dengan tumbuhnya organisasi ini, melalui Musyawarah Nasional pertama pada 9-13 Juli 2000 di Balikpapan, Hidayatullah mengubah bentuk organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan menyatakan diri sebagai gerakan perjuangan Islam. Sampai 2013, organisasi ini memiliki 33 DPD, 296 DPW, dengan ratusan DPC, PR, dan PAR yang terus bertambah.
“Hidayatullah benar-benar murni lahir dari sebuah ide, dengan modal semangat heroik yang digembleng dengan banyak organisasi yang melatari pendirinya. Seorang ideolog sejati yang membuat kita mengerti Islam yang sebenarnya,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Hidayatullah Abdul Mannan saat Silaturahmi Nasional Hidayatullah di Balikpapan medio Juli lalu.
Agenda utama Hidayatullah adalah pelurusan masalah akidah, imamah dan jamaah (tajdid); pencerahan kesadaran (tilawatu ayatillah); pembersihan jiwa (tazkiyatun-nufus); pengajaran dan pendidikan (taālimatul-kitab wal-hikmah) menuju lahirnya kepemimpinan dan umat terbaik. (Kaltim Post, 10/08/2013).