Hidayatullah.or.id – Terkait Pancasila sebagai dasar negara, para ulama dan cendekiawan muslim didorong perlu pro-aktif memberi spirit dan penafsiran otentik (murni) sesuai pemahaman tokoh Islam yang merumuskannya.
Demikian disampaikan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Ust Nashirul Haq, saat mengisi materi dalam Workshop “Pengembangan Pendidikan Bela Negara di Pesantren” diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama Republik Indonesia (Puslitbang Kemenag RI) di Hotel Grand Clarion, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (08/06/2017).
“Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya harus dimaknai Tauhid dalam Islam sebagaimana ditegaskan oleh KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusuma, KH. Abdul Kahar Muzakkir ketika mereka menerima perubahan tujuh kata dalam piagam Jakarta,” kata Ust Nashirul.
Ia menerangkan, beberapa kata kunci di dalam naskah Pancasila seperti Adil, Beradab, Hikmat, Permusyawaratan dan Perwakilan adalah istilah yang berasal dari Islam sehingga perlu diberi tafsiran dan muatan yang tepat.
Selain itu, Nashirul menilai ajaran jihad yg dikaji dalam kitab-kitab klasik di pesantren butuh kontekstualisasi. Jihad menurutnya harus dimaknai secara luas, komprehensif dan kontekstual. Tidak boleh serampangan.
Beberapa bentuk jihad dapat diprioritaskan berdasarkan kondisi dan kebutuhan, tukasnya.
“Dalam konteks pesantren misalnya, jihadun nafsi yang meliputi jihad mempelajari ajaran Islam, mengamalkan dan mendakwahkannya merupakan prioritas utama,” ujarnya.
Lebih jauh Ust Nashirul mengatakan peran pesantren dalam bela negara tidak diragukan lagi. Sejarah mencatat bahwa para ulama, kyai, dan santri menjadi garda terdepan dalam perjuangan kemerdekaan.
Beliau menyebutkan sederet nama seperti Imam Bonjol, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Pamgeran Antasari dan lainnya adalah ulama yang memimpin perjuangan membela NKRI.
“Perumusan Pancasila sebagai dasar negara kita juga melibatkan para tokoh Islam seperti KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusuma, dan KH. Abdul Kahar Muzakkir,” katanya.
Beliau menyebutkan, pada saat agresi militer Belanda dan sekutunya pada bulan Oktober 1945 yang berhasil menduduki beberapa wilayah. Maka rapat akbar PBNU yg dipimpin dan diinisiasi KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah menetapkan Resolusi Jihad.
“Seruan inilah yang membangkitkan semangat juang kaum santri. Ketika meletus perang 10 November 1945, ribuan kyai dan santri mengalir dari berbagai daerah ke Surabaya,” terangnya.
Selain itu, beliau menambahkan, ketika Indonesia terpecah menjadi 17 negara bagian di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai produk Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Mohammad Natsir tampil menyatakan mosi integral pada sidang RIS 3 April 1950. Berkat mosi integral Mohammad Natsir itulah, maka 17 negara-negara bagian bersatu kembali dalam bingkai NKRI sebagaimana cita-cita awal proklamasi.
Karenanya, peranan pesantren sangat penting karena diharapkan menjadi basis utama dalam menanamkan pendidikan bela negara. Pesantren adalah basis pendidikan Islam yang otomatis di dalamnya diajarkan soal bela negara.
Diharapkan nantinya para santri bisa memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia serta menyiapkan diri untuk tampil melanjutkan estafet kepemimpinan dengan ikut serta mempertahankan keutuhan NKRI.
Ust Nashirul mengharapkan, berbagai peran para ulama, tokoh Islam, kiyai dan santri terhadap bangsa ini perlu terus disegarkan agar semangat perjuangan mereka dapat diwariskan kepada generasi masa depan.
“Kita perlu juga meluruskan sejarah yang cenderung mengaburkan dan mengecilkan peran ummat Islam dalam memperjuangkan, membela, mendirikan dan membangun bangsa dan negara ini,” tandasnya. (ybh/hio)