DI ZAMAN ketika pemilihan pemimpin menjadi tugas yang dibebankan kepada masyarakat awam seperti sekarang, kita sering memergoki aneka keanehan. Salah satu yang mencengangkan, namun lazim dan sudah menjadi rahasia umum, adalah praktek politik uang (money politics).
Bukan rahasia lagi bahwa untuk bisa menduduki kursi tertentu, banyak orang bersedia membayar ratusan ribu rupiah per kepala. Terkadang praktik ini disamarkan dengan sumbangan-sumbangan, walau pada kenyataannya sama saja.
Seorang teman bercerita bahwa menjelang pencoblosan Kepala Desa di daerahnya, setiap kandidat membagikan minimal 100 ribu rupiah per pemegang hak pilih. Alhasil, banyak keluarga yang meraup lebih dari setengah juta, hanya dari satu kandidat.
Hitung saja berapa yang akan mereka dapat jika ada tiga kandidat? Akhirnya, yang terpilih adalah orang yang menggelontorkan 125 ribu per kepala. Konon, dia telah menghabiskan nyaris setengah milyar!!
Ini baru pemilihan Kepala Desa. Bagaimana dengan bupati, gubernur, presiden; atau para caleg (calon legislatif) yang nama dan wajah mereka semakin ramai menghiasi jalanan kita akhir-akhir ini?
Tampaknya, sebagian orang semakin pragmatis dalam persoalan kepemimpinan. Mereka sudah tidak peduli akan dibawa kemana masyarakat ini, yang penting sekarang dapat duit.
Memang, pengalaman menunjukkan bahwa sebagian besar janji-janji kampanye itu mirip petasan melempem yang telah disulut sumbunya, lalu semua orang sudah menahan nafas dan menutup telinga, tapi kemudian tidak terjadi apa-apa. Sunyi-senyap, tidak terdengar suara apa pun!
Akhirnya, sebagian kalangan seolah-olah berpikir begini: “buat apa kami memilih orang yang jika sudah berkuasa tidak peduli pada kami? Toh nanti mereka hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri. Sekarang, selama masa kampanye, mereka sedang membutuhkan kami. Mereka berlomba-lomba menunjukkan kepedulian dan kedekatannya dengan rakyat kecil. Sekarang mereka harus melayani kami, sebab kami tidak tahu bagaimana tingkah mereka setelah berkuasa. Siapa saja yang mau membayar lebih, maka suara kami akan menjadi miliknya.”
Logika ini terkesan ada benarnya, menilik banyaknya kandidat yang mirip “petasan melempem” setelah berkuasa. Banyak kebijakan yang mereka buat justru tidak bijak, sebaliknya malah merugikan masyarakat, bahkan mengantarkan pada kerusakan permanen dan kebangkrutan jangka panjang. Misalnya, mengeluarkan izin operasi tempat-tempat maksiat, mengalihfungsikan hutan lindung dan daerah resapan air menjadi resort, area hunian, atau konsesi pertambangan; atau menggeser pasar-pasar tradisional dari lokasi strategis untuk ditempati mall dan supermarket.
Masih berjibun contoh-contoh lain yang dapat kita saksikan di berbagai tempat. Dalam skala besar, kita bisa menderetkan aneka kasus kontemporer yang pasti melibatkan para pembuat kebijakan di level tertentu, semisal impor daging sapi, kedelai, beras, bahkan bawang putih dan cabe!
Namun, pikiran seperti itu hanya logika kemarahan yang dilandasi keputusasaan. Sungguh kemarahan tidak pernah mendatangkan kebaikan, dan keputusasaan hanyalah jebakan iblis yang akan membawa kita kepada kehancuran lebih dalam.
Sebenarnya, Rasulullah pernah mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap para pemimpin yang licik dan egois.
Usaid bin Hudhair menceritakan bahwa suatu ketika seseorang dari kaum Anshar berbicara dengan Rasulullah secara pribadi. Ia berkata, “Mengapa Anda tidak mengangkat saya menjadi pejabat sebagaimana si fulan itu?” Beliau bersabda, “Sungguh kelak sepeninggalku kalian akan melihat tindakan mementingkan diri sendiri (di kalangan para pemimpin). Maka, bersabarlah sampai kalian menjumpaiku di al-Haudh (yakni, telaga Kautsar).” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas dimasukkan oleh Imam Muslim dalam bab “bersabar pada saat mendapati para pemimpin yang zalim.” Alhasil, Rasulullah menyuruh kita bersabar dan tidak menjatuhkan diri ke dalam kezhaliman yang sama dengan para pemimpin yang buruk itu.
Sungguh, segala kezaliman mereka akan tiba saatnya untuk dibongkar dan diadili, entah di dunia ini atau di akhirat nanti.
Di lain kesempatan, Rasulullah juga bersabda, “Sungguh kelak sepeninggalku akan terjadi tindakan mementingkan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” Para Sahabat bertanya, “Bagaimana yang Anda perintahkan kepada salah seorang diantara kami yang mendapati hal itu?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud).
Hadits ini mengingatkan kita – sebagai warga masyarakat – untuk tidak berpikir pendek, namun berusaha memilih tindakan yang “lebih tinggi”. Jika benar bahwa praktik-praktik money politics itu dipicu oleh egoisme para pemimpin, sehingga rakyat merasa harus bisa menjebol pundi-pundi pemimpinnya sebelum kelak para pemimpin egois itu merampok mereka baik secara legal maupun ilegal, maka sebenarnya ini adalah pikiran yang sangat buruk dan mengerikan.
Jika itu terus dibiarkan, akan menjadi lingkaran setan yang tidak berujung-pangkal. Mestinya, masing-masing pihak menahan diri dan menunaikan kewajibannya secara tulus, dengan semata-mata mengharap balasan dari Allah.
Rasulullah pun mengecam keras orang-orang yang memilih pemimpin semata-mata karena keuntungan duniawi, bukan pertimbangan-pertimbangan moral dan agama.
Menurut beliau, ada tiga golongan yang kelak pada Hari Kiamat tidak akan diperhatikan oleh Allah, tidak pula disucikan dari dosa-dosanya, dan pasti mendapat siksaan yang pedih. Salah satunya adalah: “Seseorang yang membai’at (yakni, memilih dan setia) kepada pemimpinnya semata-mata karena kepentingan duniawi. Jika pemimpin itu memberinya keuntungan duniawi, dia rela. Namun jika pempimpin itu tidak memberinya, dia pun marah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).
Jadi, berhentilah memilih pemimpin dengan menimbang berapa duit yang dia berikan kepada kita. Sebab, ini hanya akan memicu kebinasaan bagi kedua belah pihak, baik di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah. Wallahu a’lam.
*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Ar Romah Hidayatullah Malang