RATA-RATA usia petani di Indonesia berumur 47 tahun sekarang. Diperkirakan 10-15 tahun mendatang terjadi krisis petani Indonesia. Demikian kata Arif Satria, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam kesempatan silaturahim dengan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan (11/11/2019).
Menurut Arif, seperti dikutip media, salah satu penyebabnya ditengarai tidak adanya alih generasi yang berjalan. Kaum milenial dianggap tidak lagi punya kecenderungan untuk mewarisi peran petani sekarang. Boleh jadi meski terlahir dari keluarga petani, namun belum tentu anak itu tertarik jadi petani pula di masa mendatang.
Kabar ini sempat viral sesaat beberapa waktu lalu. Banyak pihak seolah tersentak. Tak menyangka, yang dulu dikenal sebagai bangsa agraris justru diprediksi mengalami krisis petani. Layaknya kata peribahasa Indonesia. Ayam mati di lumbung padi. Petani sebagai faktor utama pada dunia pertanian malah jadi titik lemah yang mengkhawatirkan di masyarakat.
Di lain pihak, hendaknya ini juga menyadarkan pentingnya alih generasi atau kaderisasi tersebut. Bahwa apapun ternyata ada masanya. Kehidupan itu ada awal dan akhirnya. Dan itu butuh generasi pelanjut setelahnya.
Sampai pada urusan yang secara logika pun terlihat mudah. Profesi petani, misalnya. Ternyata, pewarisan pekerjaan itu juga tak selamanya bisa berjalan alami begitu saja. Dibutuhkan kesungguhan berpikir dan tindakan hingga masa yang jauh ke depan.
Lalu kira-kira bagaimana dengan peran para guru, dosen, dai, dan semacam pendidik atau pendakwah lainnya? Secara notabene mereka mengemban tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dan lebih rumit lagi. Sebab mereka tak hanya dituntut sekadar mengatur sawah, kelas, masjid atau mengelola benda mati lainnya. Ia juga tidak cuma berhubungan dengan urusan profesi atau pembelajaran skill dan kompetensi manusia.
Lebih dari itu, mereka dituntut sebagai khalifatullah (wakil Allah di muka bumi). Menegakkan keadilan, menciptakan kemakmuran, menyempurnakan akhlak masyarakat, menjadikan manusia punya prinsip hidup dan cara pandang yang benar, serta taat dan patuh beribadah kepada Allah.
Sebagai pendidik yang mewarisi risalah kenabian, misi utama guru atau dosen bukan saja sekadar menjadikan murid-muridnya menjadi pintar dengan pengetahuan yang luas. Mengubah yang bodoh menjadi pintar. Dari murid yang tidak tahu menjadi tahu. Sebab hakikat ilmu dan pendidikan adalah penanaman nilai-nilai kebaikan menjadi sebuah karakter pada diri seorang anak.
Pendidikan yang benar niscaya menguatkan ilmu yang dipelajari menjadi ilmu yang bermanfaat. Mendorong pemiliknya sebagai Mukmin yang produktif dengan amal shalehnya. Serta menjadikan orang-orang berilmu tersebut berada di garda terdepan dalam urusan takut kepada Allah.
Firman Allah:
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama saja…” (Fathir [35]: 28).
Senada, tokoh pendidikan berdarah Melayu, Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan prinsip pendidikan pengkaderan tersebut. Ia berkata: “The aim of education in Islam therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.”
Lebih jauh dipahami, ukuran pendidikan pengkaderan tersebut adalah lahirnya generasi yang tak hanya mampu memahami secara konsep keilmuan (knowledge) saja. Namun juga memastikan transformasi nilai (value) juga berjalan. Bahwa ilmu saja tak cukup tanpa adab. Karena adab adalah ruh dari ilmu tersebut. Sedang amal shaleh dan ibadah yang menjadi ukuran evaluasi dalam kesehariannya.
Untuk itu, inilah tugas berat sekaligus tanggung jawab mulia seorang pendidik. Jika seorang Menteri Pertanian dijangkiti kekhawatiran akan regenerasi petani di masa mendatang. Maka kegelisahan seorang guru dan dosen lebih dari itu. Mereka dituntut bukan sekadar mencetak petani saja. Tapi bagaimana agar petani itu selain memiliki skill hebat, juga bersikap jujur, punya integritas, dan tetap taat menghamba kepada Allah. Itulah pendidikan dan pengkaderan Islam.
MASYKUR SUYUTHI