AdvertisementAdvertisement

Refleksi atas Pemahaman Al-Qur’an dan Realitas Kehidupan Dewasa ini

Content Partner

DALAM sejarah peradaban manusia, periode Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabatnya dianggap sebagai puncak kemuliaan umat manusia. Rasulullah bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup bersama beliau, mengarungi kehidupan dengan penuh keimanan dan ketundukan terhadap wahyu ilahi.

Pernyataan Rasulullah tersebut tidak hanya bersifat retorik, tetapi juga mengandung hikmah mendalam mengenai sifat utama yang membedakan masa Rasulullah dari era setelahnya.

Dalam dunia yang semakin terhubung melalui media informasi, objektivitas menjadi kunci dalam menilai kebenaran. Jika seseorang mendapatkan informasi yang utuh dan berpikir dengan jernih, niscaya ia akan sampai pada kesimpulan yang serupa dengan yang dipegang oleh para sahabat Rasulullah. Namun, ketika kesimpulan yang diambil berbeda, hal ini biasanya disebabkan oleh salah informasi, kurangnya konteks, atau cara berpikir yang rusak.

Rahasia di Balik Kemuliaan Masa Rasulullah

Banyak yang bertanya, apa rahasia di balik kemuliaan dan keberhasilan umat di masa Rasulullah? Mengapa dalam kurun waktu yang singkat, peradaban Islam berhasil memengaruhi dan menginspirasi dunia? Jawabannya terletak pada satu faktor utama, yaitu Al-Qur’an.

Al-Qur’an menjadi rujukan utama bagi setiap sikap, perilaku, dan keputusan yang diambil oleh Rasulullah dan para sahabat. Dengan bimbingan wahyu yang langsung dari Allah, mereka mampu menjalankan kehidupan dengan penuh kedisiplinan, ketundukan, dan keikhlasan yang luar biasa.

Namun, jika kita menelusuri lebih dalam, kita akan mendapati bahwa tidak hanya sekadar menghafal atau memahami Al-Qur’an secara tekstual yang membuat mereka unggul.

Pemahaman terhadap Al-Qur’an benar-benar mengakar dan memengaruhi tindakan mereka secara nyata. Al-Qur’an bukan hanya menjadi bacaan atau teori, tetapi menjadi pedoman praktis yang diterapkan dalam setiap aspek kehidupan mereka.

Yang menarik untuk dicermati adalah kenyataan bahwa Al-Qur’an yang sama, yang menjadi sumber kemuliaan umat di masa Rasulullah, masih tetap ada hingga saat ini. Secara tekstual, tidak ada perubahan dalam Al-Qur’an dari masa ke masa. Namun, mengapa hasilnya berbeda? Mengapa pada zaman sekarang sulit untuk menemukan sosok pribadi yang mempesona dan memiliki kemuliaan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat?

Perbedaan hasil ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi para ulama dan cendekiawan. Salah satunya, Ust. Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, yang sering menyatakan kekhawatirannya terhadap perkembangan zaman.

Ia mencermati bahwa semakin jauh dari masa Rasulullah, semakin banyak terjadi kerusakan dalam tatanan kehidupan, dan semakin sulit untuk menemukan individu yang benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran, apakah umat manusia benar-benar masih memanfaatkan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam kehidupan mereka?

Lima Model Manusia dalam Menyikapi Al-Qur’an

Dalam menyikapi Al-Qur’an, ada berbagai tipe manusia yang dapat kita amati. Berdasarkan analisis Ust. Abdullah Said, ada setidaknya lima model manusia dalam memandang dan memahami Al-Qur’an:

  1. Tidak Mau Tahu dengan Al-Qur’an
    Golongan ini adalah mereka yang tidak tertarik atau tidak peduli dengan Al-Qur’an. Mereka mungkin tidak memiliki waktu atau keinginan untuk mendalami ajaran Islam, sehingga Al-Qur’an hanya menjadi sekadar kitab yang tidak memengaruhi hidup mereka.
  2. Salah Paham terhadap Al-Qur’an (Sok Tahu)
    Tipe ini adalah mereka yang mengklaim memahami Al-Qur’an, namun pemahaman mereka sesungguhnya dangkal atau salah. Mereka mengartikan ayat-ayat secara keliru atau bahkan memanipulasi teks untuk mendukung pandangan pribadi yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
  3. Tahu Al-Qur’an Tapi Tidak Mau Mengikutinya
    Sebagian orang memahami isi Al-Qur’an, namun enggan mengikuti ajarannya. Hal ini bisa terjadi karena alasan-alasan duniawi, seperti tekanan sosial, kenyamanan hidup, atau ketidakmauan untuk berkomitmen secara penuh terhadap ajaran agama.
  4. Mau Mengikuti Al-Qur’an Tapi Tidak Paham Cara Mengikutinya
    Ada juga mereka yang berkeinginan kuat untuk hidup sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an, namun tidak memiliki bimbingan yang tepat. Tanpa panduan dari ulama yang kompeten atau lingkungan yang mendukung, mereka kesulitan untuk mengaplikasikan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Mengikuti Al-Qur’an Hanya Sebatas yang Bersesuaian dengan Keinginannya
    Golongan terakhir ini adalah mereka yang memilih untuk mengikuti sebagian ajaran Al-Qur’an yang sejalan dengan keinginan atau kepentingan mereka, namun mengabaikan bagian lain yang dianggap tidak sesuai dengan gaya hidup atau ambisi pribadi.

Upaya Memahami dan Menerapkan Al-Qur’an

Menyadari kerusakan yang semakin parah dalam tatanan kehidupan umat, Ust. Abdullah Said menekankan pentingnya memahami Al-Qur’an sebagaimana Rasulullah dan para sahabat memahaminya. Ada dua keyakinan utama yang dipegang oleh beliau dalam upaya memajukan umat melalui Al-Qur’an.

Pertama, proses mempelajari Al-Qur’an harus mengikuti metode yang ditempuh oleh Rasulullah, yaitu berangsur-angsur dengan tahapan yang benar. Di Hidayatullah, metode ini dikenal dengan Sistematika Wahyu, di mana Rasulullah menerima wahyu secara bertahap selama lebih dari dua dekade. Setiap ayat diturunkan sesuai dengan kebutuhan umat saat itu, sehingga pemahaman mereka terhadap wahyu sangat kontekstual dan aplikatif.

Kedua, pemahaman terhadap Al-Qur’an tidak akan ada artinya tanpa pengejawantahan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung penerapan Al-Qur’an, diperlukan lingkungan yang kondusif. Hal ini kemudian diwujudkan dalam bentuk pondok pesantren, yang tidak hanya mengajarkan teori-teori agama, tetapi juga menciptakan suasana yang mendukung penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan nyata.

Ust. Abdullah Said memulai inisiatif ini dengan mendirikan pondok pesantren di Gunung Tembak, Balikpapan, yang kemudian diikuti dengan pendirian banyak pesantren serupa di berbagai wilayah di Indonesia. Pesantren-pesantren ini berfungsi sebagai “kampus” di mana para santri tidak hanya belajar agama, tetapi juga dilatih untuk menjadi individu yang mampu menerapkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan tantangan zaman yang semakin kompleks dewasa ini, umat Islam dituntut untuk kembali kepada Al-Qur’an, tidak hanya sebagai bacaan spiritual, tetapi juga sebagai panduan hidup (worldview). Menghadapi globalisasi, krisis moral, dan dekadensi sosial, hanya Al-Qur’an yang bisa menjadi benteng pertahanan dan solusi nyata bagi umat manusia.

Namun, sebagaimana yang telah diuraikan, keberhasilan umat dalam memahami dan menerapkan Al-Qur’an sangat tergantung pada bagaimana mereka mendekati kitab suci ini.

Apakah mereka hanya mempelajarinya sebagai ritual tanpa makna? Ataukah mereka benar-benar memahami setiap ajaran dan berusaha untuk menerapkannya dengan sungguh-sungguh? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan peradaban manusia.

Dalam konteks modern, umat Islam harus mampu mengintegrasikan Al-Qur’an ke dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial.

Hanya dengan demikian, kita bisa berharap untuk melahirkan generasi baru yang mampu mengembalikan kejayaan Islam, seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Al-Qur’an adalah kitab yang abadi, tetapi keberhasilan penerapannya sangat tergantung pada upaya manusia untuk memahami dan menjadikannya sebagai panduan hidup. Ini adalah tantangan besar bagi umat Islam di setiap zaman, termasuk di era modern ini. Namun, dengan tekad yang kuat dan kesungguhan dalam menuntut ilmu, harapan untuk melahirkan generasi yang mulia seperti di masa Rasulullah masih bisa terwujud.

Rahmatan Lil ‘Alamiin

Di era yang serba modern ini, umat Islam dihadapkan pada banyak tantangan yang menguji komitmen mereka terhadap Al-Qur’an. Sejarah mencatat bahwa generasi terbaik umat Islam adalah generasi yang hidup pada masa Rasulullah.

Namun, kemuliaan generasi ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh generasi sekarang, asalkan umat ini bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an secara komprehensif.

Melalui pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan penerapan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat berharap untuk melahirkan generasi baru yang akan mengembalikan kejayaan Islam dan menjadi rahmat bagi seluruh alam (kaffatan linnas rahmatan lil ‘alamiin).[]

*) Adam Sukiman Langgu, penulis adalah intern researcher di Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) dan Ketua Pengurus Wilayah Pemuda Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta. Catatan ini elaborasi dari serial reflektif ‘Menyerap Ibrah dari Para Pendiri’ Edisi ke-88 yang ditulis oleh Ust. Akib Junaid Kahar, Rabu, 18 September 2024.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img