AdvertisementAdvertisement

Refleksi Hari Lahir dan Mencari Figur Pancasilais

Content Partner

SETIAP 1 Juni, selalu terjadi polemik berkenaan hari lahir Pancasila. Hal ini mengacu kepada Pancasila versi mana yang dipakai dasar tonggak sejarah lahirnya dasar negara Indonesia itu. Sebab, banyak versi rumusan yang saat ini mudah untuk didapat, di tengah revolusi teknologi informasi.

Perdebatan panjang dan terus berulang itu, seringkali tidak berujung. Akhirnya, jalan tengahnya adalah, sama-sama menikmati kehadiran hari libur nasional, setiap tanggal 1 Juni ini. Untuk yang ini, tidak ada perbedaan.

Saya tidak ingin mengulang perdebatan itu. Sebab dengan mudah, kita bisa mencari informasi dan menemukan bagaimana proses penetapan. Sampai kemudian ketika ada “pemaksaan” penerapannya sebagai azas tunggal di Era Orde baru. Lengkap dengan adanya penolakan dan penerimaanya. Hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan sebagai catatan sejarah panjang bangsa ini yang tidak bisa dilupakan.

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengajak untuk obyektif. Namun jika ada yang melihat subyektif itu juga relatif. Saya mengajak kita menggunakan akal pikiran. Maka jika cermat dan jujur saat membaca masing-masing format yang ada, sesungguhnya sangat mudah menilai dan memilih, format usulan mana yang paling sesuai dengan apa yang sekarang kita kenal sebagai dasar negara ini.

Tetapi, lagi-lagi apapun dialektika yang terus terjadi ini, kita tetap merujuk lima sila yang kita kenal sebagai lima urutan yang menjadi pedoman hidup sebagai rakyat Indonesia.

Berdasarkan catatan sejarah pula, maka Pancasila itu digali dari sejarah panjang dari bangsa Indonesia. Di mana nilai filosofis keindonesiaan menjadi landasannya. Dari sini kemudian disepakati untuk dijadikan sebagai landasan falsafah dan nilai bangsa.

Akan tetapi realitasnya, nilai-nilai yang diusung dalam Pancasila tersebut, belum pernah terwujud dengan baik di negeri ini. Dan sebenarnya, semua rezim yang pernah memerintah di negeri ini, belum pernah melaksanakannya, secara apa yang dulu sering disebut dengan istilah murni dan konsekuen.

Nilai-nilai kebangsaan yang diharapkan itu, pada prakteknya tidak pernah terimplementasikan. Dan jika kita membaca ulang sejarah bangsa sejak merdeka hingga saat ini, maka akan kita temukan nilai-nilai asing yang ada.

Dan ini sebenarnya berseberangan secara diametral dengan landasan filosofis dan semangat yang ada. Bandul negeri ini terus bergoyang tiada henti, dari sosialisme, kapitalisme, komunisme, sekularisme, demokrasi liberal, dan seterusnya.

Maka sangat wajar jika kemudian dalam praktek kebangsaan dan kenegaraan belum mampu melaksanakan ke-5 sila yang ada secara proporsional. Sehingga tafsir Pancasila itu sendiri menjadi sesuai dengan kemauan siapa yang sedang berkuasa dan memerintah.

Akibatnya, ia hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Bahkan, tidak jarang menjadi alat penekan dan penindas. Bukan sarana untuk menjadikan bangsa ini menuju cita-cita luhurnya. Ini sebuah ironi, tetapi faktanya memang begitu.

Oleh karenanya, ketika terjadi praktek pelecehan terhadap agama, baik secara fisik maupun verbal dan tulisan, kriminalisai terhadap tokoh-tokoh agama, dan lain sebagainya, maka dimanakah Ketuhanan Yang Maha Esa itu?

Demikian halnya betapa mudahnya kita menjumpai pelaksanaan hukum yang tebang pilih. Tajam ke bawah tumpul ke atas. Terjadi politik belah bambu. Diikuti perilaku yang diskriminatif dan menunjukkan sikap yang amoral serta tidak beradab, dengan terang benderang kita jumpai, maka dimanakah kemanusiaan yang adil dan beradab itu.

Ketika saat ini terjadi polarisasi antar anak bangsa yang sangat tajam, sebagai buntut dari pelaksanaan pemilu dan pilkada, seharusnya menjadi bahan introspeksi. Demikian juga seringkali terjadi tindakan rasis yang melanggar SARA. Dari sini bisa memicu terjadi disintegrasi bangsa, maka dimanakah Persatuan Indonesia itu.

Selanjutnya praktik demokrasi yang liberal dan politik transaksional yang terjadi, mengakibatkan terjadinya politik dagang sapi dan seterusnya. Demikian juga model kepemimpinan yang menuju oligarki, sedangkan musyawarah direduksi menjadi voting. Maka dimanakah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Pada saat yang sama terjadinya ketimpangan antara si kaya dan simiskin, penguasaan ekonomi nasional hanya dikuasai oleh segelintir kelompok, bahkan kekayaan negara yang sudah tergadaikan kepada asing, maka dimanakah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu.

Sebenarnya, masing-masing sila sangat mudah untuk diuraikan. Sengaja saya cuplik poin-pointnya saja. Saya melihat semua ini, seolah terjadi pembiaran, dan terkesan ada kesengajaan ataupun dipelihara. Hal ini dipertegas saat terdapat pihak yang berseberangan dan mendaku yang paling NKRI dan paling Pancasialis.

Kemudian saling mengklaim, selanjutnya saling mengejek, membully bahkan menegasikan satu dengan lainnya. Semua merasa paling benar. Akan tetapi parameter dan indikatornya absurd, bahkan jauh dari kelima sila yang ada. Apalagi jika kita tarik dalam praktik kenegaraan yang lagi-lagi memang belum mencerminkan pelaksanaan kelima sila yang ada.

Jika secara kenegaraan tafsirnya masih beragam, demikian juga implementasinya masih jauh panggang dari api, maka pertanyaan kritisnya adalah siapakah role model yang dapat dijadikan figur sebagai pribadi yang pancasialis itu? Siapa patron utamanya, sehingga dapat diteladani dan darinya akan menjadi penggerak bangsa ini untuk menjadi bangsa yang unggul? Ternyata kita kebingungan.

Taruhlah disodorkan salah satu figur disepanjang sejarah bangsa. Pun demikian model pemerintahan yang pernah ada hingga kini yang telah mempraktikkan terbukti dengan benar. Maka percayalah masing-masing contoh itu, dengan sangat mudah untuk ditemukan kekurangannya.

Saya tidak sedang menggugat dasar negara ini. Tetapi pertanyaan kunci di atas itu memang membutuhkan jawaban pasti. Sebab semakin kedepan, setiap generasi memerlukan contoh konkritnya.

Setidaknya ada indikator yang disepakati, dan menjadi parameternya. Bukan klaim “ngawur” dan serampangan sebagaimana terjadi belakangan ini. Jika ini dilanjutkan, maka keterbelahan anak bangsa, tidak akan berkesudahan. Semoga bangsa ini menjadi semakin membaik. Wallahu a’lam

Asih Subagyo│Senior Researcher Hidayatullah Institute

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Hidayatullah dan Revitalisasi Peran Muballigh dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

PERAN muballigh dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di Indonesia sangatlah penting. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, muballigh terus menjadi...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img