JAKARTA (Hidayatullah.or.id) – Barangkali ini kali pertama diselenggarakan seminar negeri serumpun Melayu yang membahas masalah ketahanan keluarga digelar oleh PP Muslimat Hidayatullah (Mushida) dengan menggandeng Wanita Ikatan Muslimin Malaysia (ISMA) yang digelar di Auditorium Lantai II Perpusnas, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Ahad (29/07/2018). Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari khalayak.
Salah seorang peserta dalam sesi sharing, Pengurus Pusat Wanita Al Irsyad, misalnya, mendorong agar kedua institusi -Mushida dan ISMA- terus melakukan kolaborasi dalam rangka bekerjasama sesama negeri serumpun untuk meneguhkan ketahanan keluarga.
Senada dengan itu, Aminah Rahayu, peserta dari Surabaya, Jawa Timur, pun mengharapkan jalinan sinergi untuk bersama menguatkan ketahanan keluarga dalam rangka mengokohkan peradaban bangsa ini senantiasa terjaga.
Seminar yang mengangkat tema “Membangun Ketahanan Keluarga Menuju Indonesia Beradab” itu menghadirkan pembahas dari para pemerhati dan praktisi masalah pengembangan kapasitas keluarga.
Ketua Wanita Ikatan Muslimin Malaysia (ISMA) Norsaleha Mohd Salleh dalam perbentangannya, mengajak para muslimah untuk menikmati perannya sebagai wanita yang selaras dengan kodratnya sebagai manusia.
Dia mengatakan beragam cabaran hidup yang dijalani senantiasalah indah dilalui manakala disertai dengan keterbukaan hati dan keelokan budi karena hidupnya semata mata menggapai ridha Ilahi.
“Oleh sebab itu, sihat hati dan sihat fizikal perlu seiringan dan saling melengkapi antara satu sama lain,” cakap ibu dari 9 orang anak ini.
Dia menerangkan, menjadi muslimah adalah kebahagiaan dan dengan kodrat tersebut sempurnahlah dunianya. Dengan terbangunnya tradisi shalat, melafaz Al Quran, zikir, dan taubat dengan istighfar akan kian menambah keluasan hati.
“Kebahagiaan bagi muslimah yang berterusan, tenang, seronok dan damai,” imbuh Norsaleha yang juga Pengarah Institut Kajian Hadis Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor (INHAD-KUIS).
Kebahagiaan menurutnya bisa dibagi menjadi yaitu kebahagiaan yang sifatnya fisik dan kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan bersifat sementara ini jauh daripada manhaj Allah SWT. Adapun kebahagiaan hakiki berkesinambungan tanpa henti.
“Ramai manusia menyangka duit yang banyak, harta yang bertimbun itu adalah kebahagiaan. Padahal itu hanyalah fatamorgana yang mengelabui mata. Ada yang melihat pangkat dan kedudukan itu sebagai nilai kebahagiaan. Padahal kedudukan dan pangkat itu boleh berubah dan bertukar dalam sekelip mata sahaja,” kata Norsaleha.
Penyuka terapi tekhnik pernafasan “Wai Tang Kung” untuk pernafasan ini, menambahkan dunia ibarat roda yang bergulir. Sekejap manusia berada di atas, sekejap lagi manusia berada di bahagian bawahnya.
“Manakala bahagia hakiki apabila manusia berupaya untuk hidup di bawah lembayung Islam dengan membawa risalah perjuangan yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. Kebahagian yang hakiki merangkumi bahagia di dunia dan akhirat,” cakap dia.
“Ia bisa dicapai dengan iman dan amal saleh, shalat, tilawah al-Quran, zikir, berbuat baik kepada orang lain, menjauhi kejahatan, sentiasa mengingati akhirat, bergaul dengan orang-orang yang baik dan mempunyai pasangan hidup yang baik dan shaleh,” ujarnya seraya mengutip Al Qur’an surah Hud ayat 108.
Dia mengingatkan, kehadiran kita manusia di dunia ini tak lain dan tak bukan adalah sebagai khalifah di muka bumi. Di sini lain, manusia sarat dengan kelemahan dan segala kekurangan.
Namun, di tengah realitas dirinya yang amat lemah, seringkali manusia malah angkuh dan meninggalkan Tuhan sebagai poros satu-satunya menuju kebahagiaan.
“Wanita merasa bahagia apabila ia melaksanakan tanggungjawab sebagai khalifah di muka bumi. Wanita yang bahagia juga adalah mereka yang mencintai tugasan dan tanggungjawab yang dilakukan. Maka cintailah tugas kita,” pungkasnya
Sistematika Wahyu
Sementara itu, dalam rangka membangun ketahanan keluarga dalam rangka membangun peradaban bangsa, Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat Hidayatullah Dra Reni Susilawati memandang Sistematika Wahyu yang merupakan manhaj dakwah Hidayatullah bisa menjadi solusinya.
“Sistematika Wahyu yang memuat lima surah Al Qur’an yang pertama kali turun merupakan pijakan sistemik yang menjadi paradigma dasar membangun ketahanan keluarga untuk tegaknya peradaban,” kata Reni dalam pemaparannya.
Reni menelisik, struktur filosofis manhaj Sistematika Wahyu, menurutnya merupakan sebuah metodologi pendidikan yang lebih berfokus kepada individu. Hal itu juga menurut Reni tergambar dalam sejarah perjalanan dakwah Rasulullah dimana ia mendidik para Sahabat pertama beliau melalui pendekatan individual yang kelak melahirkan sosok kader dakwah mumpuni seperti Zaid bin Haritsah atau Usamah bin Zaid.
Metode Sistematika Wahyu terdiri dari 5 surah yang turun pertama kali yakni Surat Al-Alaq 1-5, Surat Al–Qolam 1-7, Surat Al Muzammil 1-10, Surat Al Mudatsir 1-7, dan Surat Al Fatihah 1-7. Kelima surat tersebut kemudian dijadikan Hidayatullah sebagai metode pembinaan baik lingkup membangun ketahanan keluarga dan bangsa.
Menurut Reni, sebagaimana dalam metode Sistematika Wahyu, pilar ketahanan keluarga menuju peradaban bangsa harus dimulai dari tradisi ilmu atai membaca (iqra’) dalam rangka menemukan jatidiri kita sebagai makhluk, mengenal Allah SWT sebagai Al Khaliq dan alam semesta sebagai ladang amal kebaikan.
“Menuju peradaban mulia dalam keluarga, membangun peradaban ummat, mengokohkan perdaban Serumpun Malasyia dan Indonesia,” ujar Reni.
Dia melanjutkan. Seiring dengan tradisi keilmuan tersebut, internalisasi fitrah Tauhid terus ditanamkan, mendorong pengarusutamaan tegaknya adab dan syariat, tekun beribadah dengan budaya murajaah, menegakkan kebenaran dan menegakkan peradaban Islam dalam keluarga.
“Hidup adalah murajaah mengagungkan Rabb. murajaah tadabbur dalam doa bersama Al Qur’an. Siap memberi teladan lengkap perbekalan dan persyaratan menyeru menjajakan cahaya berukhuwwah menuju cinta,” katanya.
Pada kesempatan itu Reni juga mendapatkan kesempatan untuk memperkenalkan organasasi Muslimat Hidayatullah serta berharap kegiatan yang digelar seperti hari itu dapat semakin mengeratkan persaudaraan antar sesama khususnya dengan negeri serumpun Malaysia.
“Menuju peradaban mulia dalam keluarga, membangun peradaban ummat, mengokohkan perdaban serumpun Malasyia dan Indonesia,” pungkasnya.
Adab dan Pancasila
Dalam pada itu, Guru Besar dan profesor di bidang ketahanan dan pemberdayaan keluarga Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB Prof Dr Euis Sunarti dalam sesinya mengutarakan Pancasila pada Sila Kedua sejatinya merupakan kunci kokohnya ketahanan untuk tegaknya peradaban bangsa.
“Membangun ketahanan keluarga menuju Indonesia beradab. Meneguhkan peradaban bangsa dengan meninggikan adab yang dimulai dari keluarga sebagai unit sosial terkecil dari suatu negara yang dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan,” katan Euis.
Euis menjelaskan, adab adalah kehalusan dan kebaikan budi pekerti atau kemajuan bangsa di dunia yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.
Menurutnya, destruksi adab bisa disebabkan banyak faktor diantaranya kegagalan internalisasi adab sejak dini, kegagalan edukasi dan internalisasi nilai agama dam kegagalan internalisasi moral karater.
Karena itu, dia menegaskan, solusi untuk mengentaskan masalah tersebut adalah melakukan pencegahan terhadap hal-hal yang ingin mereduksi adab sebagai pintu gerbang sebelum ilmu pengetahuan. Selain itu, penegakan adab harus bersifat hulu, dilakukan sejak dini yang pertama-tama oleh keluarga.
“Kurang adab dan sifat buruk seseorang bukan berasal dari fitrah. Tetapi karena kurangnya penanaman adab sejak dini di keluarga dan lingkungan seseorang berada,” imbuh inisiator Penggiat Keluarga Indonesia (GIGA) ini.
Euis menegaskan, sekali terbentuk sifat atau akhlak buruk, semakin dewasa, semakin sulit meninggalkan sifat-sifat tersebut.
“Banyak orang dewasa menyadari kurang adab dan merasa ‘terjebak’ karena tidak mampu mengubahnya. Bahkan kurang adab dapat menular di lingkungan pertemanan dan kolega,” tukasnya.
Sebab itu menurut dia memutus mata rantai lingkaran setan tersebut harus dilakukan sedini mungkin melalui wahana yang tepat dan memdadai. Dalam konteks negara pun upaya tersebut sejalan dengan amanat konstitusi dalam rangka meneguhkan ketahanan keluarga.
Euis menyebutkan, konstitusi negara kita dalam UU Nomor 10 Tahun 1992/ UU Nomor 52 Tahun 2009 dinukil definis Ketahanan Keluarga yaitu: “Kondisi Dinamik Suatu Keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan bathin”.
Ketahanan keluarga lanjutnya mencakup ketahanan fisik ekonomi, ketahanan sosial dan ketahanan psikologi. Di dalamnya terbangun keberfungsian keluarga, pemenuhan peran dan tugas, manajemen sumberdaya, manajemen stress dan interaksi keluarga.
“Implementasi ketahanan keluarga melalui keberfungsian ekspresif dan pengasuhan anak khususnya melalui kelekatan agar anak beradab,” tukasnya.
Dalam pemaparannya, profesor Euis juga menyajikan hasil penelitian yang dilakukan pihaknya tahun 2017 tentang model pembangunan dalam wilayah rumah tangga dimana temukan sejumlah data menarik.
Diantaranya, dari keseluruhan populasi responden, didapati seluruh responden menyetujui bahwa keluarga dan masyarakat harus berpartisipasi membangun lingkungan, membangun
mekanisme untuk saling membantu, melindungi, dan mendorong keluarga bangun lingkungan yang aman dan nyaman.
“Kondisi saat ini menjadikan pembangunan keluarga dengan semangat kolektifitas semakin penting dilakukan sebagai upaya peningkatan ketahanan keluarga. Di sisi lain pemerintah juga memiliki tanggungjawab membangun ketahanan dan perlindungan keluarga,” jelasnya.
Namun, lanjutnya, upaya pemerintah dalam membangun ketahanan keluarga selama ini masih belum optimal. Karena itu para keluarga dan masyarakat harus aktif berpartisipasi membangun lingkunganya dimana para keluarga perlu membangun mekanisme saling membantu dan melindungi.
“Selain pemerintah perlu mendorong keluarga dan masyarakat membangun lingkungan yang aman dan nyaman, masyarakat harus memelihara kekokohan struktur keluarga, menguatkan keberfungsiang keluarga, melakukan perlindungan, jauhkan ancaman, turunkan kerentanan,” pungkasnya. (ybh/hio)