DALAM sebuah kajian pekanan Majelis Reboan Dewan Murabbi Hidayatullah Wilayah Jabar via Zoom, Rabu, 21 Rabi’ul Awal 1446 (25/9/2024) yang saya ikuti, Ustadz Naspi Arsyad, Lc, sebagai narasumber menyampaikan suatu hal yang sangat menarik.
Beliau menjelaskan penting menjadi perhatian kondisi dan situasi bahwa sebelum turunnya wahyu pertama, yakni lima ayat Surat Al-‘Alaq, manusia telah berada dalam kebingungan intelektual yang mendalam diperhadapkan dengan realitas sosial.
Sebagaimana dibahas dalam tulisan sebelumnya (baca: Al-Alaq Sebagai Tantangan Intelektual Menemukan Tuhan), wahyu pertama ini tidak hanya menantang berbagai konsep Tuhan yang sudah ada, tetapi juga menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang melampaui kemampuan manusia saat itu untuk menjawabnya sendiri.
Aktivitas berpikir dan berfilsafat pada masa itu tidak memberikan jawaban yang meyakinkan, tidak mencapai tingkatan haqqul yaqin—tingkat keyakinan yang hakiki menurut Al-Ghazali. Semakin manusia mengandalkan intelektualitas tanpa panduan wahyu, semakin banyak jawaban yang muncul, dan semakin absurd hasilnya. Manusia terus bergulat dengan berbagai pertanyaan besar tentang eksistensi, kebenaran, dan Tuhan, tetapi tak ada satu pun jawaban yang memuaskan secara penuh.
Disinilah Al-‘Alaq hadir sebagai pemantik nalar yang menantang sekaligus memberikan solusi. Surat ini menjadi penghubung antara akal dan wahyu, menjembatani aktivitas intelektual manusia yang seringkali terbatas dengan petunjuk Ilahi yang menawarkan kepastian. Ustadz Naspi menyebutnya dengan istilah “benang hijau” sebagai penyambung antara realitas (fenomena) dan idealitas (noumena), antara yang empiris dan non-empiris.
Beliau mencontohkan, jauh sebelum para filsuf menyelami pencarian intelektual yang tak berujung, Nabi Ibrahim alaihissalam yang juga mencari Tuhan dengan pergulatan aktivitas pikirannya. Namun, meski sudah merenungi alam semesta—bintang, bulan, matahari—ia masih merasakan keraguan.
Hingga akhirnya, Allah memberikan petunjuk wahyu–terkenal dengan kisah eksperimental yang dilakukan Ibrahim pada burung yang dipelihara yang lantas diperintah untuk dibunuh kemudian Allah hidupkan Kembali. Kisah ini menjadi semacam “benang hijau” antara pergulatan intelektualnya mencari Tuhan dan keyakinan yang ragu, hingga menjadikannya kemantapan iman yang teguh.
Begitu pula dengan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Surat Al-‘Alaq bukan hanya sebuah perintah untuk membaca (iqra), tetapi juga sebuah jembatan yang menjawab kebingungan dan keraguan intelektual manusia ketika dihadapkan pada konsep Tuhan yang tak dapat dicapai hanya dengan akal. Dengan turunnya wahyu, manusia mendapatkan jawaban yang lebih dari sekadar hasil pemikiran; mereka mendapatkan petunjuk yang menyempurnakan pencarian intelektual mereka.
Ini memberikan gambaran bagaimana wahyu Al-Qur’an menjadi penyelaras antara akal dan petunjuk Ilahi. Bagaimana, dalam konteks sejarahnya, aktivitas intelektual tanpa bimbingan wahyu seringkali hanya menghasilkan kebingungan yang semakin dalam.
Kokoh dalam Tantangan Zaman
Sebelum wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW, aktivitas intelektual manusia, termasuk para filsuf, terus bertanya tentang eksistensi, realitas, dan Tuhan. Socrates, Plato, dan Aristoteles, melalui pendekatan rasional dan logika, berusaha memahami hakikat keberadaan, tetapi hasilnya seringkali tak mencapai kesimpulan yang mutlak atau memuaskan.
Bahkan Descartes, dengan cogito ergo sum-nya (saya berpikir maka saya ada), tidak mampu sepenuhnya menjawab masalah-masalah eksistensial yang mendalam. Descartes menegaskan bahwa akal manusia adalah sumber utama pengetahuan, tetapi ia juga menyadari keterbatasan akal manusia dalam menjangkau realitas tertinggi.
Di sisi lain, tokoh seperti Immanuel Kant berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang bersifat metafisik, seperti Tuhan, karena keterbatasan indera dan pengalaman manusia. Kant membatasi pengetahuan manusia pada fenomena, yaitu hal-hal yang dapat diamati dan dialami secara empiris, dan menyebut aspek metafisik sebagai “noumena” yang tak bisa dijangkau akal.
Al-Ghazali menegaskan bahwa akal memiliki batasan dan tidak dapat mencapai kebenaran mutlak tanpa bantuan wahyu. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali menunjukkan bahwa wahyu memberikan kunci untuk memahami kebenaran yang tidak dapat dicapai hanya melalui akal.
Sementara Al-Farabi mengajukan semacam sintesis gagasan tentang hubungan antara akal dan wahyu. Ia berpendapat bahwa wahyu merupakan bentuk pengetahuan tertinggi yang mengarahkan akal untuk memahami kebenaran yang lebih dalam. Menurutnya, akal dan wahyu tidak berkontradiksi; sebaliknya, keduanya saling melengkapi.
Dalam konteks ini, wahyu Al-Qur’an awal turunnya dan eksistensinya hingga akhir kehidupan, sebagai pemantik intelektual yang mengarahkan pencarian manusia ke jalan yang lebih jelas, sekaligus menawarkan solusi untuk menjembatani gap antara pemahaman fisik dan metafisik.
Surat Al-Alaq tidak hanya mengajak manusia untuk membaca dan berpikir, tetapi juga untuk menundukkan intelektualitas di bawah panduan Ilahi yang lebih pasti dan sempurna. Al-‘Alaq hadir untuk menyambungkan antara pencarian intelektual manusia dengan kepastian wahyu. Surah ini menjadi “benang hijau” yang mempertemukan nalar manusia dengan keyakinan yang hakiki. Berikut beberapa tantangan intelektual-wahyu dalam konteks kekinian.
1. Artificial Intelligence (AI) dan Kesadaran
Tantangan intelektual dalam memahami eksistensi Tuhan tidak berhenti pada filsafat dan sains kuno saja, tetapi juga merambah ke era modern dengan munculnya teknologi kecerdasan buatan (AI). Bagaimana AI dan kesadaran buatan menambah dimensi baru dalam perdebatan intelektual terkait kehidupan dan kesadaran?
Peneliti AI seperti Alan Turing, pencipta Turing Test, berpendapat bahwa jika sebuah mesin dapat meniru perilaku manusia secara sempurna, maka mesin itu dapat dikatakan memiliki “kesadaran” atau setidaknya kecerdasan buatan yang mendekati manusia. Turing optimis bahwa melalui algoritma yang canggih, AI dapat mencapai tingkat kecerdasan yang kompleks.
Di sisi lain, peneliti seperti John Searle dengan Chinese Room Argument-nya, menolak ide ini. Searle berpendapat bahwa meskipun AI bisa memproses data dengan cepat, itu hanyalah simulasi, dan tidak dapat menciptakan kesadaran sejati. Menurut Searle, mesin mungkin dapat meniru perilaku, tetapi tidak bisa mengalami atau memahami dengan cara manusia melakukannya.
Jauh sebelum Searli, pemikir muslim Ibn Sina (Avicenna) sudah menjelaskan semacam pondasi secara intelektual bahwa ruh adalah substansi yang terpisah dari tubuh, menunjukkan pentingnya aspek non-fisik dalam pemahaman manusia. Apa yang eksis dari manusia tidak akan ada yang menyamai apalagi menggantikan secara persisinya, terlebih itu dibuat oleh manusia sendiri.
Wahyu Al-Qur’an memberikan sudut pandang berbeda tentang kesadaran dan kehidupan, yang tidak dapat direduksi menjadi proses mekanis atau algoritmis. Dalam Surat Al-Isra’ [17:85], Allah menjelaskan bahwa hakikat ruh, yang menjadi sumber kesadaran, adalah rahasia ilahi yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia. Dengan demikian, wahyu menjadi “benang hijau” yang melengkapi pencarian intelektual tentang kesadaran yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan sains.
2. Penelitian Tentang Alam Semesta Multiverse
Selain kesadaran buatan, manusia juga mencoba menjawab misteri kosmos melalui konsep-konsep sains modern lainnya seperti multiverse. Apakah konsep ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial, atau justru menambah spekulasi yang lebih jauh lagi?
Konsep multiverse pertama kali dipopulerkan oleh Hugh Everett dalam Many-Worlds Interpretation dari mekanika kuantum . Everett menyatakan bahwa setiap kali keputusan diambil atau suatu kejadian terjadi, alam semesta “bercabang” menjadi berbagai kemungkinan hasil yang berbeda. Ini melahirkan ide bahwa ada alam-alam semesta lain selain yang kita tinggali.
Namun, kritikus seperti Neil deGrasse Tyson menyatakan bahwa multiverse adalah spekulasi yang tidak bisa dibuktikan secara empiris dan lebih merupakan ide filosofis dari pada ilmiah. Al-Kindi, sebagai salah satu filsuf Islam pertama, menunjukkan bahwa Tuhan adalah pencipta segalanya, sehingga realitas yang tidak kita ketahui pun berada dalam genggaman-Nya.
Al-Qur’an, dengan menyebut Allah sebagai “Rabbul ‘Aalamin” (Tuhan Semesta Alam), memberi ruang untuk interpretasi adanya alam-alam lain yang tidak kita kenal. Dalam hal ini, wahyu menjadi jembatan yang menghubungkan teori multiverse dengan keyakinan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak atas segala alam, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
3. Quantum Physics dan Ketidakpastian
Jika multiverse menambah dimensi baru pada pemahaman kita tentang alam semesta, fisika kuantum dengan prinsip ketidakpastiannya membawa kita lebih dalam lagi pada kompleksitas realitas yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh akal manusia
Werner Heisenberg, dengan Uncertainty Principle-nya, menjelaskan bahwa dalam dunia kuantum, tidak mungkin mengetahui posisi dan kecepatan partikel secara bersamaan. Hal ini memicu perdebatan tentang batasan pengetahuan manusia.
Heisenberg sendiri menerima ketidakpastian ini sebagai realitas yang tidak bisa dielakkan. Albert Einstein, di sisi lain, terkenal dengan kritiknya terhadap ketidakpastian ini, dengan mengatakan, “Tuhan tidak bermain dadu”, menolak ide bahwa alam semesta bisa bersifat acak.
Menguatkan pendapat Einstein, pemikir terkanal dengan syair-syair cintanya, Jalaluddin Rumi mengajarkan bahwa kehadiran Ilahi mengatur segala sesuatu, dan wahyu menjadi panduan bagi manusia untuk menerima keterbatasan ini dengan rendah hati.
Al-Qur’an, melalui berbagai ayat seperti Surat Al-Baqarah [2:255], mengingatkan bahwa ada aspek dari realitas yang berada di luar jangkauan pengetahuan manusia. Ketidakpastian ini, dalam pandangan Islam, tidaklah sepenuhnya acak, melainkan sebuah tanda keterbatasan manusia yang harus ditundukkan di bawah kebijaksanaan ilahi.
4. Kloning dan Modifikasi Genetik
Teknologi modern terus menggali batas-batas ciptaan Tuhan melalui penelitian bioteknologi seperti kloning dan modifikasi genetik, yang sekali lagi memicu pertanyaan etis dan filosofis tentang peran manusia dalam menciptakan kehidupan ilmuwan seperti Ian Wilmut, yang berhasil mengkloning domba Dolly, membuka pintu bagi perkembangan kloning manusia .
Namun, etika kloning menjadi topik yang diperdebatkan, dengan tokoh seperti Leon Kass mengkritik bahwa kloning manusia dapat merusak konsep kemanusiaan itu sendiri. Kass menekankan bahwa kloning mereduksi manusia menjadi produk yang dapat dimanipulasi, yang melanggar martabat dan keunikan individu.
Ajaran Islam menegaskan bahwa penciptaan dan kehidupan adalah hak mutlak Allah. Demikian Al-Jahiz, ulama dan ahli zoologi Islam pertamamenekankan bahwa setiap makhluk memiliki martabat dan tujuan yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Ustadz Zainuddin Musaddad, anggota Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah dalam suatu kesempatan mengisi kajian wahyu pertama ini menyampaikan Surat Al-Mu’minun (23:12-14), sebagai elaborasi dari kata ‘alaq’. Bagaimana Al-Qur’an menggambarkan penciptaan manusia sebagai proses yang dikendalikan sepenuhnya oleh Allah, menekankan bahwa meskipun manusia bisa memanipulasi genetic—bayi tabung, mereka tetap tidak bisa menandingi ciptaan Allah yang sempurna.
Dalam Surat Ar-Ra’d Ayat 16, Allah SWT berfirman “…apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka? Katakanlah: ‘Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa’”
Dengan demikian, wahyu menjadi “benang hijau” yang mengingatkan manusia untuk tidak mengambil alih peran Tuhan dalam penciptaan. Meskipun ‘berhasil’ rekayasa tersebut tidak lepas dari hukum-hukum Allah yang sudah ditetapkan (sunnatullah).
5. Eksplorasi Luar Angkasa dan Pencarian Kehidupan Ekstraterestrial
Seolah tak puas dengan eksplorasi sains di bidang biologi dan genetika, manusia juga terus mencari jawaban di luar bumi melalui eksplorasi luar angkasa. Pencarian kehidupan ekstraterestrial menambah dimensi baru dalam pencarian intelektual yang mencoba menjawab pertanyaan eksistensi.
Carl Sagan, dengan misi pencarian kehidupan di luar bumi, adalah salah satu ilmuwan yang berkontribusi besar dalam eksplorasi luar angkasa. Namun, tokoh seperti Stephen Hawking memperingatkan bahwa mencari kehidupan ekstraterestrial bisa berisiko jika kita bertemu dengan peradaban yang lebih maju dan mungkin tidak bersahabat.
Sebagai ilmuwan Muslim, Al-Biruni yang pernah melakukan percobaan mengamati bintang, menunjukkan bahwa pengetahuan manusia tentang alam semesta harus selalu dihubungkan dengan kebesaran Tuhan.
Kembali Al-Qur’an memberikan wawasannya tentang eksistensi makhluk hidup di luar bumi. Dalam Surat Ash-Shura [42:29], disebutkan bahwa Allah menciptakan kehidupan di langit dan bumi, menunjukkan bahwa ciptaan Allah tidak terbatas pada apa yang kita ketahui.
Dengan demikian, wahyu ini menjadi “benang hijau” yang mengaitkan eksplorasi ilmiah dengan kebesaran Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Bahkan menantang sekaligus memberikan jawabannya sebagaimana firmanNya pada ayat ke-33 dari surat Ar-Rahman:
“Wahai bangsa jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”
Al-Quran “Benang Hijau” Umat Akhir Zaman
Pada akhirnya, segala upaya intelektual manusia, betapapun mendalam dan beraneka ragamnya, selalu berhadapan dengan batas yang tak terelakkan. Dari filsafat hingga sains, pencarian manusia akan kebenaran kerap kali membawa pada jalan buntu atau ketidakpastian.
Namun, di titik inilah wahyu hadir sebagai penuntun, benang hijau yang menghubungkan keterbatasan akal manusia dengan dimensi keimanan, yang tak hanya melengkapi tetapi juga melampaui pengetahuan manusia.
Al-Qur’an, sebagai wahyu ilahi, bukan hanya membimbing manusia untuk berpikir dan mencari, tetapi juga menuntun akal untuk tunduk pada kebijaksanaan Allah yang Maha Tinggi. Ketika manusia mulai menyadari keterbatasan akal dalam menjangkau rahasia kosmik dan metafisik, keimanan muncul sebagai dimensi baru yang mengangkat kemuliaan mereka.
Sebagaimana Allah berfirman, “Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11), pengangkatan ini bukan sekadar pengakuan akan keimanan dan ilmu, tetapi juga penyingkapan tabir antara ketidaktahuan dan pengetahuan, yang hanya mungkin melalui bimbingan-Nya.
Dalam keimanan dan ilmu, manusia mencapai puncak kemuliaan yang diberikan oleh Al-Akram, Allah Yang Maha Mulia, sebagaimana disebut dalam wahyu pertama yang memerintahkan manusia untuk membaca dalam nama Tuhan yang menciptakan (Al-Alaq [96]: 1-5). Dalam proses ini, Allah tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga menyingkap rahasia-rahasia yang sebelumnya tertutup.
Pengangkatan derajat ini adalah transisi dari kegelapan dan ketidaktahuan menuju cahaya pengetahuan yang diberikan langsung oleh Sang Pencipta. Manusia, dengan keimanan dan ilmunya, memperoleh posisi istimewa di hadapan Tuhan—bukan karena kesombongan intelektualnya, tetapi karena rendah hati dalam menerima bahwa ilmu hakiki hanya datang dari-Nya.
Dengan demikian, integrasi iman dan ilmu adalah jalan menuju kemuliaan yang sejati. Keimanan bukanlah pengganti akal, melainkan melengkapinya. Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan, tetapi sarana untuk mengenal Tuhan lebih dekat. Dalam perjalanan intelektual manusia, wahyu Al Qur’an sebagai kitabullah dan kalaamullah menjadi solusi yang menghubungkan setiap pertanyaan, menjawab setiap keraguan, dan mengangkat setiap derajat menuju puncak kemuliaan di hadapan Tuhan yang Maha Mulia.
Allah-lah yang menyingkap tabir keterbatasan dan memberikan pengetahuan yang membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari ketidaktahuan menuju pengenalan yang sempurna akan-Nya.
Oleh karena itu, dalam segala keterbatasan intelektual manusia, iman kepada wahyu menjadi pelengkap yang membawa ke arah kebenaran hakiki, menjadikan manusia makhluk yang tidak hanya bijak, tetapi juga mulia di hadapan Allah. Wahyu sebagai benang hijau yang tak terputus, menghubungkan akal dan iman, mengangkat manusia dari kerapuhan pengetahuan menuju kemuliaan pengenalan akan Tuhan. Wa’alhu ’Alam.
*) Rusman Abdillah, S.E, penulis adalah internship researcher di Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)