Al QURAN disamping sebagai manhajul fikr (metodologi berpikir) pula sebagai manhajul hayah (metodologi penerapan kehidupan qurani) untuk mencapai sa’adatud darain (kehidupan bahagia pada dua perkampungan). Sebagai petunjuk dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala Al Quran menyimpan petunjuk dan syarat-syarat keilmuan (asbabul ‘ilm wal makrifah).
Namun, kitab suci yang diturunkan terakhir ini memiliki metodologinya sendiri untuk dipahami/ diserap belum banyak perhatian secara intensif dijadikan materi kajian atau diterapkan orang utamanya umat Islam sendiri.
Al Quran diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan telah ditransmisi serta ditransformasikan oleh beliau kepada umatnya disertai dengan penjelasan-penjelasan yang lengkap (bayyinat minal huda) sebagai sunnahnya sudah dipahami oleh umat Islam.
Tetapi, ada hal penting yang perlu dipahami, Nabi tidak menyampaikan Al-Quran dengan menuruti kehendak beliau, tetapi atas bimbingan langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Beliau menyampaikan setiap kali ada ayat Al-Quran diturunkan, dan berlangsung secara berkesinambungan selama 23 tahun. Bahkan, tata letak urutan surat dalam Al-Quran bukan hasil kreatifitas beliau, tetapi atas arahan & bimbingan Allah Swt (Tafhim al-Quran, Al-Maududi). Merujuk surat Al-Haqqah ayat 44-47.
Bertolak dari tashawwur dapat dipahami bahwa Al-Quran turun dengan caranya sendiri secara bertahap. Dengan demikian metodologi Rasulullah Saw dalam menyampaikan nilai-nilai Al Quran tidak sekaligus/turun 30 juz.
Atas dasar itu secara logis dikatakan bahwa Al-Quran tidak hanya menunjukkan jatidirinya dalam arti menghadirkan subtansinya, tetapi metodologinya sendiri, metodologi qurani. Itulah yang secara lazim dilakukan oleh umat Islam. Kesimpulan ini didukung oleh logika akal dan logika syariat.
Ini diambil karena Al Quran memiliki metodologinya sendiri berdasarkan kenyataan turunnya secara bertahap, bukanlah hujjah akliyah semata tetapi secara eksplisit dinyatakan oleh Allah Swt sebagai metodologi untuk meneguhkan hati dalam memahami, mengajarkan, dan mengamalkan Al-Quran dan mensosialisasikan di tengah-tengah masyarakat.
Jadi fungsi turunnya Al Quran secara sistem memiliki dua fungsi tarbiyah secara internal dan eksternal. Fungsi internal untuk takwinus syakhshiyyah al Jamiah dan secara eksternal untuk takwinul ummah. Agar melahirkan khairul bariyyah dan khairul ummah (QS. Al Furqan (25): 32, QS. Al Isra (17) : 105-106).
Kenyataan sejarah turunnya Al Quran diatas merupakan landasan kuat untuk menyatakan bahwa Al Quran yang tidak diturunkan secara spekulatif tetapi metodologis, yakni tartibun nuzul.
Sejarah membuktikan sepeninggal beliau tidak ditemukan sosok dan komunitas yang memiliki keterikatan yang demikian kuat (iltizam) seperti generasi yang beliau bimbing langsung di pusat pengkaderan di Makkah dan Madinah. Padahal Al-Quran yang diturunkan sama dengan Al-Quran yang kita terima hari ini yang masih terjaga orisinilitasnya.
Apakah sepeninggal beliau sebagai faktor adanya degradasi proses at-ta’amul ma’a al Quran?. Tentu saja tidak, karena beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ketiadaan beliau, al Quran tetap relevan dan potensial untuk dikomunikasikan dari generasi ke generasi melintasi ruang dan waktu. Setelah berlalunya genarasi qurani awal itu, belum muncul person dan umat serupa pada zaman ini.
Padahal materinya tetap terpelihara otentitas dan orisinilitasnya. Dalam hal ini kemungkinan ada dua faktor yang saling terkait.
Pertama, metodologi berquran sudah tidak menggunakan metodologi yang digunakan oleh generasi awal. Kedua, sikap penerimaan generasi berikutnya berbeda secara kontradiktif dengan generasi qurani sebelumnya.
Sistematika Wahyu (SW) harus dipandang demikian. Kebenaran materinya terkait dengan kebenaran cara mengkomunikasikannya kepada umat. Ketika terjadi dikotomi antara maddah (materi) dan manhaj (pola penerapannya) dalam berbagai dimensi kehidupan akan terjadi reduksi makna dan kedahsyatan potensinya.
Adalah benar Al-Quran itu didekati dengan berpikir kritis dan kreatif. Untuk mengembangkan pemahaman terhadap kandungannya. Tetapi pengkajian Al-Quran dengan rekreasi mental dan intelektual betapapun menyodorkan ilmu pengetahuan. Namun, hanya menjadi kekayaan ilmiah semata yang bisa dilakukan oleh siapa saja, baik musyrik, fasiq, kafir, dan zhalim.
Hidayah tidak turun kepada pengkajinya dengan cara demikian. Karena ia menyamakan posisinya dengan ilmu pengetahuan. Hidayah tidak sekedar ilmu pengetahuan. Hidayah tidak sekedar memformat manusia menjadi berilmu, tetapi memberikan kesadaran ilahiyah terhadap pengetahuannya.
Hidayah tidak sekedar memberikan kekuatan berpikir, tetapi memberdayakan potensi dan kekuatan keimanan yang tidak ada habis-habisnya untuk menanam benih-benih kebaikan di taman kehidupan tanpa pamrih.
Adakah metode sekarang ini yang memberi hidayah lebih dari ilmu pengetahuan? Menggugah pola pikirnya yang didahului oleh kesadaran tauhid. Tidak ada. Ia hanya ada pada metodologi qurani yang demikian unik. Metode-Nya dalam menurunkan firman-Nya dan metode itu pula yang diperintahkan kepada Nabi-Nya untuk dipraktekkan dalam kehidupan. Menata ulang pola pikir dan sikapnya untuk menjadi laki-laki qurani (rajulun qurani) yang berjalan di pasar, jalan raya, kantor pemerintah, halte, tempat rekreasi, dst.
Betapa indah cara Allah Swt dalam menjelaskan keadilan-Nya dalam menurunkan kitab-Nya dengan keunikan metodologinya. Ia tidak menghardik kebodohan manusia karena ketidaktahuannya yang seringkali pongah mempertanyakan dengan menantang. Ini adalah sebuah pelajaran yang sangat mendalam bagi yang menentukan pilihan untuk melakukan metodologi ini.
Logika Sistematika Wahyu
Terkait dengan SW sebagai pola dasar, perlu ditinjau dua sisi. Pertama aspek urutan turunnya wahyu. Sampai sekarang ditemukan berbagai perbedaan riwayat. Karena itu, sebagai pola perlu dipilih riwayat mana yang paling logis dan realistis untuk kita ikuti.
Namun jumhurul ulama menempatkan surat al alaq 1-5 sebagai wahyu pertama. Sisi kedua, sebagai pola/pendekatan ia juga harus mencerminkan kaidah umum dari keseluruhan ajaran Islam. Ini yang tidak kalah pentingnya untuk digali dan dikuatkan secara berkesinambungan. Misal: iman mendahului adab dan ilmu. Ini menguatkan Al Alaq sebagai yang pertama. Karena iman adalah prinsip berislam.
Prinsip adalah landasan berpikir dan bersikap. Ibarat pondasi dalam bangunan keislaman maka tentu harus dibangun lebih dahulu. Kemudian al adab qablal ilmi, ini menggambarkan al qalam (akhlaq) pada urutan kedua (sebagai pola dasar), meskipun ada riwayat yang mengatakan bahwa al qalam setelah dakwah.
Perbaikan individu sebelum perbaikan sosial. Ini menguatkan al muzzammil lebih dulu dari al muddatstsir, sekalipun ada riwayat yang mengatakan urutan sebaliknya. Sedangkan Al Fatihah sebagai ummul Qur’an merupakan muara SW sekaligus gerbang untuk memasuki semua ayat dan surat Al Qur’an. Al-Quran, hulu dan hilirnya adalah surat Al-Fatihah.
Yang paling urgen, sebagai gerakan perjuangan, dituntut lurus dalam berinteraksi dengan kemutlakan kebenaran wahyu. Untuk menghindari anti otoritas wahyu. Seperti yang dilakukan oleh peneliti Sistematika Wahyu dari seberang sana. Sebagaimana yang dikenalkan selama ini, dalam berinteraksi dengan metodologi qurani ini memerlukan dua pendekatan. Keduanya tidak perlu didikotomikan.
Pertama, Sistematika Wahyu sebagai materi kajian agar melahirkan pencerahan (kesadaran bertauhid). Yang kedua, sebagai manhaj. Yang kedua ini bagaimana menggulirkan perubahan pada realitas sosial masyarakat jahiliyah saat wahyu diturunkan dan setelahnya.
Tergantung kita perubahan itu hanya bisa dilakukan dengan dua cara yaitu evolusi (gradual) dan revolusi (frontal). Merujuk sejarah, perubahan itu dilakukan selama kurang dari 1/4 abad. Dan sukses memperoleh kemenangan yang bersifat mikro (intishar shughra) dan kemenangan yang bersifat makro (intishar kubra).
Implementasi Sistematika Wahyu
Konsep pendidikan qurani ini disebutkan dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 151, yang artinya: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu (kandungan) Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.”
Konsep pendidikan ideal itu telah diterapkan oleh Nabi Muhammad saw, dan terbukti melahirkan manusia-manusia terbaik terbaik (khoirul bariyyah). Hasil pendidikan Nabi yang mulia itu. Misalnya, dari 40 orang yang dididik di Makkah oleh Rasulullah saw, kemudian menghasilkan 12 ribu manusia-manusia pilihan di Madinah.
Pada khutbatul wada’ dihadiri oleh 130.000 sahabat. Dari jumlah tersebut melahirkan 111 ulama besar. Dari ratusan ulama memproduksi tujuh ulama kibar. Dari ulama kibar melahirkan sahabat kibar yang dimulai dengan nama Abdullah, termasuk didalamnya khulafaur Rasyidin (I’lamul Muwaqiin, Ibnul Qayyim).
Selama kurang dari 1/4 abad masa kenabiannya, Rasulullah saw berhasil melahirkan beberapa pengusaha besar. Misalnya, Utsman bin Afwan r.a. yang kekayaannya senilai 850 juta USD, Zubair bin Awwam r.a. senilai 1 miliar USD atau setara dengan Rp 72 ribu triliun, serta Abdurrahman bin Auf r.a. dengan kekayaan sebesar 3,5 miliar USD dirupiahkan.
Pendidikan Nabi Muhammad saw juga berhasil melahirkan 35 panglima perang. Kualitas seorang panglima perang Nabi itu memiliki kemampuan menaklukan Persia dan Romawi — dua imperium besar terbesar di zaman itu.
Seorang panglima daerah – seperti Pangdam di Indonesia – di wilayah Afrika Utara, mampu membebaskan Andalusia dan kemudian terbangun peradaban Islam lebih dari tujuh abad di sana. Islam memimpin Andalusia mulai tahun 711-1492 M.
Dari madrasah kenabian telah lahir para ulama yang tak terhitung jumlahnya, para birokrat, ahli hukum, mujahid, dan manusia-manusia hebat lainnya yang namanya dicatat dengan tinta emas dalam sejarah manusia dan kemanusiaan.
Dari 6.236 ayat al-Quran, jika dijabarkan, maka akan menjadi kurikulum yang sesuai dan terkolerasi dengan semua aktifitas kehidupan di muka bumi. Misalnya, ada 70 ayat tentang rumah tangga.
Dari penjabaran dan pengaplikasian ayat-ayat itu, telah lahir keluarga-keluarga hebat dalam sejarah Islam, seperti keluarga Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Keduanya adalah anak yatim yang telah ditinggal ayahnya sejak kecil.
Ada 779 ayat tentang peningkatan pengetahuan, 25 ayat tentang tata negara, 70 ayat hukum pidana, 13 ayat hukum acara, 10 ayat tentang bisnis dan seterusnya.
“Apa yang Nabi ajarkan, yang bersumber dari al-Quran, kemudian diterangkan dalam hadits, itu secara luar biasa telah mengubah masyarakat jahiliyah yang tadinya terbelakang, menjadi masyarakat yang tercerahkan dan berkemajuan, bahkan mendapatkan persetujuan dan legitimasi langsung dari Allah.
Masyarakat jahiliyah di tengah gurun tandus berbatu itu telah berhasil bertransformasi menjadi khairu ummah sebagaimana tersebut dalam QS Ali Imran ayat 110 : “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.”
Bertolak dari lintasan sejarah semakin menguatkan keyakinan kita, bahwa umat Islam sejatinya telah memiliki kurikulum pendidikan yang sempurna bersumber dari al-Quran dan Sunnah. Konsep itu telah terbukti dalam sejarah, berhasil melahirkan insan-insan cerdas dan berkarakter.
Manusia-manusia terbaik itu pun kemudian sukses membangun peradaban mulia di seluruh penjuru dunia sepanjang sejarah. Di masa saja Islam hadir, senantiasa menyebarkan rahmat, melalui proses ta’dib, yaitu proses mengadabkan manusia.
Konsep pendidikan qurani itu begitu jelas. InsyaAllah, kita terus berjuang menerapkannya dalam pendidikan integral kita. Tentu saja, kita akan menghadapi tantangan dan ujian yang besar, baik dari luar maupun dari dalam.
Tantangan terbesar dari diri kita sendiri; dari jiwa kita sendiri. Tantangan tersebut tidak mudah dan tidak sederhana. Semoga Allah memandu dan mengarahkan kita untuk menguatkan keyakinan kita terhadap konsep itu. Aamiin. .
Parameter Keislaman Merujuk Sistematika Wahyu
Lantas apa indikasinya bahwa keislaman kita sesuai “Manhaj Nubuwwah”? setidaknya ada delapan indikator yang bisa memudahkan kita sebagai alat ukur mutu keislaman seseorang;
Pertama: Terkikisnya Virus Thagha’
Istilah tagha’ (baca thogho) ini diambil dari surat Al-‘Alaq pada ayat 6. Secara bahasa artinya melampaui batas. Seperti air yang tumpah dari gelas, karena diisi melebihi dari ukurannya. Manusia bersikap thagha karena merasa dirinya serba cukup (ayat 7). Merasa dirinya sudah berharta, berilmu dan berkuasa. Tidak lagi memerlukan bimbingan dari Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى).
Jadi, pertama kali yang harus dilakukan oleh orang yang ingin berhasil mengenal Islam adalah tazkiyatun nafsi (membersihkan hati), berfikir obyektif dan terbuka. Melihat ke langit (Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى)), ke tengah (ayat diri sendiri) dan ke bawah (alam dan seisinya dan tempat kembali manusia).
Jika hati kita belum bisa disterilkan dari kepentingan hawa nafsu, dunia dan kekuasaan, maka mustahil Islam bisa kita serap dan kita nikmati secara baik. Islam yang bisa dijadikan pencegah dari perbuatan fahsya dan mungkar.
Bukan sekedar Islam sebagai pencuci dosa. Bangsa kita yang mayoritas Muslim, tapi buktinya masih banyak melakukan korupsi. Karena ajaran Islam hanya dijadikan penebus dosa sebagaimana agama lain. Dari sini sesungguhnya sudah cukup memadai mutu keislaman kita.
Bahaya laten thagha’ akan berakibat fatal dan krusial. Yaitu membatalkan keislaman kita. Penyakit thagha’ melahirkan tiga kejahatan yang menjadi pemicu penyimpangan manusia sepanjang sejarah. Yaitu, sombong yang diwariskan oleh iblis, serakah (thama’) yang ditularkan oleh Adam as dan hasud yang diwariskan oleh Qabil.
Thagha’ dan iman akan terus berhadap-hadapan sampai hari kiamat. Kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kemusyrikan, al Haqq wal Batil, tidak akan bisa dipertemukan sepanjang sejarah peradaban manusia. Buah dari terkikisnya thagha’ akan mendidik manusia untuk memiliki sikap tawadhu. Rendah hati, selalu memerlukan bimbingan wahyu.
Kedua: Keimanan kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى)
Sasaran al-Quran adalah orang-orang yang beriman. Sekalipun tinggi kualitas keilmuan, peradaban manusia, ketika berinteraksi dengan al-Quran dengan memaksakan pemahamannya atau menyimpan niat yang buruk, al-Quran yang demikian terang, menjadi kabur. Jadi, iman adalah modal utama dan pertama untuk At-Ta’amul ma’a Al-Quran.
Iman, bagaikan air sumur zamzam. Sumber yang dipancarkannya tidak akan pernah kering dan habis sepanjang sejarah peradaban manusia. Iman itulah yang memotivasi pemiliknya untuk istiqomah (konsisten), mudawamah (berkesinambungan), istimroriyah (terus-menerus), tanpa mengenal lelah, dengan sabar, tegar, teguh, tekun, tawakkal, mengajak kepada kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran tanpa tendensi apapun, pura-pura dan pamrih. Tidak mengharapakan pujian, ucapan terima kasih dan balasan serta tidak takut celaan orang yang mencela.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus bergerak menyemai kebaikan-kebaikan di taman kehidupan ini tanpa kenal letih. Karena, ia yakin dalam setiap gerakan yang dimotivasi oleh nilai-nilai keimanan itu tersimpan potensi kebaikan-kebaikan melulu (barakah).
“Taharrak fa-inna fil harakati barakah” (bergeraklah, karena setiap gerakan ada tambahan kebaikan). Dan kebaikan yang ditanam itu akan ia panen, kembali kepada dirinya. Baik secara kontan (langsung) ataupun secara kredit (tidak langsung). Bukan dipanen orang lain. Justru, jika berhenti bergerak, potensi yang dimilikinya tinggal sebuah potensi. Tidak tumbuh dan berkembang. Air yang tidak mengalir, akan menjadi sarang berbagai kuman yang mematikan.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus aktif membendung/ menghalangi berbagai pengaruh negatif kejelekan, kefasikan, kezhaliman, kemungkaran. Karena, semua perbuatan dosa dan maksiat akan menghancurkan dirinya sendiri. Manusia yang bergelimang dalam perbuatan dosa, di dunianya tersiksa, sedangkan di akhirat siksanya lebih menyakitkan.
Imanlah yang mencegah pemiliknya untuk menelola hawa nafsu (syahwat), nafsu perut dan nafsu kelamin. Karena kedua nafsu duniawi itu semakin dicicipi dengan cara yang salah bagaikan meminum air laut. Semakin di minum, bertambah haus.
Ali bin Abi Thalib mengatakan: Tiga hukuman bagi orang yang berbuat maksiat, yaitu penghidupan yang serba sulit, sulit menemukan jalan keluar dari himpitan persoalan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya kecuali dengan melakukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى).
Ketiga: Menjadikan Diri Sebagai Alat Peraga al-Quran
Kita sepakat bahwa al-Quran adalah kitab suci yang orisinil. Ini sudah diberitakan oleh kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Namun secara jujur kita mengakui, betapa jauhnya jarak antara kaum muslimin dengan kitab sucinya.
Bagaikan pemain layang-layang. Umat Islam belum mampu menjadikan dirinya sebagai gambaran kongkrit “al-Quran yang berjalan di pasar, di gedung parlemen, di jalan raya, di rumah tangga, di lembaga pendidikan, di dunia militer” dll.
Faktanya, al Quran sekedar dijadikan mantra, sehingga tidak berefek apa pun pada perubahan pola pikir, sudut pandang, arah kehidupan, orientasi dan perilaku kehidupan dalam skala individu, keluarga, bangsa dan negara.
Agar kita menjadi orang-orang yang berorientasi al-Quran, hendaklah al-Quran menjadi penuntun dan pemandu seluruh kehidupan kita. Sehingga al-Quran merubah kehidupan kita secara total dan merujuk referensi isi al-Quran.
Sikap seorang Muslim terhadap al-Quran seharusnya ada empat hal. Tasmi’, (mendengarkan dengan merenungi isinya), tafhim (memahami), ta’lim (mengajarkan kepada orang lain), tathbiq (mengamalkan), kemudian mengajak orang lain ke jalan Al Quran tersebut. Mustahil mendakwakan al-Quran jika kita sendiri tidak mengamalkannya.
Jadiakan al-Quran sebagai pembelamu (hujjatun laka) atau penggugatmu (hujjatun ‘alaika), demikian Sabda Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Artinya, al-Quran bisa memperkuat sikap kita sebaliknya bisa menghancurkan kita atas sikap-sikap kita yang tak sesuai dengan nilai yang terkandung salam al-Quran.
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: “Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran Ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat[mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri].” (QS. Al Araf (7): 203-204).
Keempat: Menjadikan Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam sebagai Idola
Tujuan puncak orang beriman adalah mencari ridha Allah (Ya Allah Ya Rabbana Anta Maqshuduna, Ridhaka Mathlubuna Dunyana Wa Ukhrona). Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah manusia yang dipilih oleh-Nya untuk menyampaikan wahyu kepada umat manusia.
Tujuan berislam adalah mencari ridha Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى) atau “Allahu Ghoyatuna”. Dan salah satu strategi menjalankannya dalam kehidupan adalah mengikuti Rasulullah Muhammad.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS. Al Ahzab (33) : 21)
Tapi mari kita saksikan pada diri kita semua, saudara kita, atau anak-anak kita. Siapa sosok yang menjadi idola kita atau mereka? Nabikah? Yang cukup menggenaskan, wanita-wanita yang mengidolakan artis pelaku pornografi justu gadis-gadis berjilbab. Jangan-jangan di antara mereka adalah anak kita. Na’udzu Billah min dzalik.
Kelima: Ibadah, Refleksi dari Keimanan
Agar hati bisa dirawat dari berbagai penyakit yang mengotori dan merusaknya, memerlukan ketekunan dalam ibadah kepada-Nya. Untuk menguji kualitas komitmen keimanan seseorang adalah giat beribadah kepada Allah. Baik yang wajib ataupun yang sunnah. Ketaatan beribadah merupakan turunan dari keimanan.
Pengertian iman adalah, “Al imanu tashdiqu bil qalb, iqraru bil lisan wal ‘amalu bil arkan.” (Iman itu diyakini di dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan). Bukan disebut beriman hanya karena dia memakai songkok putih, bergelar haji, tetapi tindak-tanduknya belum mencerminkan seorang Muslim.
Atau tidak bisa seseorang dikatakan sholeh hanya karena dia baik, suka menyumbang fakir-miskin, tetapi dia kafir atau tidak pernah sholat. Seorang yang beriman namanya mukmin. Dan orang Mukmin, dia pasti rajin beribadah dan kuat memegang syariat Allah.
Keenam: Bangkit untuk Inqadzul Ummah
Tidak cukup seorang muslim puas jika melihat dirinya shalih, sedangkan membiarkan orang lain jahat. Islam yang benar, di samping dirinya shalih, pula mengajak saudaranya menjadi shalih pula.
Seorang muslim yang tidak memiliki kepekaan sosial, maka suatu saat keimanan yang dimilikinya akan mengalami degradasi. Karena secara individual orang yang shalih disebut khairul bariyyah, dan membentuk umat sehingga menjadi khairu ummah.
Mustahil menjadi khairu ummah tanpa bahan dasar khairul bariyyah. Insan shalih tidak bisa dipisahkan dari al mujtama’ ash-shalih (masyarakat yang shalih). Jadi, kita dituntut untuk shalih linafsihi dan shalih lighairihi.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran (3) : 110).
Ketujuh: Menegakkan Kepemimpinan Imamah dan Jamaah
Konsekwensi keimanan seseorang adalah berjamaah (berkumpul karena ikatan la ilaha illallah muhammadur rasulullah). Bukan sekedar ikatan kerja. Manusia adalah makhluk sosial. Sekalipun memikul pekerjaan sederhana, misalnya tertawa, mencukur rambut, memerlukan keterlibatan orang lain.
Lebih-lebih melaksanakan ajaran Islam yang demikian lengkap dan mengandung persoalan yang kompleks. Islam bukan sekedar makanan akal, pula konsumsi hati dan perasaan. Islam tidak sebatas dipahami, tetapi perlu diperagakan dalam kehidupan nyata.
Din (konsep) tidak bisa dipisahkan dari daulah (penerapannya). Orang Islam dituntut menunjukkan bahwa dirinya adalah alat peraga al-Quran dan as-Sunnah. Yang berjalan di alam nyata.
Dan Islam tidak akan berdiri tegak dan teraplikasikan secara kaffah tanpa adanya sebuah jamaah yang kuat dan berwibawa. Kita sangat diuntungkan dengan berjamaah, untuk menjaga keshalihan kita. Di samping itu, tidak ada satupun ayat yang menjelaskan orang beriman dengan menggunakan kata tunggal (mufrad), – aman – tetapi memakai isim jama’ – amanuu -.
Kepemimpinan yang dibangun tidak berdiri di atas prinsip laa ilaaha illah muhammadurrasulullah, maka mustahil bisa menguatkan ikatan hati. Sebagaimana kondisi masyarakat Yahudi yang digambarkan dalam al-Quran. Karena masing-masing individu berjiwa kerdil.
Imamah jamaah adalah media yang paling efektif untuk menyederhanakan perbedaan kita dan menonjolkan persamaan.
Mengecilkan persoalan furuiyah (cabang agama) dan membesarkan persoalan ushul (pokok). Karena, perkumpulan kita diikat oleh ikatan yang prinsip (ideologis), La ilaha illah wa Muhammadur Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassalam. Bukan kepentingan pragmatis dan sesaat serta jangka pendek.
Kedelapan: Mewujudkan Ukhuwah Islamiyah
Inilah nikmat tertinggi yang kita rasakan setelah nikmat iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ukhuwwah Islamiyah inilah yang berhasil memutus mata rantai ‘ashabiyah (fanatisme kesukuan), ananiyah (egoisme), keangkuan, kesombongan, atribut dan asesoris lahiriyah, yang menjadi pilar berdirinya masyarakat jahiliyah. Persaudaraan yang diikat oleh ikatan tauhid ini yang bisa mengungguli ikatan kekeluargaan seketurunan.
Inilah sebuah ikatan yang kokoh, karena dibingkai oleh prinsip. Saling cinta mencintai karena Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى). Maka, lahirlah sebuah ungkapan; “Seandainya cinta dan kasih sayang itu telah merasuk dalam kehidupan maka manusia tidak memerlukan keadilan dan undang-undang.”
KH. Kasman Singodimejo salah satu pendiri Muhammadiyah pernah mengatakan;
“Sesungguhnya kaum muslimin sekalipun hanya mengumpulkan kerikil, dalam waktu dekat akan menjadi gunung.” Seandainya jumlah kaum muslimin yang demikian besar dan berhasil menyingkirkan perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka (furuiyah), maka hanya sekedar kencing secara berjamaah di pemukiman Yahudi di Palestina, mereka akan “tenggelam”.
Imam Syafii mengatakan’ “Allah tidak akan menolong umat yang bercerai-berai, baik dahulu, kini dan umat yang akan datang.”
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, kata pepatah Indonesia. Karena, tangan Allah di atas orang yang berjamaah (berkumpul karena ikatan iman), bukan sekedar berhimpun dan bergerombol karena hobi.
Semoga, tulisan ini semakin memperkokoh dan memperkuat identitas keislaman kita semua. Amin.*
*) Ust. H. Sholih Hasyim S. Sos. I, penulis adalah anggota Dewan Murabbi Hidayatullah