AdvertisementAdvertisement

Refleksi Nuzulul Qur’an, Menerangi Indonesia dengan Cahaya Al Qur’an

Content Partner

PERINGATAN malam Nuzulul Qur’an yang jatuh pada 17 Ramadhan, atau pada tahun Masehi ini bertepatan dengan 17 Maret 2025, bukan sekadar peristiwa seremonial dalam kalender keagamaan umat Islam.

Ini adalah momentum sakral yang mengajak kita merenung kembali peran Al-Qur’an sebagai cahaya petunjuk dalam kehidupan, khususnya di Indonesia, sebuah negeri dengan keberagaman budaya dan agama yang kaya.

Dalam suasana bulan suci Ramadhan, yang penuh dengan rahmat dan ampunan, peringatan ini menjadi titik pijak untuk meneguhkan kembali komitmen menerangi Indonesia dengan nilai-nilai Al-Qur’an, melahirkan insan takwa pengabdi Tuhan, dan mengantarkan manusia menjadi pemakmur bumi yang bertanggung jawab.

Ramadhan, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, adalah bulan di mana Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan atas petunjuk itu serta pembeda antara yang hak dan yang batil (QS. Al-Baqarah: 185).

Peristiwa turunnya Al-Qur’an kali pertama pada malam 17 Ramadhan, ini menjadi simbol bahwa wahyu Ilahi adalah lentera yang menerangi kegelapan jiwa dan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, di mana tantangan modernitas, polarisasi sosial, dan degradasi moral kian nyata, cahaya Al-Qur’an menawarkan solusi holistik.

Al Qur’an bukan hanya pedoman spiritual, tetapi juga panduan etis dan sosial yang mampu menyatukan keragaman menuju tujuan mulia: negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur—sebuah negeri yang baik lagi penuh ampunan.

Pada 19 April 2022, Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam sambutannya pada peringatan Nuzulul Qur’an di Istana Negara, mengajak umat Islam menjadikan momentum ini untuk memperkuat kebersamaan dalam keragaman. Pesan ini relevan dan mendalam, mengingat Indonesia adalah mozaik budaya yang kompleks.

Jokowi menegaskan bahwa kebersamaan adalah prasyarat untuk mewujudkan visi negeri yang harmoni dan sejahtera. Pesan ini selaras dengan semangat Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 13:

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”

Ayat ini menegaskan bahwa keragaman adalah anugerah yang harus dikelola dengan kebijaksanaan, bukan dijadikan sumber konflik.

Refleksi atas Nuzulul Qur’an dalam bingkai Ramadhan mengajak kita memahami bahwa tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an adalah membentuk insan takwa.

Takwa, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran: 102, adalah sikap menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran.

Dalam kerangka yang lebih luas, takwa tidak hanya berhenti pada ranah individu, tetapi juga bermuara pada tanggung jawab kolektif sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30).

Ramadhan, dengan ibadah shiyam, qiyam, zakat, dan tarawih, menjadi “madrasah” yang melatih jiwa insan bertakwa untuk disiplin, empati, dan solidaritas—nilai-nilai yang esensial bagi pemakmur bumi.

Namun, tantangan untuk mewujudkan visi ini tidaklah ringan. Indonesia menghadapi dilema antara kemajuan material dan krisis spiritual. Ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, serta maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi bukti bahwa cahaya Al-Qur’an belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan berbangsa.

Di sinilah peringatan Nuzulul Qur’an menjadi panggilan untuk introspeksi: sejauh mana kita telah menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman nyata, bukan hanya bacaan ritual?

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Bukhari). Mengajarkan di sini tidak sekadar berbagi teks, tetapi juga mengimplementasikan nilai-nilainya dalam tindakan nyata.

Peringatan Nuzulul Qur’an 2025 kali ini hendaknya menjadi titik balik untuk mengintegrasikan ajaran Al-Qur’an dalam berbagai aspek kehidupan nasional, mulai dari pendidikan, hukum, lingkungan, hingga kebijakan publik.

Pendidikan berbasis Al-Qur’an, misalnya, dapat menanamkan nilai integritas dan keadilan sejak dini. Sistem hukum yang mencerminkan rahmatan lil ‘alamin dapat menjadi solusi atas ketidakadilan sosial.

Sementara itu, kebijakan publik yang berlandaskan prinsip keberkahan dan keberlanjutan dapat menjawab krisis lingkungan yang kian parah.

Dengan demikian, Indonesia tidak hanya menjadi negeri yang makmur secara material, tetapi juga kaya akan nilai spiritual dan moral.

Islam dan Indonesia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Identitas keislaman telah menjadi bagian dari napas sejarah bangsa, dari perjuangan kemerdekaan hingga pembangunan nasional.

Oleh karena itu, alih alih selalu dicurigai, dimensi-dimensi Islam—termasuk berbagai terminologi di dalamnya seperti dakwah, jihad, syariah, atau khalifah—hendaknya diarahkan untuk satu tujuan bersama: kemajuan umat, bangsa, dan negara.

Peringatan Nuzulul Qur’an pada 17 Ramadhan ini adalah panggilan untuk menyalakan kembali lentera Al-Qur’an di hati setiap anak bangsa. Dalam cahaya itu, kita temukan jalan menuju Indonesia yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur, sebagaimana yang kita cita-citakan bersama.[]

*) Suhardi Sukiman, penulis Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta dan Pengasuh Rumah Qur’an (RQ) Global Jayakarta

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Ramadhan dan Nuzulul Qur’an, Meneguhkan Peran Dai sebagai Pelita Bangsa

MALAM Nuzulul Qur’an, yang diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan, bukan sekadar peristiwa sejarah turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img