Oleh Dr Nashirul Haq, Lc, MA*
“NUN, demi kalam dan apa yang mereka tuliskan. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [Wahyu kedua, surat al-Qalam (68): 1-7]
Menurut keterangan ulama, wahyu kedua turun dengan rentang masa yang cukup panjang, setelah wahyu pertama. Betapa kita bisa melihat, Allah SWT memberi waktu dan kesempatan yang sangat luas kepada Rasulullah SAW untuk mengkaji dan merenungi kandungan wahyu pertama sehingga benar-benar tumbuh kesadaran iman kepada Allah Ta’ala secara utuh dan sempurna.
Pada saat keimanan sudah mantap, mungkin Allah Ta’ala menganggap sudah saatnya Rasulullah SAW diberikan wahyu kedua, ketiga, dan selanjutnya.
Dalam wahyu kedua ini, Allah Ta’ala menanamkan keyakinan kepada Rasulullah SAW akan kebenaran dan keunggulan misi risalah yang beliau terima. Tidak dengan cara indoktrinasi sebagaimana yang sering dilakukan, melainkan dengan membangun kesadaran yang tumbuh di atas ilmu pengetahuan, yang dilambangkan dengan al-Qalam, sebuah pena. Bukan pedang, bukan senjata, tapi pena.
Luar biasa sesungguhnya pendekatan wahyu ini. Ideologi ditanamkan melalui pena, melalui kesadaran. Sesungguhnya di tengah-tengah pertarungan ideologi dunia (saat itu antara Romawi, Persia, dan China), kamu datang dengan ideologi yang benar, yang tidak membuat kamu gila, bahkan kamu akan mendapatkan kemenangan demi kemenangan yang tak putus-putus (ajran ghaira mamnuun), dengan status yang mulia dan agung (khuluqin ‘azhiim).
Engkau akan menyaksikan dan mereka pun akan menyaksikan, siapa sesungguhnya yang gila (kalah, hina, lemah). Dan akhirnya, sesungguhnya Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang benar.
Tolok ukur kebenaran adalah Allah Ta’ala. Apa yang dinyatakan Allah Ta’ala benar, maka itulah kebenaran, sedangkan apa yang dikatakan Allah Ta’ala sesat dan salah, itulah kesesatan dan kesalahan. Kebenaran dalam Islam sangat jelas, tidak abu-abu, tidak ambigu.
“Kebenaran itu adalah dari Rabb-mu, maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu. Al-Kitab itu (al-Qur-an), tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Petunjuk bagi orang yang mau bertaqwa. Maka apakah lagi yang tersisa setelah kebenaran itu selain kesesatan.”
Ideologi, seperti yang sudah kita urai sebelumnya adalah kesadaran yang sudah menjadi keyakinan dan cita-cita, berisikan ajaran yang pasti dan jawaban-jawaban yang mutlak terhadap masalah kehidupan manusia.
Wahyu kedua sepenuhnya mengandung ideologi, yaitu keyakinan dan cita-cita. Keyakinan akan kebenaran risalah yang diterima, dan cita-cita yang pasti serta kemenangan yang akan dicapai. Bahkan dengan jaminan: “Engkau dan mereka akan bersama-sama melihat dengan mata kepala siapa yang sesungguhnya tidak gila.”
Artinya ada jaminan bahwa kemenangan akan diraih pada masa beliau masih hidup, dan itu terbukti dengan penaklukan kota Makkah di masa Rasulullah SAW.
Wahyu kedua juga berisikan ajaran yang pasti dan jawaban-jawaban yang mutlak terhadap masalah kehidupan manusia, yaitu hanya dengan ni’mati rabbik (wahyu al-Qur`an yang kamu terima ini), kamu akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan yang ada.
Wahyu Ketiga
Wahyu ketiga surat Al-Muzzammil [73] ayat 1-10 merupakan metode gerakan yang dimulai dengan metode pembinaan pribadi-pribadi kader pejuang pembawa risalah. Salah satu kunci keberhasilan suatu perjuangan adalah terletak kepada kualitas manusia yang membawa, membela dan mempertahankan perjuangan itu.
Membawa, membela, dan mempertahankan risalah tauhid adalah puncak dari segala perjuangan di atas muka bumi ini. Membutuhkan stamina sangat prima, terutama stamina ruhani, intelektual, dan juga mental, selain stamina fisik tentunya.
Sistem dan metode pembinaan sumber daya insani yang paripurna (insan kaamil) telah diberikan oleh AllahTa’ala kepada Rasulullah SAW melalui wahyu ketiga. Uniknya, pembinaan ini tidak saja berlaku untuk para Sahabat yang merupakan kader Rasulullah SAW. Akan tetapi, lebih utama lagi diperuntukkan bagi pemimpin perjuangan risalah itu sendiri yaitu Rasulullah SAW. Sehingga dikatakan bahwa meskipun shalat Lail (Tahajjud) hukumnya sunnah bagi kaum Muslimin, tetapi menjadi wajib bagi Rasulullah SAW sendiri.
Subhanallah, pemimpin mana di dunia ini yang sanggup memaksa dirinya untuk lebih keras mempersiapkan stamina pribadinya dibandingkan kepada para kadernya. Pemimpin biasanya hanya bisa keras terhadap para pengikutnya, terhadap para kader dan anak buahnya, tetapi sulit untuk keras kepada dirinya sendiri.
Pemimpin perjuangan risalah tauhid, Rasulullah Muhammad SAW adalah pemimpin sejati. Beliau tidak pernah lelah memperkuat kualitas ruhani dan spiritualitasnya sendiri guna memastikan perjuangan dapat berjalan sebagaimana mestinya, dan visi yang dituju dapat berhasil dicapai.
Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menganugerahkan pemimpin kepada jamaah Hidayatullah, yaitu sosok panutan yang setidaknya telah berusaha untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW dalam pembentukan kualitas spiritual, intelektual, dan mental.
Beliau berdua sudah “memaksa” diri mereka untuk menjalankan perintah-perintah dalam wahyu ketiga surat Al-Muzzammil [73] ayat 1-7 secara lebih keras daripada yang ditekankan kepada para kader. Beliau berdua selalu dapat menjadi teladan dan contoh dalam keras, tekun, dan istiqamahnya dalam menjalankan shalat malam, membaca al-Qur`an, berzikir, berkontemplasi, bersabar, bertawakal, dan berhijrah.
Kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar menerima segala amal dan perjuangan beliau, memberikan ampun atas segala kesalahannya, kekhilafannya, dan membalas segala kebaikannya. Juga kepada kita semua para kader dan pengikut beliau. Amiin ya Rabbal ‘alamiin. Wallahu a’lam.
*)Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah. Naskah diambil dari rubrik Khiththah Majalah Suara Hidayatullah edisi September 2019