AdvertisementAdvertisement

Khidmat dari Rawamangun dan Keteguhan Ustadz Ali Usman Menembus Keterbatasan

Content Partner

PADA usia 73 tahun sekarang, Ustadz Ali Usman masih tampak tangguh meski jenggot serta rambutnya telah memutih dan wajahnya dihiasi kerut-kerut pengalaman. Mengenang masa-masa ketika pertama kali ditugaskan ke Cilodong, sekarang Depok, pada tahun 1984, hati beliau dipenuhi oleh beragam emosi.

Keputusan besar itu diambil tanpa didampingi sang istri, Ummi Kalsum, yang saat itu tengah hamil tiga bulan dan terpaksa harus tetap tinggal di Balikpapan. Hanya setelah melahirkan, barulah Ummi Kalsum bisa menyusul Ali, dibantu oleh Maesarah, seorang sahabat setia.

Penugasan ini bukanlah perkara mudah bagi Ali Usman. Ketika perintah untuk pindah ke Jakarta datang, Ali merasa gentar. Jakarta, di benaknya, adalah tempat di mana orang-orang hebat dan cerdas berkumpul, bukan tempat bagi seseorang yang merasa dirinya biasa-biasa saja seperti dirinya. Rasa berat hati berangkat ke Jakarta ini pun ia sampaikan dengan jujur kepada Ustadz Abdullah Said, sosok guru yang amat dihormatinya.

“Jakarta ini bukan kelasnya saya,” ujarnya dengan rendah hati, “karena saya merasa tidak punya apa-apa.” Namun, jawaban yang diterimanya justru membakar semangat dalam dirinya.

“Justru karena itu saya tempatkan kamu di sini,” kata Ali mengutip pesan Abdullah Said itu kepadanya yang selalu diingatnya itu, seolah memahami lebih dalam potensi yang belum disadari oleh Ali sendiri.

Nasihat dari Ustadz Abdullah Said yang paling membekas di hati Ali adalah, “Manfaatkan kebodohanmu itu untuk lebih dekat kepada Allah.” Kalimat sederhana ini menjadi prinsip hidup yang terus ia pegang erat hingga saat ini. Pesan ini mengingatkannya untuk selalu merendahkan diri dan bersandar sepenuhnya pada kekuatan Sang Pencipta.

Peresmian Masjid Ummul Quraa Pondok Pesantren Hidayatullah Depok oleh Ketua Mahkamah Agung Republik (RI) Letnan Jenderal TNI Ali Said, SH, pada hari Jum’at, 18 Syawal 1411/ 3 Mei 1991 (Foto: Istimewa/ Hidayatullah.or.id)

Panti Asuhan Muslimin Putra Mulia

Selama Ali Usman bertugas di Cilodong, ada satu sosok yang selalu diingatnya, yaitu sosok dermawan Haji Agus Soetomo dan istrinya Hj Koes Lawinningsih. Haji Agus bukan sekadar rekan, tapi lebih seperti seorang saudara bagi Ali. Dialah yang pertama kali memulai perintisan Hidayatullah Cilodong dan mewakafkan tanah miliknya untuk menjadi tempat berdirinya pesantren.

“Sebelum saya datang dengan teman-teman enam orang itu, sudah lebih dulu ada keluarga Pak Haji Agus yang diamanahkan menjaga dan tinggal mengurus panti asuhan,” katanya kepada media ini di komplek Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, Jawa Barat, Ahad pagi, 25 Agustus 2024.

Panti cikal bakal Kampus Hidayatullah Cilodong ini ini merupakan bagian dari rencana pengembangan Panti Asuhan Muslimin Putra Mulia di Rawamangun, tempat di mana kebutuhan logistik untuk kader-kader Hidayatullah didatangkan. “Makanya dulu orang orang sekitar mengenalnya pondok ini panti,” imbuhhnya.

Khidmat Panti Asuhan Muslimin Putra Mulia Rawamangun juga menjadi kantor pertama untuk kegiatan Hidayatullah di Jakarta, yang juga sekaligus sebagai rumah tempat tinggal Haji Agus Soetomo sekeluarga.

“Kalau tugas ke Jakarta menginapnya di Rawamangun, waktu itu sebagai kantor sekretariat Hidayatullah di Jakarta,” imbuhhnya.

Ali Usman kerap mengenang masa-masa awal itu sebagai saat-saat yang penuh tantangan, namun juga kaya akan pelajaran. “Kebutuhan seperti beras sering dikirim dari Rawamangun,” katanya dengan nada yang mengisyaratkan betapa berharganya setiap bantuan yang datang, sekecil apapun itu.

Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Ketika pada akhirnya ia harus meninggalkan Cilodong, Ustadz Ali terus membawa spirit yang sama dalam penugasan-penugasan berikutnya. Dari Grogot hingga Tanjung Balai Karimun, prinsip hidupnya tak pernah berubah.

“Saya hanya ingin memahami Islam dengan baik, itu saja, tidak ada kepentingan lain sama sekali,” ungkapnya, menjelaskan motto hidup yang selalu membuatnya tenang dalam menjalankan setiap tugas.

Pengalaman Ali Usman di Tawau, Sabah, Malaysia, pada tahun 70-an juga menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupnya. Di usia yang masih belia, ia berkesempatan bertemu dengan Prof Buya Hamka, seorang tokoh besar yang selalu ia kagumi.

Dia berusaha merangsek dan berhasil menembus kepadatan jamaah di dalam masjid di Sabah pada pertemuan Buya Hamka dengan Tuan Abu Bakar Titingan, Presiden MUIS (Majelis Ulama Islam Sabah) yang pertama kala itu. Disinilah dia berhasil meraih tangan Buya Hamka dan menyalami tangan sang ulama.

“Saya tidak bisa lupa kejadian ini, sejak saat itu saya semakin cinta dan selalu semakin suka dengan buku buku beliau,” ungkap Ali dengan senyum penuh kenangan.

Di lain waktu, di tahun 90-an, ketika Ali membawa sebanyak 80 anak-anak dari Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk belajar di Hidayatullah Balikpapan, ia memberikan pesan yang menjadi bekal hidup bagi mereka. “Ibadah keras, belajar keras, berpikir keras, makan sedikit,” itulah empat hal yang dipesankannya.

Pesan ini ia sampaikan dengan harapan anak-anak itu siap menghadapi kehidupan baru di Gunung Tembak, tempat yang penuh tantangan namun kaya akan peluang belajar.

Dengan menggunakan kapal laut, puluhan anak itu tidak semua dapat melanjutkan perjalanan sampai ke Balikpapan. Sebagian dari mereka turun di pelabuhan pelabuhan Soekarno-Hatta dan dibawa ke Al Bayan Hidayatullah Makassar.

“Tahun 90-an santri Al Bayan banyak santrinya memang dari Flores,” kata Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, dalam obrolan pagi di payungan Guest House Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, Senin, 26 Agustus 2024.

Umroh ke Baitullah

Kehidupan Ali Usman adalah serangkaian perjuangan yang tak kenal lelah, penuh pengabdian, dan selalu diselimuti ketegaran. Hingga di usianya yang senja, Allah menghadiahkan umroh baginya, melalui program yang diselenggarakan oleh Lembaga Amil Zakat Nasional Baitulmaal Hidayatullah (Laznas BMH).

“Ini adalah hadiah terindah dari Allah,” ucapnya dengan suara bergetar saat diwawancarai dalam sesi podcast bersama Kepala Humas BMH Pusat, Imam Nawawi.

Umroh bagi Ustadz Ali bukan sekadar perjalanan spiritual, tapi juga momen untuk memperkuat tekad dalam berdakwah. “Saya akan kembali dengan semangat baru, untuk terus menyebarkan kebaikan dan menebar cinta kasih,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Kisah hidup Ustadz Ali Usman adalah bukti nyata bahwa pengabdian yang tulus tak pernah sia-sia. Di setiap langkahnya, ia membawa pesan bahwa mendekatkan diri kepada Allah adalah jalan terbaik dalam menjalani hidup.

Perjalanan umroh ini hanyalah salah satu episode dari banyaknya kisah inspiratif yang akan terus diukir oleh seorang dai yang tak kenal lelah berjuang di jalan-Nya. (ybh/hidayatullah.or.id)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img