Sebuah pandangan dan eksplorasi awal untuk menyelaraskan karakter konsep Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW) dengan karakter serta tuntutan-tuntutan ormas Hidayatullah
Muqaddimah
Sudah dimaklumi bahwa aktifitas dakwah pada prinsipnya merupakan aktifitas pendidikan, baik terhadap individu maupun masyarakat. Itu dapat berarti pula bahwa teori-teori dalam dunia pendidikan akan cukup relevan untuk dibicarakan dan dikaitkan dengan dunia dakwah.
Atas dasar pemikiran ini pulalah kami menyusun naskah ringkas ini. Sebagian bahan utamanya diambil dari karya Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud yang merupakan paparan komprehensif terhadap filsafat dan praktik pendidikan dari Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Secara umum, dikenal dua pandangan teoretis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya sendiri.
Pandangan pertama berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Di sini, manusia dididik agar mampu memerankan fungsinya secara baik sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara. Singkatnya, seseorang dipersiapakan sedemikian rupa agar mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat, bangsa dan negaranya. Model ini banyak dianut di berbagai negara Islam kontemporer, juga sebagian besar pergerakan maupun organisasi massa Islam modern.
Pada level pergerakan dan ormas Islam, di antara ciri utamanya adalah kecenderungan yang besar untuk berfokus kepada masalah hukum dan politik. Praktisnya, ada kegemaran untuk lebih mengedepankan agenda-agenda penegakan hukum (baca: syari’at) dan meraih kekuasaan politik (misalnya dengan mendirikan atau bergabung ke dalam partai politik).
Sementara, pandangan teoretis kedua, lebih berorientasi kepada pendidikan individu, yang memfokuskan diri kepada kebutuhan, daya tampung dan minat seseorang. Secara umum, pandangan ini terbagi lagi menjadi dua kecenderungan.
Pandangan pertama, berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan manusia agar meraih kebahagian optimal melebihi generasi sebelumnya dalam kehidupan bermasyarakat dan ekonomi. Tepatnya, pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial-ekonomi masyarakat tertentu.
Praktik ini banyak diterapkan dengan memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan atau lembaga-lembaga kursus singkat yang secara intelektual miskin dan cenderung pragmatis. Sayangnya, hampir seluruh negara Islam dan lembaga pendidikan Islam kontemporer tidak menyadari hal ini.
Pandangan kedua, lebih menekankan kepada peningkatan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa manusia. Di sini pendidikan dirancang untuk “menciptakan” manusia sesuai dengan kapasitas, kemampuan dan daya tampungnya yang khusus sebagaimana yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Aliran ini berpandangan bahwa manusialah agen sejarah yang berperan langsung dalam mengendalikan dunia serta dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Pendeknya, aliran ini bercita-cita untuk menciptakan manusia yang baik (rajulun shaalihun fii nafsihi).
Aliran kedua ini dianut oleh hampir seluruh agama besar di dunia, juga sebagian filsafat pendidikan modern yang cukup berpengaruh dewasa ini. Dalam Islam sendiri, penekanan kepada aspek individu bukan berarti meninggalkan samasekali aspek sosial-ekonomi karena pada dasarnya Islam menganut prinsip keseimbangan dan pertengahan.
Karakter Sistematika Nuzulnya Wahyu
Jika kita perhatikan struktur filosofis manhaj SNW, sebenarnya kita dapat dengan mudah menyadari bahwa ia merupakan sebuah metode pendidikan yang lebih berfokus kepada individu. Demikian pula catatan sejarah perjalanan dakwah Rasulullah dalam Periode Makkah yang direkam oleh Sirah Nabawiyah.
Penekanan khusus kepada Periode Makkah perlu diberikan mengingat Manhaj SNW – baik secara filosofis maupun praktik – senantiasa merujuk kepada 5 wahyu pertama, dan itu berarti pula permulaan Periode Makkah. Ayat-ayat yang turun pun lebih sering berbentuk bimbingan individual, sebagaimana tercermin dari berbagai kata ganti orang kedua tunggal (dhamir mufrad mukhathab) yang berulang-ulang tampil di dalamnya.
Secara nyata Rasulullah mendidik para Sahabat pertama beliau melalui pendekatan individual ini. Tidak mengherankan jika tingkat keberhasilannya sangat tinggi meskipun secara potensial kader-kader yang berhasil direkrut datang dari berbagai kalangan dan kualifikasi. Misalnya, ada tokoh-tokoh puncak yang kelak tampil sebagai khalifah semacam Abu Bakar, Utsman dan Ali; ada pula para panglima militer seperti Abu Ubaidah bin Jarrah dan Sa’ad bin Abi Waqqash; ada pengusaha tangguh seperti Abdurrahman bin Auf; dan seterusnya.
Namun, mereka bukan satu-satunya golongan. Sebab pada saat bersamaan ada tokoh-tokoh seperti Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, Khabbab bin ‘Aratt, Shuhaib bin Sinan dan Ibnu Ummi Maktum. Ada pula calon para ulama’ besar semacam Ibnu Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari.
Tentu saja, di belakang deretan ini masih ada sekian banyak nama yang secara sosial-politik tidak menjadi apa-apa. Mereka adalah kaum muslimin yang baik dan sangat berkualitas, namun tidak memiliki peran menonjol atau spesifik di tengah-tengah kaumnya.
Dalam sejarah perjalanan Hidayatullah, menurut pengamatan kami, letak keberhasilan Allahu-yarham Ustadz Abdullah Said dalam mengkader ada di sini. Yakni, kesesuaian antara karakter manhaj yang beliau pergunakan dengan setting lembaga yang beliau bangun. Beliau secara konsisten menerapkan manhaj ini dalam suatu setting lembaga yang dirancang sedemikian rupa sehingga selaras dan sesuai dengan karakter manhaj yang disusunnya.
Kami percaya bahwa keberhasilan beliau terkait langsung dengan situasi dan kondisi di atas. Jelas bahwa sebuah manhaj tidak hadir sebagai yatim-piatu dan terlantar tanpa induk yang menaunginya, sehingga mampu tumbuh berkembang dan berbuah. Dengan sendirinya, perubahan signifikan terhadap setting lembaga akan mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali efektifitas manhaj-nya. Pilihannya hanya satu dari dua: mengubah manhaj –paling tidak memodifikasinya sedemikian rupa agar sesuai dengan situasi-kondisi terbaru– atau bertahan dalam pola lama dan tetap dengan manhaj semula.
Kami menilai bahwa Manhaj SNW – dalam filosofi dan praktiknya selama ini – hanya cocok dengan pola-pola Orsos di masa silam. Apa yang kami maksud dengan pola Orsos bukan pada lembaga penyantunan anak yatim atau panti asuhan, namun pada 3 aspek utama: (1) kampus berikut segala setting lingkungan maupun kultur di dalamnya, (2) ketaatan yang ketat kepada garis komando, dan (3) perhatian yang serius terhadap kualitas maupun kualifikasi setiap individu kader sehingga tetap bisa ditampung dan beraktualisasi walau seperti apapun potensinya.
Unsur kampus adalah perangkat vital dalam Manhaj SNW, yang tanpanya ia hanya akan menjadi santapan intelektual yang mengambang dan tidak jelas. Manhaj ini didesain sebagai perangkat pendidikan individual, dan memang demikian pula yang pernah diterapkan Rasulullah terhadap as-Saabiquun al-Awwaluun.
SNW sangat menekankan kepada pengalaman spiritual dan personal, yang diproses secara intensif melalui saluran tarbiyah yang terjaga dan terkondisikan dengan baik. Ia tidak mungkin disemai dalam lautan massa yang tidak jelas komitmen dan loyalitasnya. Dalam lingkungan yang semacam ini seluruh faktor yang ada dikontrol agar semaksimal mungkin memberi kontribusi positif terhadap tarbiyah. Maka, jangan heran jika televisi dan barang-barang maupun gaya dandan jahiliyah dilarang dengan sangat ketat. Yang termasuk dalam jangkauan kontrol ini adalah kultur maupun aktifitas keseharian warga yang tinggal di dalamnya.
Kami melihat, seiring dengan berubahnya setting kampus-kampus Hidayatullah dewasa ini, maka Manhaj SNW semakin kehilangan keampuhannya. Sekedar contoh, betapa sekarang terasa tidak relevan lagi untuk melarang televisi, musik dan celana jeans di kampus-kampus kita. Bagi sebagian orang, situasi semacam ini dipersepsi sebagai hilangnya kesakralan kampus.
Namun menurut kami, hal itu bermula dari perubahan fungsi kampus sendiri seiring perubahan organisasi, dari Orsos ke Ormas. Dengan proklamasi Ormas, maka secara fisik ia harus menampilkan dan membuka wajahnya kepada khalayak ramai. Dan, sampai saat ini, kampus adalah aset Hidayatullah yang paling dapat diandalkan.
Untuk itu, tidak bisa dihindari bahwa Ormas akan memajang kampus-kampus yang dimilikinya untuk menarik simpati massa. Dalam pengamatan kami, dewasa ini kampus-kampus kita telah beralih fungsi dari basis pengkaderan menjadi instrumen pelayanan publik dan amal usaha.
Sebagai basis pengkaderan, ia harus bersifat eksklusif dan relatif steril, namun sebagai instrumen pelayanan publik dan amal usaha jelas ia harus inklusif dan relatif liberal. Keduanya memiliki paramater yang bertentangan nyaris secara diametral. Sebagai akibatnya, dan ini yang sangat disayangkan, arus dari luar itu merasuk ke dalam diri para aktifis berupa mengendurnya standar nilai dan kecenderungan untuk menjadi liberalis maupun relatifis.
Aspek kedua yang sangat vital bagi Manhaj SNW adalah kepatuhan yang ketat kepada garis komando. Jelas tidak mungkin membangun kader dalam suasana ketaatan yang cair dan ambigu. Contoh paling sukses –dan klasik– adalah militer. Pendidikan yang berorientasi kepada individu mensyaratkan interaksi yang mendalam antara murabbi dan mutarabbi, yang dengan demikin menciptakan basis psikologis untuk saling mempercayai. Kondisi psikologis terakhir ini merupakan prasyarat mutlak sebuah garis komando yang tajam.
Siapapun tidak akan sanggup memberikan ketaatan yang utuh jika ia tidak percaya kepada orang yang memberinya perintah. Ini adalah bahasa iman, yang dengan sangat baik diterapkan oleh militer. Iman mengandung sepenuhnya aspek kepercayaan dalam arti tidak ragu dan bimbang, kestabilan dan persepsi yang utuh. Kita mungkin tidak terkejut dengan adanya kesalingterkaitan ini, sebab antara al-iman, al-amanah (keterpercayaan) dan al-amnu (tenang, stabil) berasal dari akar kata yang sama.
Kita pun dengan jelas melihat bahwa ciri utama penyakit iman di kalangan kaum munafiq adalah keraguan, yakni cacatnya rasa percaya di hati mereka. Singkatnya, ketajaman garis komando semacam itu hanya akan lahir dari interaksi yang mendalam sehingga tercipta rasa saling percaya, dan untuk memperoleh hal terakhir ini harus ada kampus-kampus yang mewadahi, mengondisikan serta mengontrol interaksi kader sehingga terbimbing menuju arah yang dikehendaki.
Aspek terakhir yang menjadi basis efektifitas Manhaj SNW di masa silam adalah perhatian yang serius terhadap kualitas maupun kualifikasi setiap individu kader. Sebenarnya, aspek ini merupakan konsekuensi langsung dari dua aspek sebelumnya, terutama setelah terjadinya interaksi yang mendalam diantara jamaah, terlebih jika situasinya sangat terkendali dalam bentuk kampus pengkaderan yang eksklusif. Dengan sendirinya, setiap orang dapat dikenali dengan baik potensi, karakter, kelemahan, kelebihan, prestasi, cacat, dan segala sesuatunya secara detail. Informasi-informasi inilah yang mengantarkan seorang pemimpin untuk mampu melakukan praktik penunjukan serta penugasan secara relatif tepat. Disini pula fenomena sami’na wa atha’na muncul dengan mudah.
Jadi, menurut kami, konsep kepatuhan mutlak kepada komando (baca: prinsip sami’na wa atha’na) tidak dapat dipahami secara mandiri. Ia harus diletakkan secara adil dan sedemikian rupa pada 3 konteks yang saling terkait ini: (1) adanya kampus yang memungkinkan interaksi mendalam, (2) tingginya tingkat kepercayaan antara pemimpin dan yang dipimpin, serta (3) informasi yang akurat tentang jatidiri setiap kader.
Konsep sami’na wa atha’na pada dasarnya adalah model manajemen yang logis dan cukup dapat diprediksi, bukan sesuatu yang berjalan menurut selera sesaat dan musim-musiman. Kami melihat bahwa dengan prinsip yang seperti itu, dapat dikatakan Hidayatullah tidak pernah menolak atau pilih-pilih kader.
Sudah menjadi cerita legendaris bahwa Allahu-yarham Ustadz Abdullah Said sering memotivasi kader yang hendak beliau kirim ke suatu daerah dengan kata-kata semacam ini; “Kalau kamu merasa bodoh, masa’ kamu tidak bisa mencari orang yang lebih bodoh dari kamu dan ajari dia.” Secara nostalgik, kita cukup tahu bahwa latar belakang kader yang masuk Hidayatullah sangat beragam, dan seluruhnya berfungsi serta dapat didayagunakan dalam mengangkat beban dakwah.
Namun, dewasa ini kita terkesan hanya membuka satu dua pintu saja untuk merekrut kader, dan biasanya hanya lewat amal usaha pendidikan. Artinya, hanya orang-orang yang memenuhi prasyarat tertentu menurut kebutuhan amal usaha pendidikan saja yang bisa masuk dan berdaya guna. Di luar kelompok mereka ini, pasti akan tersingkir dan gigit jari. Secara berseloroh, seorang kawan berkata bahwa sekarang ini kader yang berkarir selain di amal usaha pendidikan hampir pasti tidak ada masa depannya!.
Menurut kami, fenomena ini sangat tidak selaras dengan karakter ajaran Islam yang kaffatan lin-naas dan rahmatan lil-‘alamin. Untuk itu, harus dibuka kembali pintu-pintu rekrutmen itu dan diaktifkan kembali sektor-sektor lain yang dapat mereka garap untuk bersama-sama beraktualisasi menabur amal shalih.
Karakter Ormas
Ciri paling menonjol dari Ormas –dan juga saudara kandungnya: parpol– adalah kecenderungannya untuk bergerak pada level massa. Sudah menjadi keluhan klasik bahwa parpol acapkali tidak melakukan pendidikan politik yang mencerdaskan rakyat, namun hanya memperlakukan mereka sebagai “pendorong mobil mogok” atau “barang dagangan” untuk mendongkrak daya tawar.
Kami kira, banyak pergerakan dan ormas Islam dewasa ini yang cenderung bersikap serupa, baik dalam bentuk pasif maupun ekspansif. Ini menegaskan posisi mereka sebagai penganut pandangan teoretis pertama mengenai tujuan pendidikan, baik diakui atau tidak.
Dengan berubahnya status Hidayatullah dari Orsos menjadi Ormas, otomatis terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam tubuh Orsos. Seharusnya pula telah berlangsung proses transformasi (perubahan bentuk) pada berbagai unsur yang ada di dalamnya agar sesuai dengan situasi-kondisi terbaru. Salah satu yang menjadi objek studi kita kali ini adalah manhaj-nya, yakni SNW.
Pertanyaannya, apakah transformasi itu telah terjadi pada Manhaj SNW? Menurut pengamatan kami, hal itu tidak –atau, belum – terjadi. Apa yang dikenal sebagai Manhaj SNW dewasa ini (baca: di era Ormas) nyaris tidak ada bedanya dengan Manhaj SNW di masa Orsos dulu. Baik struktur filosofis, pendekatan praktis maupun metode penanamannya masih berjalan di tempat. Pada ghalibnya, ini akan menciptakan ketidaksinkronan yang luar biasa dalam berbagai aspek.
Mengapa demikian? Sebagaimana telah kami utarakan di awal tulisan ini, terdapat perbedaan diametral antara karakter Manhaj SNW – seperti dipahami dan diterapkan selama ini – dengan karakter Ormas – yang sejauh ini sudah diterima sebagai realitas kontemporer Hidayatullah. Dalam perspektif teori pendidikan, Manhaj SNW menganut pandangan yang lebih berorientasi kepada pendidikan individu, sementara karakter utama Ormas pada umumnya selaras dengan teori pendidikan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Sebagai konsekuensinya, kedua hal itu saling tidak cocok, sebab prasyarat-prasyarat yang menjadi keharusan mutlak bagi berfungsinya Manhaj SNW tidak bisa dan nyaris mustahil disediakan oleh Ormas, setidaknya sampai saat sekarang ini.
Belajar dari Sirah Nabawiyah
Jika kita mencermati struktur materi dalam Manhaj SNW, terlihat bahwa ia hanya diformulasikan dari 5 wahyu pertama yang diterima Rasulullah. Secara filosofis, ada banyak keunggulan yang dimilikinya, karena memang itu adalah metode yang dipilihkan oleh Allah untuk generasi pertama umat ini.
Namun, jelas bahwa ia hanya akan efektif jika prasyaratnya dipenuhi. Dalam konteks kekinian, yakni di era Ormas, tampaknya hal itu hampir-hampir menjadi sesuatu yang mustahil. Menurut kami, bertahan pada pilihan ini hanya akan memperpanjang dilema, sebab dua hal yang tidak cocok sudah seharusnya tidak dipaksakan untuk berjalan seiring. Secara normatif, hal itu dapat dipandang sebagai tindakan zhulm, yakni menempatkan sesuatu tidak pada posisi yang semestinya.
Sesungguhnya, formulasi yang diperkenalkan oleh Allahu-yarham Ustadz Abdullah Said masih membuka peluang yang melegakan sebagai solusi dari persoalan ini. Sebagai ilustrasi dasar, kami mengajak pembaca untuk memahami fakta-fakta berikut:
Pertama, pola dasar yang dikenal dalam Manhaj SNW selama ini merujuk kepada 5 wahyu pertama yang diterima Rasulullah, yakni al-‘Alaq, al-Qalam, al-Muzzammil, al-Muddatsir dan al-Fatihah. Kedua, bila dirujuk menurut catatan Sirah nabawiyah, penggalan awal kelima surah tersebut tidak mungkin turun melebihi tahun ke-3 kenabian, yang dikenal sebagai periode dakwah tersembunyi (da’wah sirriyah). Sebab, wahyu yang secara eksplisit menandai era dakwah terbuka (da’wah jahriyah) adalah surah al-Lahab, urutan ke-6 dalam tartib nuzuli (tata urutan penurunan). Jadi, ini hanya mencakup fragmen yang sangat sedikit dari 23 tahun sejarah panjang dakwah Rasulullah.
Ketiga, dakwah sembunyi-sembunyi ditandai dengan konsentrasi pembinaan di rumah sahabat Al-Arqam bin Abil Arqam, atau biasa dikenal sebagai Darul Arqam. Keempat, periode ini juga ditandai dengan dakwah melalui jaringan personal, seperti tampak dari orang-orang yang direkrut Rasulullah maupun Abu Bakar. Kelompok pertama ini pada umumnya sudah saling mengenal dengan baik sejak sebelum era kenabian dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi secara moral antara satu dengan lainnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan membaca riwayat hidup mereka yang adalah minoritas orang-orang lurus, santun, berakal, beradab, dan berbagai identitas mulia lainnya. Menarik dicatat bahwa Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan Umar bin al-Khaththab bahkan tidak termasuk dalam jaringan personal ini, yang mengindikasikan di mana posisi mereka di zaman jahiliyah. Umar sendiri secara jujur mengakui hal itu dalam berbagai statemennya kelak di kemudian hari.
Kemudian kelima, setelah berlalunya periode dakwah sembunyi-sembunyi yang disusul dengan dakwah terbuka, perjuangan Rasulullah dan para sahabat berlanjut terus dan – tentu saja – selama itu wahyu senantiasa turun memberikan bimbingannya. Namun, secara umum dapat dikemukakan bahwa dakwah dalam Periode Makkah berjalan dalam level individual, mengingat mayoritas kaum Quraisy menolak dengan keras dan bahkan bersikap kejam terhadap Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.
Kisah penyiksaaan Bilal dan Ammar bin Yasir sekeluarga adalah contoh kecil dari fenomena ini, selain fakta hijrahnya puluhan sahabat ke Abbyssinia (Habasyah). Puncaknya justru terjadi di tahun ke-13, dimana beliau sendiri bahkan diizinkan oleh Allah untuk berhijrah menuju Yatsrib (Madinah). Fakta keenam, satu fakta baru tampak berkebalikan dengan situasi dakwah di Makkah. Pada tahun-tahun terakhir di Makkah itu, sebagaimana dicatat dalam sirah, beliau melakukan dua kali perjanjian dengan dua rombongan jamaah haji Yatsrib yang dikenal dengan Bai’at ‘Aqabah.
Mengiringi perjanjian itu pula beliau mengirim Mus’ab bin ‘Umair, dan kemudian disusul Ibnu Ummi Maktum, sebagai pengajar pertama yang memperkenalkan al-Qur’an kepada penduduk Yatsrib. Dalam tempo dua tahun saja, tidak tersisa satu rumahpun di kota itu kecuali membicarakan Rasulullah dan ajaran yang dibawanya. Saat beliau berhijrah, sambutan warga Yatsrib sangat luar biasa. Kisah ketulusan mereka menjadi cerita teladan yang tak lekang oleh waktu.
Ketujuh, satu hal yang unik, bahwa dalam dua tahun itu, praktis pembinaan dilakukan hanya oleh Mus’ab dan Ibnu Ummi Maktum. Kedua orang ini adalah sahabat yang luar biasa. Namun, dengan tidak mengurangi hormat kepada kedua sahabat ini, jelas mereka tidak sama dengan Abu Bakar atau Umar bin al-Khaththab.
Kami melihat sesuatu yang sangat mengagumkan dalam prestasi pengkaderan Rasulullah, bahwa betapa figur yang bukan kader inti pun sanggup mengemban misi sebesar itu dan sukses. Tidak mungkin lagi ada guru yang sehebat beliau dalam mendidik murid-muridnya. Meski situasi sosial-politik di Yatsrib berlainan dengan di Makkah, namun kisah kesuksesan tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja.
Yang kedelapan, tibalah tahun dimana Rasulullah berangkat berhijrah, dan kisah ini sudah sangat terkenal yang menandai era baru yang dalam sirah disebut sebagai Periode Madinah. Di balik gegap-gempita pembangunan masyarakat Madinah – setelah diubah dari nama lamanya, Yatsrib – mari kita perhatikan bahwa wahyu yang turun pertamakali adalah surah al-Baqarah, disusul al-Anfal, kemudian Ali ‘Imran, al-Ahzab, al-Mumtahanah, an-Nisa’, az-Zalzalah dan al-Hadid.
Menurut para ulama’, surah-surah Madaniyah berjumlah 28 buah dan – menurut Dr. Shubhi ash-Shalih – dapat dibagi menjadi 3 marhalah (periode). Delapan surah yang kami sebutkan secara urut di atas adalah anggota dari Marhalah Madaniyah Ula.
Kesembilan, dalam ‘ulumul Qur’an sendiri, surah-surah al-Qur’an sering dikategorikan menjadi dua, yakni Makkiyah (yang turun dalam periode dakwah di Makkah) dan Madaniyah. Masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki tata urutan atau tartib nuzuli yang jelas dan memiliki rujukan yang dapat dipercaya.
Fakta kesepuluh, jika dakwah di Makkah lebih menekankan kepada pendidikan individu, maka sebaliknya dakwah di Madinah memiliki orientasi kemasyarakatan dan kenegaraan yang lebih jelas. Dakwah mulai terselenggara dalam level massa dan dengan agenda-agenda besar yang menuntut keterlibatan publik dalam skala luas.
Kita menyaksikan di awal periode ini berupa pembangunan Masjid Nabawi, proses penetapan persaudaraan diantara Muhajirin-Anshar maupun sesama muslim secara umum, dan juga penandatanganan Piagam Madinah yang terkenal itu. Bahkan, pada tahun kedua beliau telah mengerahkan lebih dari 300 orang untuk berangkat ke medan Badar. Di zaman itu, dimana umumnya suku-suku sulit bersatu dan mengembara dalam kelompok-kelompok kecil, maka jumlah 300 orang yang dengan tertib berada di bawah satu komando adalah fenomena langka.
Kesebelas, sebagai penutup rangkaian fakta ini, kami kemukakan satu alternatif tata urutan wahyu yang dalam perspektif sirah, teori pendidikan maupun struktur filosofis lebih cocok dengan karakter Ormas, yakni menggunakan tartib nuzuli wahyu-wahyu al-Qur’an dari Periode Madinah.
Manhaj SNW untuk Ormas
Demikianlah, bahwa konsep dan pola dasar Manhaj SNW yang lebih cocok dengan karakter Ormas adalah yang berisi wahyu-wahyu Madaniyah. Bukan berarti kita melupakan konsep dan pola dasar yang selama ini sudah mapan dipergunakan, yakni yang berisi wahyu-wahyu Makkiyah permulaan. Namun, masing-masing memiliki relevansi dan fungsi khasnya masing-masing.
Secara spesifik, Manhaj SNW pola Makkiyah tetap relevan dalam konteks lembaga-lembaga pengkaderan yang dimiliki Ormas, yakni pesantren. Sebagaimana kita ketahui bahwa PDO (Pedoman Dasar Organisasi) Hidayatullah secara eksplisit menyatakan bahwa ia adalah ormas yang berbasis kader. Konsekuensinya, berbagai lembaga pendidikan dan pesantren dalam naungan Hidayatullah harus mampu berfungsi sebagai lembaga pengkaderan, yang salah satu aspek utamanya adalah eksistensi kampus berikut segala sesuatu yang mendukungnya agar berperan maksimal menggembleng kader. Atau, paling kurang harus ada beberapa kampus yang secara khusus didesain untuk tujuan tersebut.
Di lain pihak, Manhaj SNW pola Madaniyah akan menjadi pedoman alternatif dalam menyusun langkah dan program strategis lembaga ke depan, khususnya Ormas – bukan untuk lembaga pengkaderan/pesantren/lembaga pendidikan yang dikelolanya. Seperti sudah disinggung di awal tulisan ini, karakter Ormas umumnya berfokus kepada perjuangan di bidang hukum dan politik. Kedua fokus ini jelas merupakan tema-tema besar yang secara konsisten dan bertahap diuraikan dalam surah-surah Madaniyah.
Kami yakin bahwa al-Qur’an adalah sumber ilmu, petunjuk dan inspirasi yang tidak pernah kering. Jika kita dengan jujur dan terbuka mau menerima petujuk al-Qur’an, pasti berkahnya akan mengalir dari langit dan bumi sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah. Secara umum, kami merekomendasikan struktur isu utama dengan dua pendekatan. Pertama, dengan melihat sekilas dari nama-nama 8 surah yang turun dalam periode permulaan dakwah di Madinah. Kedua, dengan membaca seluruh surah secara utuh, kemudian merinci dan mengelompokkan tema-tema yang dibahas di dalamnya. Selanjutnya, hasil dari kedua pendekatan ini dapat diterapkan pada prioritas program-program Ormas.
Nama Delapan Surah Marhalah Madaniyah Ula
Walau ada perbedaan kecil dalam menempatkan urutan surah, pada umumnya dapat disebut bahwa delapan surah berikut merupakan kelompok pertama wahyu yang diterima Rasulullah dalam Periode Madinah. Kami mempergunakan versi Abul Qasim dan al-Biqa’i yang merupakan versi tartib nuzuli paling terkenal dan banyak dipergunakan, seperti dalam at-Tafsir al-Hadits karya Syekh Muhammad Izzah Darwazah, Tafsir Sinar karya Buya Malik, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Dr. Quraish Shihab maupun edisi Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Depag RI.
Pertama, al-Baqarah. Berdasar asal-usul penamaannya, surah ini banyak berbicara tentang kisah Nabi Musa dan kaum Yahudi, terutama dalam peristiwa penyembelihan sapi betina yang menghebohkan itu. Tampaknya sebagai Ormas, Hidayatullah tidak mungkin menghindar dari berbicara mengenai masalah Yahudi dan sepak terjangnya di dunia internasional. Salah satunya adalah masalah Palestina. Isu Yahudi adalah isu sentral yang menggelisahkan dunia internasional dewasa ini, dan secara khusus merupakan tantangan terbesar yang dihadapi Dunia Islam dan yang secara fenomenal tampil dalam bentuk peradaban Barat.
Kedua, al-Anfaal. Dari namanya jelas bahwa ia berbicara tentang aspek-aspek militer dalam Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa perhatian Ormas Islam di berbagai belahan dunia relatif sedikit terhadap masalah militer ini. Mungkin, inilah salah satu aspek Islam yang paling terlantar di era kontemporer, yang telah digemakan kembali dengan lantang oleh Syekh Abdullah Azzam di Afghanistan, oleh para pejuang Intifadhah di Palestina, dan barisan mujahidin di berbagai wilayah lain. Ini isu sensitif yang harus dikelola dengan sangat hati-hati, agar tidak menjerat Ormas ke dalam jaring-jaring yang sudah ditebarkan oleh musuh-musuh Islam (baca: isu terorisme dan cap Islam fundamentalis/garis keras).
Tentu saja, jihad tidak pernah dibatalkan hukumnya, namun harus diperhatikan syarat dan adabnya. Dalam suasana damai, yang kami maksud dengan perhatian terhadap aspek militer adalah pembinaan yang intensif dan terencana terhadap personel maupun institusi militer itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, sejarah kelahiran militer sebenarnya sangat lekat dengan kaum muslimin dan konsep jihadnya.
Menurut kami, dengan agenda sekulerisasi yang berkesinambungan, militer sekarang cenderung berhadapan vis a vis dengan kaum muslimin. Padahal, mayoritas anggota militer adalah anak-anak dan pemuda Islam juga. Artinya, potensi mereka telah direnggut dari umat ini untuk membela dan memperjuangkan sesuatu yang – secara syar’i – tidak jelas. Sebagai Ormas, membina dan mengembalikan komitmen militer nasional kepada Islam adalah agenda strategis yang dapat diambil.
Ketiga, Ali ‘Imran. Nama surah ini sudah secara jelas menunjukkan isi kandungannya, yakni meluruskan pandangan Kristen yang keliru terhadap Isa putra Maryam dan risalah yang beliau bawa. Dewasa ini, diantara isu kontemporer yang paling berat dihadapi kaum muslimin adalah isu Kristenisasi. Bersama dengan ide-ide Yahudi, agenda Kristenisasi di Dunia Islam juga menunggangi peradaban Barat. Sebagai Ormas, memiliki ikon program menghadang Kristenisasi adalah pilihan yang tidak saja strategis bagi Hidayatullah, tetapi juga mempunyai landasan historis yang sangat jelas dalam sirah.
Keempat, al-Ahzab. Nama surah ini berarti kaum-kaum yang bersekutu. Dalam percaturan politik kontemporer, kaum muslimin tengah menghadapi persekongkolan internasional yang tidak tanggung-tanggung dan melibatkan hampir seluruh negara dengan tanpa kecuali. Pada praktiknya, persekongkolan jahat itu tidak ditujukan kepada sebuah negara atau bangsa sebagai entitas politik, namun lebih kepada kaum muslimin berikut identitas religius yang mereka pertahankan dengan sangat teguh.
Sebab, pada dasarnya, kebanyakan rezim yang saat ini berkuasa memiliki karakter yang sama, yakni pemuja demokrasi ala Barat yang dijajakan terutama oleh Amerika dan Inggris. Sebagai konsekuensinya, mereka akan mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun dengan dalih demokrasi. Di beberapa negara yang menganut sistem monarki, kecenderungan untuk melibas siapapun yang hendak merebut atau mengurangi kekuasaannya tidak pernah surut.
Sebagai Ormas, Hidayatullah harus memiliki sikap dan program yang jelas terhadap masalah persekongkolan internasional ini. Secara khusus, al-Qur’an mengidentifikasi kelompok-kelompok yang bersekutu dan bahu-membahu mengepung kaum muslimin sebagai berasal dari kalangan Yahudi, orang-orang munafik dan kaum musyrikin. Walau kondisi itu merupakan rekaman peristiwa dalam perang Ahzab (dikenal juga sebagai perang Khandaq), pada dasarnya ia tetap relevan sampai hari ini. Minimal, Ormas dapat ambil bagian dengan menghadapi sepak terjang salah satu kelompok tersebut sebagai sumbangsih meretas persoalan umat yang tengah dikeroyok dari segala penjuru bagaikan hidangan di atas meja perjamuan.
Kelima, al-Mumtahanah dan keenam, an-Nisa’. Kedua surah ini berbicara secara gamblang tentang persoalan wanita. Seperti dapat kita saksikan dengan jelas di mana-mana, diantara persoalan paling krusial dewasa ini adalah masalah kaum wanita. Di level wacana, Ormas dapat mengambil peran membendung ide-ide feminisme yang semakin hari semakin mendapat tempat baik di kalangan awam maupun terpelajar. Di bidang lain dapat kita prioritaskan pula penanganan masalah pornografi-pornoaksi, pelacuran, pergaulan bebas, problem wanita karir, pemberdayaan remaja putri dan kaum ibu (sesuai syari’at Islam), dan seterusnya.
Ketujuh, az-Zalzalah. Secara literal, kata ini bermakna gonjang-ganjing, sesuatu yang sangat tepat mendeskripsikan suasana kontemporer di bidang sosial, politik, ekonomi, spiritual dan bahkan kondisi fisik dari alam semesta itu sendiri. Semakin meningkatnya bencana alam, baik dalam jumlah, frekuensi maupun skala kehancuran yang ditimbulkannya, merupakan manifestasi langsung dari zalzalah tersebut.
Secara eksplisit, surah tersebut berbicara tentang hal itu, yang mengilhami kita untuk mempersiapkan “manajemen bencana alam”, misalnya dengan memperkuat Tim SAR atau membentuk divisi khusus tanggap bencana alam. Di sisi lain, disamping memiliki agenda-agenda yang berorientasi hukum dan politik – yang tentunya bersifat duniawi – Ormas tidak boleh lupa untuk tetap mengingatkan umat terhadap kepastian datangnya kehidupan ukhrawi.
Sebagaimana diingatkan oleh surah-surah dalam Manhaj SNW periode Makkah, berfokus kepada akhirat adalah prinsip paling kukuh yang dapat membangun motivasi umat untuk beramal shalih dan menjauhi kemaksiatan. Tanpa peringatan yang intens terhadap visi ukhrawi ini, pada dasarnya Ormas hanya akan tampil sebagai kaki tangan kapitalisme dan ide-ide kufur lain yang perjuangannya hanya untuk meraih kejayaan sesaat di dunia ini. Na’udzu billah.
Kedelapan, al-Hadid. Sekali lagi, nama surah ini yang berarti “besi” mengingatkan kita kepada persenjataan dan kekuatan militer. Tampaknya, mengembalikan komitmen militer ke pangkuan Islam adalah salah satu agenda penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Tema-tema dalam Delapan Surah Marhalah Madaniyah Ula
Kami mengutip utuh materi berikut ini dari software Al Qur’an Digital version 2.1 yang kami cocokkan dengan versi resmi Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Depag RI. Kami mengambil uraian ini dari Muqaddimah yang mendahului terjemahan setiap surah.
Pertama, surah al-Baqarah yang 286 ayat itu turun di Madinah yang sebahagian besar diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281 diturunkan di Mina pada Hajji wadaa’ (hajji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir). Seluruh ayat dari surat al-Baqarah termasuk golongan Madaniyyah, merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat pula ayat yang terpanjang (ayat 282).
Surat ini dinamai al-Baqarah karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67 sampai dengan 74), dimana dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya. Dinamai Fusthaatul-Qur’an (puncak Al-Qur’an) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat yang lain. Dinamai juga surat alif-laam-miim karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim.
Pokok-pokok isinya: 1. Keimanan: dakwah Islamiyah yang dihadapkan kepada umat Islam, ahli kitab dan para musyrikin. 2. Hukum-hukum: perintah mengerjakan shalat; menunaikan zakat; hukum puasa; hukum haji dan umrah; hukum qishash; hal-hal yang halal dan yang haram; bernafkah di jalan Allah; hukum arak dan judi; cara menyantuni anak yatim, larangan riba; hutang piutang; nafkah dan yang berhak menerimanya; wasiyat kepada dua orang ibu-bapa dan kaum kerabat; hukum sumpah; kewajiban menyampaikan amanat; sihir; hukum merusak mesjid; hukum meubah kitab-kitab Allah; hukum haidh, ‘iddah, thalak, khulu’, ilaa’ dan hukum susuan; hukum melamar, mahar, larangan mengawini wanita musyrik dan sebaliknya; hukum perang. 3. Kisah-kisah: kisah penciptaan Nabi Adam a.s.; kisah Nabi Ibrahim a.s.; kisah Nabi Musa a.s. dengan Bani Israil. 4. Dan lain-lain: sifat-sifat orang yang bertakwa; sifat orang-orang munafik; sifat-sifat Allah; perumpamaan-perumpamaan; kiblat, kebangkitan sesudah mati.
Kedua, surat Al-Anfaal, terdiri atas 75 ayat dan termasuk golongan surat-surat Madaniyyah, karena seluruh ayat-ayatnya diturunkan di Madinah. Surat ini dinamakan al-Anfaal yang berarti harta rampasan perang berhubung kata al-anfaal terdapat pada permulaan surat ini dan juga persoalan yang menonjol dalam surat ini ialah tentang harta rampasan perang, hukum perang dan hal-hal yang berhubungan dengan peperangan pada umumnya.
Menurut riwayat Ibnu Abbas r.a. surah ini diturunkan berkenaan dengan perang Badar Kubra yang terjadi pada tahun kedua hijrah. Peperangan ini sangat penting artinya, karena dialah yang menentukan jalan sejarah Perkembangan Islam. Pada waktu itu umat Islam dengan berkekuatan kecil untuk pertama kali dapat mengalahkan kaum musyrikin yang berjumlah besar, dan berperlengkapan yang cukup, dan mereka dalam peperangan ini memperoleh harta rampasan perang yang tidak sedikit.
Oleh sebab itu timbullah masalah bagaimana membagi harta-harta rampasan perang itu, maka kemudian Allah menurunkan ayat pertama dari surat ini. Pokok-pokok isinya: 1. Keimanan: Allah selalu menyertai orang-orang yang beriman dan melindungi mereka; menentukan hukum-hukum agama itu hanyalah hak Allah; jaminan Allah terhadap kemenangan umat yang beriman; ‘inayat Allah terhadap orang-orang yang bertawakkal; hanyalah Allah yang dapat mempersatukan hati orang yang beriman; tindakan-tindakan dan hukum-hukum Allah didasarkan atas kepentingan umat manusia; adanya malaikat yang menolong barisan kaum muslimin dalam perang Badar; adanya gangguan-gangguan syaitan pada orang-orang mukmin dan tipu daya mereka pada orang-orang musyrikin; syirik adalah dosa besar. 2. Hukum-hukum: aturan pembagian harta rampasan perang; kebolehan memakan harta rampasan perang; larangan lari/mundur dalam peperangan; hukum mengenai tawanan perang pada permulaan Islam; kewajiban taat kepada pimpinan dalam perang; keharusan mengusahakan perdamaian; kewajiban mempersiapkan diri dengan segala alat perlengkapan perang; ketahanan mental, sabar dan tawakkal serta mengingat Allah dalam peperangan; tujuan perang dalam Islam; larangan khianat kepada Allah dan Rasul serta amanat; larangan mengkhianati perjanjian. 3. Kisah-kisah: keengganan beberapa orang Islam ikut perang Badar, suasana kaum muslimin di waktu perang Badar, sebelumnya, sesudahnya dan waktu perang berlangsung; keadaan Nabi Muhammad s.a.w. sebelum hijrah serta permusuhan kaum musyrikin terhadap beliau; orang yahudi membatalkan perjanjian damai dengan Nabi Muhammad s.a.w.; kisah keadaan orang kafir musyrikin dan Ahli Kitab serta keburukan orang-orang munafik. 4. Dan lain lain: Pengertian iman, tanda-tandanya dan sifat-sifat orang yang beriman; sunnatullah pada seseorang dan masyarakat.
Ketiga, surat Ali ‘Imran yang terdiri dari 200 ayat ini adalah surat Madaniyyah. Dinamakan Ali ‘Imran karena memuat kisah keluarga ‘Imran yang di dalam kisah itu disebutkan kelahiran Nabi Isa a.s., persamaan kejadiannya dengan Nabi Adam a. s., kenabian dan beberapa mukjizatnya, serta disebut pula kelahiran Maryam puteri ‘Imran, ibu dari Nabi Isa a.s. Surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran ini dinamakan Az Zahrawaani (dua yang cemerlang), karena kedua surat ini menyingkapkan hal-hal yang disembunyikan oleh para Ahli Kitab, seperti kejadian dan kelahiran Nabi Isa a.s., kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. dan sebagainya.
Adapun pokok-pokok isinya: 1. Keimanan: dalil-dalil dan alasan-alasan yang membantah orang Nasrani yang mempertuhankan Nabi Isa a.s.; ketauhidan adalah dasar yang dibawa oleh seluruh Nabi. 2. Hukum-hukum: musyawarah; bermubahalah; larangan melakukan riba. 3. Kisah-kisah: kisah keluarga ‘Imran; perang Badar dan Uhud dan pelajaran yang dapat diambil dari padanya. 4. Dan lain-lain: golongan-golongan manusia dalam memahami ayat-ayat mutasyaabihaat; sifat-sifat Allah; sifat orang-orang yang bertakwa; Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah; kemudharatan mengambil orang-orang kafir sebagai teman kepercayaan; pengambilan perjanjian para Nabi oleh Allah; perumpamaan-perumpamaan; peringatan-peringatan terhadap Ahli Kitab; Ka’bah adalah rumah peribadatan yang tertua dan bukti-buktinya; faedah mengingati Allah dan merenungkan ciptaanNya.
Keempat, surat al-Ahzab terdiri atas 73 ayat, termasuk golongan surat-surat Madaniyah, diturunkan sesudah surat Ali ‘Imran. Dinamai al-Ahzab yang berarti golongan-golongan yang bersekutu karena dalam surat ini terdapat beberapa ayat, yaitu ayat 9 sampai dengan ayat 27 yang berhubungan dengan peperangan al-Ahzab, yaitu peperangan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi, kaum munafik dan orang-orang musyrik terhadap orang-orang mukmin di Medinah.
Mereka telah mengepung rapat orang-orang mukmin sehingga sebahagian dari mereka telah berputus asa dan menyangka bahwa mereka akan dihancurkan oleh musuh-musuh mereka itu. Ini adalah suatu ujian yang berat dari Allah untuk menguji sampai dimana teguhnya keimanan mereka.
Akhirnya, Allah mengirimkan bantuan berupa tentara yang tidak kelihatan dan angin topan, sehingga musuh-musuh itu menjadi kacau balau dan melarikan diri. Pokok-pokok isi surah ini adalah: 1. Keimanan: cukuplah Allah saja sebagai Pelindung; taqdir Allah tidak dapat ditolak; Nabi Muhammad s.a.w. adalah contoh dan teladan yang baik; Nabi Muhammad s.a.w. adalah rasul dan nabi yang terakhir; hanya Allah saja yang mengetahui bila terjadinya kiamat. 2. Hukum-hukum: hukum zhihar; kedudukan anak angkat; dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan nasab (pertalian darah); tidak ada iddah bagi perempuan yang ditalak sebelum dicampuri; hukum-hukum khusus mengenai perkawinan Nabi dan kewajiban istri-istrinya; larangan menyakiti hati Nabi. 3. Kisah-kisah: perang Ahzab (Khandaq); kisah Zainab binti Jahsy dengan Zaid; memerangi Bani Quraizhah. 4. Dan lain-lain: penyesalan orang-orang kafir di akhirat karena mereka mengingkari Allah dan Rasul-Nya; sifat-sifat orang munafik.
Kelima, surat al-Mumtahanah terdiri atas 13 ayat, termasuk golongan surat-surat Madaniyyah, diturunkan sesudah surat Al Ahzab. Dinamai al-Mumtahanah (wanita yang diuji), diambil dari kata “Famtahinuuhunna” yang berarti maka ujilah mereka, yang terdapat pada ayat 10 surat ini. Pokok-pokok isinya: 1. Hukum-hukum: larangan mengadakan hubungan persahabatan dengan orang-orang kafir yang memusuhi Islam, sedang dengan orang-orang kafir yang tidak memusuhi Islam boleh mengadakan persahabatan; hukum perkawinan bagi orang-orang yang pindah agama. 2. Kisah-kisah: kisah Ibrahim a.s. bersama kaumnya sebagai contoh dan teladan bagi orang-orang mukmin.
Keenam, surat An-Nisaa’ yang terdiri dari 176 ayat itu, adalah surat Madaniyyah yang terpanjang sesudah surat Al-Baqarah. Dinamakan An-Nisaa’ karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita serta merupakan surat yang paling membicarakan hal itu dibanding dengan surat-surat yang lain.
Surat yang lain banyak juga yang membicarakan tentang hal wanita ialah surat Ath-Thalaq. Dalam hubungan ini biasa disebut surat An-Nisaa’ dengan sebutan: Surat An-Nisaa’ Al-Kubraa (surat An-Nisaa’ yang besar), sedang surat Ath-Thalaq disebut dengan sebutan: Surat An-Nisaa’ Ash-Shughraa (surat An-Nisaa’ yang kecil). Pokok-pokok isinya, ialah: 1. Keimanan: syirik (dosa yang paling besar); akibat kekafiran di hari kemudian. 2. Hukum-hukum: kewajiban para washi dan para wali; hukum poligami; maskawin; memakan harta anak yatim dan orang-orang yang tak dapat mengurus hartanya; pokok-pokok hukum warisan; perbuatan-perbuatan keji dan hukumannya, wanita-wanita yang haram dikawini; hukum-hukum mengawini budak wanita; larangan memakan harta secara bathil; hukum syiqaq dan nusyuq; kesucian lahir batin dalam sembahyang; hukum suaka; hukum membunuh seorang Islam; shalat khauf; larangan melontarkan ucapan-ucapan buruk; masalah pusaka kalalah. 3. Kisah-kisah: kisah-kisah tentang Nabi Musa a.s. dan pengikut-pengikutnya. 4. Dan lain-lain: asal manusia adalah satu; keharusan menjauhi adat-adat zaman jahiliyah dalam perlakuan terhadap wanita; norma-norma bergaul dengan isteri; hak seseorang sesuai dengan kewajibannya; perlakuan ahli kitab terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepadanya; dasar-dasar pemerintahan; cara mengadili perkara; keharusan siap-siaga terhadap musuh; sikap-sikap orang munafik dalam menghadapi peperangan; berperang di jalan Alllah adalah kewajiban tiap-tiap mukallaf; norma dan adab dalam peperangan; cara menghadapi orang-orang munafik; derajat orang-orang yang berjihad.
Ketujuh, surat az-Zalzalah ini terdiri atas 8 ayat, termasuk golongan surat-surat Madaniyyah diturunkan sesudah surat An-Nisaa’. Nama al-zalzalah diambil dari kata: Zilzaal yang terdapat pada ayat pertama surat ini yang berarti goncangan. Pokok-pokok isinya: Kegoncangan bumi yang amat hebat pada hari kiamat dan kebingungan manusia ketika itu; manusia pada hari kiamat itu dikumpulkan untuk dihisab segala amal perbuatan mereka.
Kedelapan, surat Al-Hadiid terdiri atas 29 ayat, termasuk golongan surat-surat Madaniyyah, diturunkan sesudah surat Az-Zalzalah. Dinamai Al-Hadiid (Besi), diambil dari perkataan Al Hadiid yang terdapat pada ayat 25 surat ini. Pokok-pokok isinya: 1. Keimanan: hanya kepada Allah kembali semua urusan; beberapa sifat Allah dan beberapa Asmaa-ul Husna serta pernyataan kekuasaan Allah di langit dan di bumi. 2. Hukum-hukum: perintah menafkahkan harta. 3. Dan lain-lain: keadaan orang-orang munafik di hari kiamat; hakikat kehidupan dunia dan kehidupan akhirat; tujuan penciptaan besi; tujuan diutusnya para rasul; kehidupan kerahiban dalam agama Nasrani bukan berasal dari ajaran Nabi Isa a.s.; celaan kepada orang-orang bakhil dan orang yang menyuruh orang-orang lain berbuat bakhil.
Penutup
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Muhammad Rasulillah, Ahlul Bait, ummahatul mu’minin dan para Sahabat. Naskah ini selesai ditulis pada hari Senin tanggal 11 Jumadal Ula 1428 H, bertepatan dengan 28 Mei 2007 M. Semoga Allah memberi barakah kepada amal kita semua dan mengampuni dosa-dosa kita, para guru dan orangtua kita. Amin.
[M. Alimin Mukhtar, Alumni STAIL angkatan 1996, sekarang sebagai Ketua Departemen Pengkaderan PD Hidayatullah Malang]