SETIAP kita sangat menginginkan agar mendapati kebaikan, keberuntungan, nasib baik, untuk diri kita sendiri. Sebaliknya, kita pun banyak memohon agar terhindar dari keburukan, kemalangan, dan nasib sial.
Lalu, pernahkah kita mengharap agar orang lain juga mendapatkan kebaikan, keberuntungan dan nasib baik, sama seperti yang kita angan-angankan untuk diri kita sendiri?
Pencapaian iman tertinggi bagi seorang muslim adalah saat ia mampu mengangankan kebajikan tidak hanya untuk dirinya sendiri, namun juga untuk orang-orang lain. Secara umum, sikap ini tertuju kepada sesama manusia, termasuk orang-orang kafir.
Kita seharusnya berharap agar mereka mendapatkan kebaikan iman dan hidayah, sehingga bisa merasakan apa yang kita nikmati saat ini. Lalu, secara khusus, harapan itu tertuju kepada sesama muslim, agar mereka mendapati juga segala kebaikan yang kita angankan dan kejar untuk diri kita sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sebelum ia merasa senang jika saudaranya mendapatkan seperti apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri.” [Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim]
Seringkali hadits ini diterjemahkan secara tidak tepat, menjadi “tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” Ini adalah harapan yang tidak realistis, dan secara bahasa tidak selaras dengan maksud teks aslinya dalam bahasa Arab. Sebab, adakah kita sanggup mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri?
Tuntutan seberat ini hanya layak disejajarkan dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya, bukan mencintai manusia lain yang sepadan dengan diri kita sendiri. Bahkan terhadap orangtua, istri dan anak pun, dimana kecintaan kita kepada mereka biasanya lebih besar, ternyata masih sukar untuk menerapkan terjemahan yang seperti ini.
Sesungguhnya, hadits ini tidak berbicara tentang sesuatu yang mustahil. Allah pun tidak meminta kita mencintai sesama muslim dengan cara seperti itu. Namun, yang tepat adalah, Allah meminta kita untuk tidak egois dan bersedia berbagi.
Allah meminta kita melawan kecenderungan jiwa kita untuk membenci jatuhnya kebaikan kepada orang lain dan berbedanya mereka dengan kita. Bukankah kita lebih sering berharap orang lain sama dengan kita, atau bahkan lebih rendah saja?
Jika kita – sebagai misal – menyukai dan mengharapkan kesejahteraan material untuk diri sendiri, maka Allah meminta kita untuk juga merasa suka dan berharap bila orang lain meraihnya. Ketika kita merasa nikmat dengan sandang, pangan, dan papan yang mencukupi, maka Allah menyuruh kita untuk menyempurnakan iman melalui pengharapan yang sama bagi saudara-saudara kita.
Lebih tinggi dari itu adalah, bila kita tidak merasa keberatan dan tersaingi ketika saudara-saudara kita mencapai prestasi dan kebajikan yang juga kita capai. Kita juga tidak sakit hati bila ada orang yang menjadi lebih shalih, lebih pintar, lebih kaya, lebih dermawan, lebih ini, lebih itu, dan seterusnya.
Dengan kata lain, hadits ini menegaskan larangan sikap hasud (iri-dengki), menganjurkan sikap itsar (mengutamakan orang lain), dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebab, ketika seseorang tidak sanggup merasa senang jika orang lain memperoleh apa yang juga sangat ia harapkan untuk dirinya sendiri, maka ia telah terjangkiti penyakit hasud.
Ketika menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi mengutip pernyatan Imam Ghazali tentang 3 (tiga) tingkatan hasud. Pertama, berharap lenyapnya kenikmatan dari orang lain dan berpindah kepada dirinya sendiri.
Kedua, berkeinginan agar kenikmatan yang ada pada orang lain itu lenyap meski pun tidak berpindah kepada dirinya sendiri, misalnya karena ia juga memiliki hal yang sama dan merasa enggan disaingi. Ini lebih buruk dari jenis yang pertama.
Ketiga, tidak ada keinginan lenyapnya kenikmatan dari orang lain, namun ia merasa sesak jika orang lain itu menjadi lebih tinggi dan lebih baik, dan hanya rela jika sama-sama tanpa ada kelebihan. Jenis ini pun sama haramnya.
Demikianlah. Islam memerintahkan kita untuk bekerja sebaik-baiknya meraih segala kebaikan yang kita harapkan, namun pada saat bersamaan melarang kita merasa berat hati jika ada orang lain yang juga menginginkannya.
Bukankah dunia modern sedang dilanda oleh penyakit-penyakit ini? Nafsu monopoli, persaingan usaha yang tidak sehat, jegal-menjegal promosi jabatan rekan sekantor, praktik suap-menyuap dalam penentuan jatah kursi PNS atau siswa baru, bukankah semua itu anak kandung dari sikap hasud?
Apa lagi nama dari tindakan-tindakan tidak rela bila ada pelaku usaha lain yang lebih maju, rekan sekantor yang naik jabatan, teman yang diterima sebagai PNS, anak orang lain yang sukses masuk sekolah favorit, selain sikap iri, dengki, alias hasud?
Inilah salah satu penyakit paling berbahaya yang sering diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya, hadits di atas adalah bentuk implisit dan tidak langsung dari larangan yang beliau sampaikan dalam redaksi lain, “Jauhilah hasud (iri-dengki). Sebab hasud akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar – atau, menurut riwayat lain – rumput.” [Hadits riwayat Abu Dawud].
Karena iri-dengki pulalah permusuhan antar pelaku usaha terjadi, hidup bertetangga menjadi tidak harmonis, pertemanan berubah menjadi permusuhan, dan sesama saudara kandung akhirnya tidak saling menyapa. Na’udzu billah min dzalik.
Ust. M. Alimin Mukhtar