MENJELANG matahari menumpahkan sinar kuatnya, saya membaca buku karya Simon Sinek. Judulnya “Leader Eat Last.” Saya tertarik pada uraian tentang bagaimana kelompok manusia (organisasi) terperangkap lingkaran setan.
Kondisi itu akan terjadi jika dalam sebuah organisasi, satu sama lain mulai kehilangan sikap antusias dalam kerjasama.
Hal yang utama dalam kehidupan sosial dan organisasi adalah sikap mau saling membantu, percaya satu sama lain, itu adalah pelindung terbaik dari perpecahan.
Begitu sebuah organisasi kehilangan hal positif itu, maka satu sama lain akan sulit nyambung apalagi mau saling bantu.
“Keinginan kita membantu rekan kerja atau organisasi menjadi berkurang. Dan dengan rendahnya komitmen, keinginan rekan kita untuk membantu kita juga menurun. Lingkaran setan mulai bergerak,” tulis Sinek.
“Semakin sedikit rekan dan pemimpin kita peduli kepada kita, semakin sedikit pula kita peduli kepada mereka. Semakin sedikit kita peduli kepada mereka, semakin egois mereka, dan, hasilnya, semakin egois juga kita. Jika hal itu terjadi, akhirnya semua orang kalah,” tegasnya melanjutkan.
Situasi seperti itu menunjukkan organisasi kehilangan banyak dopamin, satu hormon yang menimbulkan rasa puas atas kerja keras yang membuahkan hasil.
Terapkan Prinsip Membangun Tim
Tentu saja selanjutnya kita perlu berpikir apa yang harus disiapkan, agar tim tidak kehilangan dopamin.
Secara teori ada banyak rujukan. Namun dalam dimensi praktik yang teruji kita bisa melihat sejarah Nabi SAW dalam membangun masyarakat. Catat, masyarakat, bukan lagi sebatas tim.
Rumus dari Nabi SAW adalah bagaimana kita bisa saling mengucapkan salam, afsus salam.
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim).
Hadits itu bukan saja menerangkan urgensi afsus salam, tetapi juga fungsi dan fadhilah dalam kehidupan setelah dunia. Artinya, kita harus antusias melakukan itu, afsus salam, menebarkan salam.
Menebar Kebaikan
Afsus salam sendiri mendorong kita menyebarkan salam. Artinya, bertemu siapapun, lebih-lebih keluarga atau tim dalam bekerja, maka idealnya kita saling menguatkan dalam doa, perkataan maupun tindakan.
Dan, hal itu telah menjadi teladan sejarah yang kita perlu terus memahami dan menyegar-nyegarkan dalam kehidupan saat ini.
Bagaimana antara Muhajirin dan Anshor langsung hidup bersama, bersatu, saling menjaga dan saling membantu. Mereka bahagia melakukan itu semua.
Pada akhirnya mereka punya stok “dopamin” yang melimpah, sehingga sinar dakwah Islam menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Tentu mudah kita membacanya dalam sejarah. Tetapi karena dunia memang butuh proses dan waktu, maka semua ini adalah bekal penting untuk bisa berpikir maju dan berorganisasi dengan kuat, bukan lemah. Apalagi terperangkap lingkaran setan.*
*) Mas Imam Nawawi, penulis bergiat di lembaga kajian Progressive Studies and Empowerment Center (Prospect) | prospect.or.id