Oleh KH Muhammad Syakir Syafi’i*
DALAM Bab I Pasal 1 Pedoman Dasar Organisasi (PDO) disebutkan bahwa Hidayatullah adalah organisasi yang berbadan hukum perkumpulan, dan merupakan kelanjutan dari Pesantren Hidayatullah dan cabang-cabangnya yang didirikan pertama kali oleh Ustadz Abdullah Said pada hari Senin, tanggal 1 Muharram 1393 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1973. Sehingga, pada bulan Muharram 1443 ini, Hidayatullah telah genap berusia 50 tahun.
Dalam sejarah perintisan dan penyebarannya, Hidayatullah identik dengan pesantren. Dapat dikatakan, eksistensi Hidayatullah di semua jaringan, baik di tingkat pusat, wilayah maupun daerah, diawali dengan pendirian sebuah pesantren.
Pada umumnya, pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan penting moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. (Zamakhsyari Dhofier: Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1994).
Namun, bagi Hidayatullah, Pesantren memiliki makna historis dan sekaligus filosofis yang lebih luas, lebih dari sekadar sebagai lembaga pendidikan sebagaimana dikenal pada umumnya.
Simbolisasi Gerakan
Allahuyarham Ust Abdullah Said, dalam berkomunikasi dengan para santri atau pun masyarakat secara umum, dikenal sebagai sosok guru dan pemimpin yang sangat kaya dengan bahasa-bahasa simbolik. Beliau sering melontarkan istilah-istilah yang bukan dalam arti sebenarnya, tapi merupakan simbol dari makna lain yang beliau maksudkan.
Bahasa simbolik biasanya digunakan untuk memudahkan pemahaman bagi para pendengar dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pikiran dan kehidupan mereka.
Pada periode awal pendirian pesantren, beliau menyebut Pesantren Hidayatullah sebagai “sarang laba-laba”. Sebutan tersebut merupakan bahasa simbolik yang diinspirasi oleh sejarah perjalanan hijrah Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq, dari Makkah menuju Madinah (Yatsrib).
Disebutkan bahwa dalam perjalanan hijrah, dimana beliau berada dalam target pengejaran dan pembunuhan oleh kaum Quraisy, beliau bersembunyi di gua Tsur dengan ditemani oleh sahabatnya. Beliau berdua akhirnya selamat.
Para pengejar yang sudah berada di depan mulut gua tidak jadi masuk ke dalamnya, karena di mulut gua ada sarang laba-laba yang masih utuh dan tidak rusak. Para pengejar berkesimpulan, bahwa Rasul dan sahabatnya itu tidak mungkin bersembunyi di dalamnya karena adanya sarang laba-laba yang masih utuh itu. Dengan ijin Allah, sarang laba-laba telah menjadi sebab selamatnya beliau dari operasi jahat tersebut.
Pesantren Hidayatullah disimbolisasi dengan sarang laba-laba, karena bentuk kelembagaan pesantren diikhtiarkan dapat menjadi sarana perlindungan (dari Allah) bagi misi gerakan beliau yang sebenarnya, yaitu upaya mewujudkan ajaran Islam secara kaffah, sebagai rahmat bagi segenap alam.
Pada dekade tahun 1970 dan 1980-an, sudah jamak dipahami bahwa rezim Orde Baru acapkali menaruh kecurigaan dan bertindak represif terhadap gerakan-gerakan keislaman yang muncul. Aroma islamophobia dan stigmatisasi pada gerakan-gerakan keislaman, berhembus dengan kuat.
Keberadaan pesantren sebagai soko-guru lembaga pendidikan di Indonesia, serta kondisi sosio-politik yang berkembang pada dekade tersebut, telah menjadi salah-satu pertimbangan bagi Allahu Yarham Ustadz Abdullah Said dalam mendirikan Pesantren Hidayatullah.
Karena itulah, hingga akhir tahun 1990-an, Hidayatullah lebih dikenal sebagai pesantren daripada sebagai gerakan keislaman (harakah islamiyah) secara umum.
Hingga pada tahun 2000, Hidayatullah secara resmi mendeklarasikan diri sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, dengan visi gerakan “Membangun Peradaban Islam”.
Transformasi gerakan dari lembaga sosial menjadi organisasi kemasyarakatan telah menempatkan organisasi Hidayatullah sebagai organisasi induk, sedangkan Pesantren Hidayatullah menjadi salah-satu saja dari amal usahanya yang beraneka ragam.
Hal yang menarik di awal periode ini ialah, bahwa upaya untuk menyukseskan program konsolidasi dan sosialisasi tentang eksistensi. Hidayatullah sebagai ormas beserta amal-usahanya, Pesantren Hidayatullah disimbolisasi dengan “sarang lebah”. Simbolisasi demikian dipandang memiliki pengaruh yang kuat dalam komunikasi untuk suatu agenda transformasi atau perubahan.
Al-Quran juga banyak menggunakan bahasa simbolik, yang salah-satu bentuknya disebut tasybih-tamtsiliy (perumpamaan). Kita mendapati perumpamaan-perumpaman yang sangat beragam dalam al-Quran.
Sehingga, sejumlah ulama ada yang menyusun kitab secara khusus dengan topik mengenai perumpamaan-perumpamaan dalam al-Quran. Misalnya “al-Amtsal fil-Quranil Karim”, karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Di antara bentuk perumpamaan dalam al-Quran ada yang kemudian dijadikan nama surah, yaitu surah al-‘Ankabut (laba-laba) dan surah an-Nahl (lebah).
Dalam al-Quran disebutkan, lebah adalah binatang penghasil madu yang sangat besar manfaatnya bagi manusia (QS. an-Nahl: 69). Bahkan, di surga nanti, orang beriman dan bertakwa akan mendapatkan balasan sungai-sungai yang airnya berupa madu (QS. Muhammad: 15).
Dengan simbolisasi sebagai “sarang lebah” berarti Pesantren Hidayatullah telah menetapkan positioning-nya yang otentik. Ia tidak hanya menyediakan nutrisi yang dibutuhkan bagi perkembangan hati dan pikiran manusia, tapi sekaligus sebagai obat yang membangun sistem imunitas dan membawa kesembuhan bagi manusia dari berbagai penyakit kehidupan.
Dalam hadis juga disebutkan tentang perumpaman orang mukmin sebagai lebah; bahwa lebah hanya makan dari yang serba baik (saripati bunga), menghasilkan sesuatu yang serba baik (madu), dan ketika hinggap di dahan, ia tidak pernah mematahkan dan merusaknya (H.R. Ahmad).
Demikianlah perumpaman orang mukmin, dan demikian pula simbol dari sikap, peran dan kontribusi yang harus diperankan oleh Pesantren Hidayatullah sebagai “sarang lebah”.
Peranan Pesantren Hidayatullah
Selain memiliki PDO, Hidayatullah juga menetapkan sejumlah Peraturan Organisasi (PO) yang mengatur banyak hal demi terwujudnya tata kelola organisasi dan amal-amal usahanya secara profetik dan profesional. Salah-satu PO yang telah ditetapkan adalah PO tentang Pesantren Hidayatullah No. 3 Tahun 2015, yang merupakan perubahan dari PO sebelumnya.
Dalam PO tersebut disebutkan bahwa visi Pesantren Hidayatullah ialah “Terwujudnya Miniatur Peradaban Islam”. Dan, guna mewujudkan visi di atas, Pesantreh Hidayatullah menjalankan sejumlah misi, yaitu: (a) mewujudkan masyarakat berjamaah, bersyariah, unggul dan berpengaruh; (b) menggerakkan dakwah dan rekrutmen anggota; (c) menyelenggrakan pendidikan integral berbasis tauhid; (d) menyelenggakan pasar syariah dan ekonomi keummatan yang berdaya saing; (e) memberdayakan kaum dhuafa dan mustadhafin; (f) mengembangkan lingkungan kampus yang alami, ilmiah dan islamiah.
Selain visi dan misi Pesantren Hidayatullah di atas, PO No. 3 Tahun 2015 juga menetapkan fungsi Pesantren Hidayatullah, yaitu sebagai: (a) Kampus peragaan syariat Islam, (b) Kampus dakwah dan rekrutmen anggota, (c) Kampus pendidikan dan perkaderan, (d) kampus pemberdayaan ekonomi, (e) kampus peduli dhu’afa dan mustadh’afin.
Alhamdulillah, ratusan jumlah Pesantren Hidayatullah yang telah tersebar dari Aceh sampai Papua, telah turut berkiprah dan bersinergi dengan pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana dicita-citakan oleh para ulama dan tokoh-tokoh pendiri bangsa.
*) KH MUHAMMAD SYAKIR SYAFI’I, penulis adalah Ketua Departemen Kepesantrenan DPP Hidayatullah