BAUBAU (Hidayatullah.or.id) — Kampus Madya Pondok Pesantren Hidayatullah Baubau menjadi tuan rumah penyelenggaraan Dauroh Marhalah Ula (DMU) Hidayatullah Zona wilayah Kepulauan Buton (Kepton) yang berlangsung pada 13-15 Jumadil Awal 1446H (15-17 November 2024).
Kegiatan ini mengusung tema yang visioner, “Transformasi Manhaj Hidayatullah Menuju Terwujudnya Peradaban Islam,” dengan misi memperkuat pemahaman manhaj serta komitmen kader dalam upaya mewujudkan transformasi peradaban Islam.
Sebagai tonggak utama dalam jenjang perkaderan Hidayatullah, kegiatan ini menyasar kader-kader muda yang diharapkan menjadi penggerak perubahan masyarakat berbasis nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketua DPW Hidayatullah Sulawesi Tenggara, Ustaz Ahmad Syahroni, M.Pd., membuka acara dengan menekankan pentingnya kualitas kader sebagai inti keberhasilan dakwah.
“Untuk memperbaiki diri, keluarga, institusi, dan umat, kuncinya adalah manhaj Sistematika Wahyu sebagaimana dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam merubah umat,” katanya, menegaskan manhaj sebagai pijakan aplikatif dalam segala aspek kehidupan mencakup tatanan yang dimulai dari pembinaan individu hingga transformasi masyarakat luas.
Pelaksanaan DMU bertujuan menjadi katalisator perubahan yang berkesinambungan. Menurut Ustaz Ghiro Amrullah, S.Sos.I., Ketua Panitia Wilayah, kegiatan ini terbagi menjadi dua zona, yaitu Zona Daratan di Kendari dan Zona Kepulauan di Baubau.
“Alhamdulillah, kami bangga agenda Dauroh Marhalah Ula tahun ini terlaksana dengan baik. Semoga menjadi gerbang jenjang perkaderan formal bagi kader-kader pelanjut gerakan dakwah Hidayatullah di Sultra,” ujarnya.
Dauroh Marhalah Ula melibatkan partisipasi yang meluas, mencakup pengurus, warga, dewan guru, karyawan, hingga santri tingkat akhir. Di Zona Kepton, terdapat 19 peserta ikhwan dan 35 peserta akhwat, sementara Zona Daratan diikuti oleh 18 peserta ikhwan dan 43 peserta akhwat.
Transformasi peradaban Islam sebagaimana diusung dalam tema dauroh tidak terlepas dari pendekatan manhaj Sistematika Wahyu. Pendekatan ini bertumpu pada prinsip bahwa perubahan dimulai dari pemahaman mendalam terhadap wahyu Allah sebagai pedoman hidup. Dalam pada itu, kegiatan dauroh bertujuan menanamkan tiga pilar utama yaitu tarbiyah (pendidikan), tazkiyah (penyucian jiwa), dan da’wah (penyebaran kebaikan).
Instruktur yang terlibat dalam kegiatan ini berasal dari DPW, DMW, PW Muslimat Hidayatullah (Mushida), dan MMW Sultra. Mereka berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam upaya membentuk kader yang memiliki wawasan luas serta kemampuan praktis dalam memimpin perubahan.
Sejalan dengan hal ini, Hidayatullah juga mengadakan halaqah kader mingguan sebagai tindak lanjut dauroh untuk mendalami gerakan manhajiyah secara sistematis.
Ustaz Ahmad Syahroni menekankan pentingnya kesinambungan program ini, *“Melalui dauroh ini, peserta diharapkan dapat memperdalam pengetahuan dan keterampilan untuk berkontribusi dalam gerakan Hidayatullah”.
Pendidikan berbasis manhaj Sistematika Wahyu tidak hanya mengedepankan aspek spiritual, tetapi juga mendorong penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Hal ini relevan dengan pandangan tokoh pendidikan Islam modern, seperti Syed Naquib al-Attas, yang menyatakan, “Pendidikan sejati adalah proses pengenalan dan internalisasi adab, yang mengarahkan manusia kepada harmoni dengan tatanan Ilahi.”
Dalam ejawantah penyelenggaraan DMU, pendidikan ini diwujudkan melalui sesi-sesi pelatihan yang meliputi aspek aqidah, ibadah, akhlak, dan kepemimpinan. Fokusnya adalah membentuk kader yang tidak hanya memahami Islam secara konseptual tetapi juga mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Gerakan Hidayatullah memandang visi peradaban Islam sebagai integrasi nilai-nilai spiritual dan sosial. Oleh karena itu, DMU menjadi sarana strategis untuk memupuk solidaritas kader dalam mewujudkan visi tersebut. “Dauroh ini diharapkan melahirkan kader-kader yang lebih siap dan kompeten dalam menjalankan misi besar organisasi,” kata Ghiroh.
Kegiatan seperti DMU juga mengingatkan pada model dakwah Rasulullah yang mengedepankan pendekatan dakwah bilhal atau dakwah melalui tindakan nyata. Model ini menuntut kesesuaian antara ajaran Islam dan perilaku praktis para kader, sehingga Islam dapat tercermin secara aplikatif dalam kehidupan masyarakat.
“Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Ibnu Khaldun, yang menekankan pentingnya pembangunan masyarakat berbasis pada prinsip keadilan dan solidaritas,” imbuhnya.
Dengan terselenggaranya DMU ini, dia menambahkan, harapan besar tergantung pada generasi penerus Hidayatullah. Mereka adalah agen perubahan yang diharapkan mampu melanjutkan estafet perjuangan, tidak hanya untuk kebaikan umat, tetapi juga untuk kemaslahatan seluruh manusia.*/Noer Akbar